Setelah memakan waktu dua tahun lebih, "pertarungan" antara Departemen Keuangan dan Bank Indonesia dalam merevisi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia mencapai ujungnya.
Seluruh proses amendemen dirampungkan setelah rapat paripurna memberikan persetujuannya. "Harus diakui, prosesnya cukup alot dan melelahkan," kata Menteri Keuangan Boediono, Jumat pekan lalu.
Dalam lobi terakhir panitia khusus DPR bersama pemerintah dan bank sentral, yang berlangsung Kamis malam, aroma ketegangan memang sangat terasa di lantai dua Gedung Nusantara II. Beberapa peserta rapat terlihat berkali-kali keluar dari ruangan untuk menghirup udara segar sejenak, mengisap rokok, atau ke toilet. Tak satu pun dari mereka yang bersedia membuka mulut. Hanya juru bicara bank sentral, Rusli Simanjuntak, yang akhirnya keluar ke tempat parkir, yang sempat berujar, "Ini seperti tak akan ada ujungnya."
Setelah rapat selesai, pukul 21.30, barulah beberapa anggota DPR mengungkapkan bahwa lobi berlangsung alot dan bahkan hampir menemui jalan buntu. Materi yang paling sulit disepakati menyangkut ketentuan pemilihan dewan gubernur bank sentral.
Pemerintah ngotot agar presiden diberi kewenangan merekomendasikan calon deputi gubernur. Selain itu, mereka mengusulkan agar para calon bisa berasal dari luar lembaga itu.
Bagi bank sentral—yang mendapat dukungan beberapa wakil rakyat dari Fraksi PPP dan TNI/Polri serta beberapa personel Fraksi Partai Golkar—kewenangan merekomendasikan calon deputi itu mestinya ada pada Gubernur Bank Indonesia. Selain itu, para calon harus dari dalam. "Masa, presiden sampai harus mengurus soal sekecil itu? Mestinya kan cukup dengan memiliki hak penuh untuk posisi gubernur dan deputi gubernur senior," kata Rusli.
Namun tim bank sentral yang malam itu dipimpin Deputi Gubernur Bun Bunan Hutapea bisa menerima jalan tengah untuk memecah kebuntuan. Calon anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia boleh dari luar, tapi yang merekomendasikannya Gubernur Bank Indonesia. Rekomendasi itu akan diberikan kepada presiden sebelum diserahkan ke DPR untuk dipilih.
Bagi para pejabat Departemen Keuangan, yang dalam rapat itu dikomandani Menteri Keuangan Boediono, ke- putusan itu merupakan obat penawar setelah mereka kalah telak dalam beberapa pasal krusial lainnya. "Di pasal tentang OJK (Otoritas Jasa Keuangan—Red.), kami dicukur habis," kata seorang pejabat Departemen Keuangan.
Isi pasal 34 yang mengatur pendirian OJK memang tampak mengakomodasi permintaan bank sentral. Misalnya, pendirian lembaga itu semula paling telat tahun 2002, lalu diubah menjadi selambat-lambatnya tahun 2010. Ini sesuai dengan permintaan bank sentral, yang gencar meminta penundaan 5-10 tahun. Alasannya, kondisi krisis belum pulih dan keuangan negara belum mampu menopang biaya pendirian lembaga itu.
Dengan demikian, keinginan pemerintah untuk segera mengeluarkan ke- wenangan mengawasi perbankan dari bank sentral pun harus ditunda. Menurut seorang pejabat Departemen Keuangan, Gubernur BI sebelumnya bahkan me- nolak menandatangani letter of intent terakhir untuk program Dana Moneter Internasional jika di dalamnya masih terdapat klausul tentang lembaga itu.
Pasal yang juga alot dikompromikan adalah pasal mengenai pembentukan dewan supervisi untuk bank sentral, yang lima anggotanya dipilih DPR atas usul presiden. Di mata bank sentral, entitas baru itu akan merepotkan dan amat rawan sebagai pintu masuknya intervensi politik. Sebaliknya, bagi pemerintah, dewan supervisi penting untuk mengimbangi besarnya kewenangan Bank Indonesia. "Ini penting karena menyangkut keseimbangan yang pas antara independensi bank sentral dan akuntabilitasnya," kata Boediono.
Bank sentral akhirnya bersedia berkompromi dan menerima usul itu dengan syarat: selain mengawasi anggaran operasional dan pengelolaan aset, dewan supervisi tidak boleh mencampuri kebijakan moneter dan independensi bank sentral.
Bagaimanapun, Departemen Keuangan dan Bank Indonesia memang harus segera sama-sama berkompromi. Jika tidak, prosesnya akan semakin berlarut-larut. Sebab, tahun depan sudah terbentuk pemerintahan dan DPR baru, yang bisa saja memiliki konsep berbeda soal amendemen undang-undang itu.
Y. Tomi Aryanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini