Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Baru-baru ini, penyidik Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipikor) Bareskrim Polri menggeledah kantor PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XI di Surabaya pada Rabu, 7 Maret 2025. Penggeledahan ini terkait dugaan korupsi dalam proyek revitalisasi dan modernisasi Pabrik Gula Assembagoes di Situbondo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Proyek yang berlangsung antara 2016 hingga 2022 ini didanai oleh Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp 650 miliar dan tambahan pinjaman lebih dari Rp 462 miliar. Namun, proyek tersebut gagal mencapai target utama, seperti kapasitas giling, kualitas produk, dan produksi listrik untuk ekspor. Kontraktor utama, KSO Wika-Barata-Multinas, diduga tidak melibatkan ahli dalam teknologi gula.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Dalam penggeledahan ini, kami mengamankan sekitar 109 item dokumen yang disimpan dalam empat boks kontainer. Dokumen-dokumen ini akan menjadi bagian dari pembuktian," ucap Penyidik Kortas Tipikor Bareskrim Mabes Polri, Rahmad, sebagaimana dikutip dari Antara.
Ironisnya, Indonesia pernah menjadi raja industri gula dunia pada era kolonial Belanda. Pada pertengahan abad ke-19, industri gula di Hindia Belanda mencapai puncak kejayaannya, dengan ekspor gula yang terus meningkat dan menghasilkan keuntungan berlimpah bagi Belanda.
Dilansir dari Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE), sejarah mencatat bahwa industri gula merupakan salah satu sektor tertua dan unggulan sejak masa kolonial. Pada periode 1930 hingga 1940, sebelum Perang Dunia II. Pulau Jawa menjadi salah satu produsen gula terbesar di dunia dan menempati posisi kedua sebagai eksportir terbesar setelah Kuba.
Puncak produksi terjadi pada 1931, dengan total produksi mencapai 3 juta ton per tahun, di mana sekitar 2,4 juta ton di antaranya diekspor. Saat itu, sebanyak 179 pabrik gula beroperasi di Indonesia dengan tingkat produktivitas mencapai 14,80 ton gula per hektare atau setara dengan 130 ton tebu per hektare. Keberhasilan ini didukung oleh berbagai faktor, seperti ketersediaan lahan subur, tenaga kerja berbiaya rendah, prioritas dalam sistem irigasi, penerapan teknologi yang efisien, serta kebijakan dan regulasi kolonial yang mendukung industri gula.
Dikutip dari nationalgeographic.grid.id, meskipun kejayaan industri gula telah lama berlalu, jejak-jejaknya masih dapat ditemukan di berbagai penjuru kawasan Indonesia.
Sebuah penelitian ekonomi mengungkap dampak kompleks kebijakan kolonial Hindia Belanda terhadap kondisi ekonomi daerah hingga saat ini. Studi yang dilakukan oleh dua profesor ekonomi dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) dan Harvard University ini menunjukkan adanya hubungan antara produksi gula di era kolonial dengan aktivitas ekonomi modern di Indonesia.
Hasil penelitian mengindikasikan bahwa wilayah yang menjadi pusat industri gula pada 1800-an masih lebih unggul dalam produktivitas ekonomi dibandingkan daerah lainnya. Studi ini berfokus pada Pulau Jawa, yang memiliki banyak peninggalan pabrik gula dari masa kolonial.
Secara lebih rinci, penelitian menemukan bahwa desa-desa di sekitar lokasi pengolahan gula yang dibangun antara 1830 hingga 1870 kini menunjukkan aktivitas ekonomi yang lebih berkembang, sektor manufaktur yang lebih luas, serta infrastruktur pendidikan yang lebih baik. Peningkatan fasilitas sekolah ini juga berkontribusi pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi di wilayah tersebut.
“Tempat-tempat Belanda mendirikan (pabrik gula) tetap bertahan sebagai pusat manufaktur,” ujar Benjamin A Olken, profesor ekonomi MIT yang menjadi salah satu peneliti dalam studi ini.
Olken mengungkapkan bahwa hubungan historis antara “Sistem Budidaya Belanda” dan aktivitas ekonomi Indonesia saat ini kemungkinan besar berlanjut melalui beberapa faktor. Salah satunya adalah pembangunan infrastruktur pendukung, seperti rel kereta api dan jalan raya, yang masih digunakan hingga kini dalam pemerintahan Indonesia.
Faktor lainnya adalah berkembangnya industri lain di sekitar sektor gula, yang tetap bertahan dan terus berkontribusi terhadap perekonomian. Olken menambahkan bahwa kehadiran industri manufaktur ini memicu perubahan lebih lanjut, termasuk peningkatan infrastruktur dan fasilitas pendidikan di wilayah tersebut.
Namun, Olken menegaskan bahwa hasil studi ini tidak dimaksudkan sebagai pembenaran terhadap praktik kolonialisme Belanda. Pemerintah Hindia Belanda menerapkan Sistem Budidaya (Cultuurstelsel), yang melibatkan tanam paksa dan kerja paksa serta membatasi hak-hak penduduk Indonesia. Meskipun demikian, kekuasaan Belanda meninggalkan dampak jangka panjang dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Secara historis, Jawa merupakan pulau terpadat di Indonesia dengan padi sebagai tanaman utama dan beras sebagai makanan pokok penduduknya. Pada 1830-an, Belanda memberlakukan sistem tanam paksa untuk gula di sejumlah wilayah, mendirikan 94 pabrik pengolahan, serta membangun jaringan jalan dan rel kereta api untuk mendukung distribusi bahan baku dan produk gula.