Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Srihartati menilai kenaikan nilai ekspor Juli dibandingkan Juni belum sepenuhnya menunjukkan perbaikan kinerja ekspor. Menurut dia, salah satu pendorong naiknya nilai impor adalah kenaikan harga emas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan adanya ketidakpastian ekonomi global, kata Enny, membuat investor memilih investasi yang cenderung aman, seperti logam mulia atau emas. "Hal ini membuat permintaan logam mulia mengalami kenaikan yang cukup dahsyat, sehingga terjadi peningkatan harga yang signifikan," ujar Enny kepada Tempo, Selasa 18 Agustus 2020.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor logam mulia, perhiasan atau permata naik paling tinggi di antara komoditas lainnya, yaitu sebesar US$ 452,7 juta dibandingkan Juni lalu. Kontribusinya terhadap ekspor relatif tinggi jika kenaikan ekspor Juli month to month (mtm) hanya US$ 1,7 miliar menjadi US$ 13,73 miliar dari yang sebelumnya US$ 12,01 miliar. "Ini seperti rezeki nomplok, bukan karena perbaikan kinerja ekspor," ujar Enny.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja Kamdani mengatakan kenaikan ekspor secara bulanan juga terjadi karena adanya upaya normalisasi kegiatan ekonomi di berbagai belahan dunia, khususnya pasar-pasar utama seperti Amerika Serikat, Cina, dan Jepang. Sehingga, kata Shinta, permintaan produk manufaktur seperti besi-baja, sawit, pakaian jadi, produk elektronik bahkan kendaraan mengalami peningkatan.
"Namun, di sisi lain kita juga harus mencermati bahwa peningkatan kinerja ekspor ini lebih disebabkan oleh peningkatan harga komoditas, khususnya harga emas yang volume ekspornya juga meningkat," ujar Shinta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Secara tradisional, Shinta menjelaskan bila konsumsi emas global meningkat berarti pelaku pasar global masih bersifat konservatif atau masih menahan diri untuk meningkatkan permintaan industri. Hal ini juga didukung dengan kenyataan bahwa jika dibandingkan kinerja ekspor tahun lalu, kinerja ekspor Juli 2020 masih jauh lebih rendah dibanding tahun lalu baik dari segi nilai maupun volume. BPS mencatat kinerja ekspor Juli masih -9,90 persen jika dibandingkan periode sama tahun lalu.
Selain itu, Shinta mencatat konsumsi energi global seperti batubara, minyak, dan gas, masih negatif. Pertumbuhan ekspor pertambangan tercatat masih -31,10 persen dan migas tercatat 46,69 persen secara tahunan. Hal ini, ujar Shinta, menjadi indikator bahwa pasar global masih kontraksi.
"Jadi, kita tidak bisa bernapas lega dulu dan menanggap krisis sudah lewat karena risiko terjadinya krisis masih cukup besar meskipun ekspor Juli meningkat dibanding bulan Juni," tutur Shinta.
LARISSA HUDA