KERAGU-RAGUAN pupus sudah. Serentak dengan beroperasinya jaringan televisi swasta yang tanpa dekoder di Bandung, Surabaya, dan Denpasar, RCTI di Jakarta juga dipastikan beroleh fasilitas yang sama. Artinya, tanpa dekoder. Menteri Penerangan Harmoko yang mengungkapkan hal itu pekan lalu di DPR. Bahkan Sabtu lalu di Bina Graha, ia menegaskan bahwa Kepala Negara sudah menyetujui RCTI tanpa dekoder. Ini akan berlaku mulai 24 Agustus 1990, tepat pada HUT TVRI. Keputusan itu dibuat sesudah mempertimbangkan permintaan RCTI sendiri. "Itu sesuai dengan permintaan mereka yang sudah lama sekali. Mereka tahu, kalau dengan dekoder, sasaran khalayaknya terbatas," kata Menteri Harmoko kepada TEMPO Jumat pekan lalu. Tapi Harmoko juga menegaskan, RCTI harus meninjau program-programnya. Selain itu, RCTI perlu meningkatkan siaran dalam negeri. Peter Gontha dari Bimantara, yang tadinya terlibat langsung dalam proses lahirnya RCTI, memang pernah mengungkapkan bahwa semula ia menginginkan RCTI mengudara tanpa dekoder. Kini RCTI sudah berkonsentrasi pada siaran dengan dekoder. Menurut Direktur Teknik RCTI, Alex Kumara, setelah RCTI beroperasi dua tahun, jumlah pelanggan mencapai 125.000. Mereka membayar uang pangkal dan jaminan dekoder Rp 131.000. Selain itu, iuran Rp 15.000 sampai Rp 30.000 sebulan, tergantung jumlah siaran yang dipesan. Menurut Kumara, investasi RCTI sekitar US$ 90 juta, masih ditambah dekoder yang berharga US$ 400 per unit. Selama dua tahun beroperasi, perusahaan televisi ini jelas merugi. Tapi RCTI telah menargetkan, jumlah pelanggan akan mencapai 200.000 akhir tahun ini, lalu jadi 300.000 pada tahun depan. Perhitungan itu ternyata meleset. "Kini kami harus mengambil langkah mundur," kata Alex Kumara. Dirjen RTF (Direktur Jenderal Radio, Televisi, dan Film) Alex Leo Zulkarnain membenarkan bahwa ketetapan itu akan menyebabkan RCTI kehilangan sumber pendapatan dari iuran bulanan yang sebenarnya cukup besar. Tapi kebijaksanaan ini toh tidak akan membuat televisi swasta pertama itu gulung tikar. "Kita bandingkan saja dengan Kuala Lumpur. Penduduknya cuma dua juta. Di sana ada tiga stasiun televisi yang hidupnya dari iklan," katanya. Sedangkan Jakarta, yang berpenduduk sekitar 8,5 juta, cuma memiliki satu pemancar televisi swasta. Ini belum ditambah penduduk yang di Cengkareng dan Tangerang. Jelas, peluang RCTI ukup besar, dan kebijaksanaan baru ini ternyata telah mendorong kalangan biro iklan untuk pasang ancang-ancang. "Sekarang, pelanggan RCTI 125.000. Jika tanpa dekoder, penonton RCTI akan meningkat 13 kali lipat, sesuai dengan jumlah pemilik TV warna (di Jakarta)," kata manajer biro iklan PT Fortune Indonesia, Andre T. Poernama. Karena itu, Fortune mulai mencari produk yang bisa diiklankan di RCTI. Sejalan dengan itu, Andre memperkirakan bahwa RCTI tentu akan meningkatkan tarif penerimaan iklan. Pertama, karena RCTI akan kehilangan pendapatan dari iuran. Kedua, karena penontonnya akan meningkat. Hanya saja, menurut Andre, iklan RCTI tak mungkin dinaikkan 13 kali. Aswan Soendojo, seorang direktur dari PT Matari Advertising, berpendapat begitu juga. Ia memperkirakan, paling tinggi tarif iklan di RCTI naik 100% atau 200%. Dewasa ini, Matari menganggarkan Rp 100 juta sampai 150 juta sebulan, untuk memasang iklan di RCTI, seperti iklan Inza, BMW, dan Triumph. "Nanti, setelah tanpa dekoder, anggaran itu mungkin akan meningkat sampai Rp 1 milyar sebulan. Itu bukan karena frekuensi akan meningkat, tapi karena tarif akan naik," tutur Aswan. Diperkirakannya, kenaikan tarif iklan RCTI akan berdampak pada media lainnya. "Billboard, misalnya, pasti kena. Sebab, papan reklame hanya dapat menunjukkan suatu nama produk, tapi tidak bisa mempromosikan apa-apa," kata Aswan. Menurut Andre Poernama, korban utama adalah media cetak yang tidak populer. Jadi, siaran tanpa dekoder tampaknya hanya akan menguntungkan televisi swasta. Namun, Menteri Penerangan maupun Dirjen RTF telah menegaskan bahwa televisi swasta, apakah itu RCTI ataupun yang lain, tak bisa menggenjot siaran iklan seenaknya. "Maksimal hanya 20% dari jumlah jam siaran. Sama seperti media cetak, kan dibatasi 35%," kata Harmoko. Dan kata Dirjen RTF Alex Leo, pembatasan 20% iklan di televisi sebenarnya sudah berlaku dari zaman TVRI boleh menerima iklan. Masalah besar yang harus segera dihadapi RCTI adalah keharusan membayar kembali uang jaminan dekoder yang Rp 75.000 per unit. Jika ada 125.000 dekoder, berarti RCTI harus membayar lebih dari Rp 9 milyar. Dia akan menyiapkan uangnya, tapi, "coba hitung, berapa banyak waktu habis untuk menerima 125.000 orang," kata Alex Kumara. Dan juga, dekoder yang dikembalikan itu mau diapakan? Sementara itu, TVRI kabarnya tetap belum menerima siaran iklan resmi. "TVRI itu dinikmati seluruh rakyat, sehingga kalau menyiarkan iklan, dikhawatirkan akan merangsang nafsu konsumtif," kata Dirjen RTF. TVRI programa 2 belakangan terdengar akan menerima iklan juga. Itu pun dibantah Alex Leo. "Kalau Pemerintah kan nonprofit," kata sang dirjen. Sambil lalu diakuinya bahwa sebagian dari iklan RCTI harus disetor kepada TVRI. Itu berdasarkan persentase menurut jumlah iklan yang masuk. RCTI sudah menyatakan, sejauh ini RCTI sudah menyisihkan lebih dari Rp 500 juta kepada TVRI. "Apa pun keputusan Pemerintah, saya jalankan," kata Direktur Televisi Ishadi. Dia bertekad, di mana dan kapan saja, tetap akan lebih meningkatkan program TVRI. Max Wangkar, Moebanoe Moera, dan Wahyu Muryadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini