Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menanti Calon dari Singapura

Setelah Bank Mandiri lepas tangan, Kiani mendapat pinjaman modal kerja dari investor Singapura. Kepemilikan Nusantara Energi akan berkurang?

21 Desember 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GELUNGAN asap kembali mengepul dari cerobong raksasa milik pabrik di Desa Mangkajang, Berau, Kalimantan Timur itu. Uap hasil proses memasak bubur kertas itu menandai berputarnya kembali roda kegiatan PT Kiani Kertas, selama sepekan terakhir. Kiani, yang kini dikuasai kelompok Nusantara Energi milik Prabowo Subianto, Luhut Panjaitan, serta Johan Teguh, mulai menggeliat bangkit setelah mendapat talangan modal kerja sebesar US$ 15 juta. Luhut, yang menjabat sebagai komisaris utama di Kiani, menyebut pinjaman itu berasal dari sebuah perusahaan di Singapura. Dengan dana pinjaman itu, produksi dimulai 12 Desember lalu. Kini sekitar 6.200 ton bubur kertas tertumpuk di gudang Kiani, menunggu untuk diberangkatkan ke Korea pada akhir tahun 2003. Apakah si peminjam merupakan calon mitra strategis yang digandeng Nusantara untuk mengelola Kiani? Luhut mengelak menjawab. Ia hanya memastikan bahwa penandatanganan kesepakatan antara Nusantara dan pasangannya akan berlangsung pekan ini. "Sekarang tinggal membereskan masalah hukum," kata Luhut akhir pekan lalu. Calon mitra itu dideskripsikan oleh Luhut sebagai sebuah perusahaan publik yang berbasis di Singapura dan tak terkait dengan kelompok bisnis di Indonesia, termasuk dengan pemilik lama Kiani, Mohamad "Bob" Hasan. Tambahan amunisi dari negeri jiran diperkirakan akan membantu menyelesaikan proses restrukturisasi utang Kiani di Bank Mandiri, yang telah berlangsung selama setahun per akhir November lalu. Seperti telah luas diketahui, restrukturisasi utang Kiani berjalan bak siput gara-gara kelompok Nusantara, sebagai pemegang saham Kiani, tak kunjung mendapatkan modal kerja untuk memutar kembali mesin pabrik. Semula Nusantara berharap mendapat duit dari Bank Mandiri. Namun, pada Juli-Agustus, Mandiri secara jelas dan tegas menolak permohonan itu. "Baru lima bulan terakhir saya sibuk cari pinjaman," Luhut menjelaskan. Jika menengok ke belakang, penolakan Mandiri mencuatkan tanda tanya. Pasalnya, Mandiri bersama Nusantara tahun lalu berkongsi untuk mengambil alih aset kredit Kiani dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Untuk itu, keduanya mengeluarkan uang tak kurang dari US$ 200 juta atau sekitar Rp 1,7 triliun. Nilai buku tagihan ke Kiani itu lebih dari Rp 5 triliun. Bagian dari utang yang tak dapat ditanggung oleh kegiatan operasi (unsustainable) kemudian dikonversikan menjadi saham. Porsi ini merupakan jatah kelompok Nusantara, yang menyetor US$ 30 juta saat mengambil alih Kiani. Sedangkan bagian utang yang dapat ditanggung (sustainable) dicatatkan dalam portofolio kredit Mandiri. Dengan skema semacam itu, Mandiri sebenarnya turut berkepentingan dengan kelancaran operasi Kiani. Tanpa adanya suntikan modal kerja, mustahil Kiani dapat mencetak pendapatan dan tentu melunasi kredit. Situasi ini bagi Mandiri juga membawa mudarat. Sebab, seandainya kualitas kredit Kiani merosot menjadi macet, mereka harus menanggung biaya pencadangan. Itulah yang terjadi akhir November lalu. Mandiri terpaksa memasukkan kredit Rp 1,7 triliun ke Kiani dalam kategori kredit macet. Sayang, tak ada pejabat Mandiri yang mau menjelaskan mengapa dulu mereka berani mengambil oper aset kredit Kiani dari BPPN tapi kemudian enggan mengucurkan kredit modal kerja. "Soal Kiani harus langsung dijawab oleh Pak Neloe," ujar Omar S. Anwar, salah seorang direktur Mandiri. Jawaban yang kurang-lebih sama disuarakan pejabat hubungan masyarakat bank tersebut, Soeswidijono. Namun, menurut seorang pejabat Mandiri yang enggan disebut namanya, perubahan sikap itu semata karena perhitungan bisnis yang keliru. Semula Mandiri mengira pemilik lama Kiani akan menebus kembali utang mereka melalui perusahaan sekuritas asing. "Mereka tak bisa membeli langsung di BPPN karena takut ketahuan," katanya. Maka Mandiri pun segera menyambar Kiani begitu dijajakan. Harapan Mandiri, aset itu dapat cepat terjual kembali dengan harga yang lebih tinggi. Tapi, apa lacur, harapan itu tak kunjung terwujud. Mandiri semakin kelabakan begitu menyadari kegiatan operasional Kiani berjalan di bawah kapasitas normal. "Itu yang mendorong direksi minta perpanjangan waktu restrukturisasi utang," sumber itu menjelaskan. Faktor salah hitung itu diamini Luhut. Dia menyebut sejumlah asumsi kunci yang awalnya diprediksi terlalu tinggi oleh Mandiri. Yang pertama adalah kapasitas produksi pabrik Kiani, yang beroperasi komersial sejak 1998. Luhut menyebut, selama lima tahun terakhir, Kiani hanya sanggup menggenjot produksi 300-400 ribu ton per tahun, jauh di bawah kapasitas normal 500 ribu ton. Sementara itu, kata Luhut, "Mereka (Mandiri) selalu melihat kapasitas maksimum, 525 ribu ton." Selain itu, taksiran harga pulp juga melenceng. Harga pulp sangat fluktuatif, sehingga patokan Mandiri di atas kertas, sekitar US$ 400 per ton, terlihat kelewat optimistis. "Harga selalu dipakai yang bagus-bagus saja," ujar mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus ini. Sekadar perbandingan, harga rata-rata bubur kertas di pasar dunia pada bulan ini hanya US$ 330 per ton. Yang lebih celaka, biaya produksi Kiani ternyata jauh lebih tinggi dari yang diperkirakan. "Faktanya, sedari dulu biaya produksi Kiani selalu di atas US$ 300 per ton," kata Luhut lagi. Tapi sesal semata tentu tak ada guna. Langkah penyelamatan pun disegerakan. Untuk mencapai tujuan itu, Jaakko Poyry, yang ditunjuk sebagai konsultan, telah menghitung Kiani perlu suntikan dana US$ 45-50 juta. Perinciannya: US$ 20-25 juta untuk pembelian bahan baku dan US$ 25-30 juta untuk memperbaiki fasilitas pabrik. Dana sebesar itu tentu tak bisa diraih tanpa pengorbanan. Dan Luhut telah menyatakan, "Bisa saja nanti mereka (mitra Nusantara) mendapat 30-50 persen saham yang kini kami kuasai." THW, Y. Tomi Aryanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus