Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Acara halal bihalal Indofood, awal Desember lalu, berlangsung khidmat dan akrab. Dalam suasana penuh kehangatan itu, Eva Riyanti Hutapea kerap menitikkan air mata. Namun, tak ada karyawan yang mengerti mengapa bos perusahaan mi terbesar di dunia ini terlihat "lembek" dan mudah terharu.
Keheranan itu terjawab pekan lalu, ketika Eva sekonyong-konyong menyatakan mundur dari Indofood. Semua karyawan akhirnya mengerti bahwa ada pergolakan di balik butir-butir air mata Eva. Orang nomor satu di Indofood ini seolah mengisyaratkan bahwa tak lama lagi ia akan berpisah dengan ribuan karyawan yang biasa disebutnya sebagai "anak-anak" itu.
Pihak manajemen juga mengakui telah menerima pengunduran diri Eva, yang 10 tahun memimpin Indofood, perusahaan "tambang emas" milik Kelompok Salim. Kendati diumumkan pekan lalu, pengunduran diri Eva baru berlaku efektif pada rapat umum tahunan Mei 2004. Sampai saat itu, Eva akan bertugas seperti biasa agar proses peralihan dapat berjalan lancar.
Direksi dan Dewan Komisaris Indofood juga telah menunjuk Anthony Salim untuk membantu Eva selama masa peralihan. Dalam rapat tahunan pula Dewan Komisaris akan memberi rekomendasi kepada pemegang saham tentang siapa yang layak menggantikan Eva sebagai direktur utama.
Apa sebabnya Eva mundur? Dorongan untuk melakukan hal itu tampaknya berasal dari luar dirinya. Ia sendiri mengaku senang pada pekerjaannya, dan "anak-anak" membuatnya betah bekerja. Utang Indofood yang menggelembung mencapai US$ 1 miliar—gara-gara apresiasi dolar pada krisis moneter tahun 1997—dapat dikempeskan sehingga tinggal US$ 380 juta. Kas Indofood, yang jebol hingga Rp 1,2 triliun, perlahan-lahan dapat ditambal. Sejak 1999, Indofood bahkan mampu meraup laba yang cukup tinggi.
Keuntungan itu ditopang oleh omzet penjualan sebesar Rp 18 triliun per tahun. Pundi-pundi Indofood membengkak dan nilai asetnya naik menjadi Rp 14 triliun. Belum termasuk saham yang telah dibeli kembali (share buyback) senilai Rp 750 miliar dan principal owner stock hedging (POH) untuk pembelian gandum senilai Rp 1,3 triliun.
Tahun 2005-2007 mendatang, POH itu bisa dicairkan. Dengan begitu, Indofood bisa membeli dolar pada harga cuma Rp 4.500. Murah, bukan? "Siapa yang bisa melawan Indofood dalam membuat mi bila harga gandumnya cuma Rp 4.500 per dolar?" tanya Eva tanpa dapat menyembunyikan rasa bangganya.
POH itu bahkan bisa dicairkan sekarang. Bila itu dilakukan, Eva menaksir kocek Indofood seketika bisa terisi uang tunai sebanyak US$ 100 juta atau setara Rp 800 miliar. Cara itu memang akan membuat Indofood harus membukukan kerugian Rp 300 miliar. Tapi, bagaimanapun, toh perusahaan ini masih mencatat untung Rp 500 miliar. Untuk Indofood sekalipun, jumlah ini jelas tidak sedikit.
Hanya, Eva tidak mau mengambil tabungan hasil hedging tersebut. "Biarlah pengganti saya yang memanen hasil kerja saya itu," ujarnya. Di samping itu, dengan sukses dalam genggamannya, rencana pengunduran diri itu justru menimbulkan tanda-tanya. Apalagi keluarga Salim menunjukkan gelagat "mempersilakan".
Tak aneh bila ada bisik-bisik menyebutkan bahwa penajaman perbedaan antara Eva dan keluarga Salim-lah yang membuatnya tak lagi bisa bertahan. Perselisihan itu bersumber pada konsep pengembangan pasar konsumen kelas menengah-bawah. Indofood memang berupaya menggenjot penjualan di pasar ini dengan membangun jaringan distribusi berupa 300 toko eceran dan warung barokah. Biayanya berasal dari dana obligasi syariah.
Toko eceran dan warung barokah, bagi Eva, bukanlah bisnis semata-mata. Sebagai CEO, ia juga ingin menjaga kepentingan semua stake holder Indofood. Pemberdayaan masyarakat adalah salah satu realisasinya. "Saya ingin investasi untuk pengembangan masyarakat, agar mereka bisa mendapat penghasilan secara tidak langsung," ujarnya.
Namun, cita-cita itu terbentur pada kepentingan pemegang saham. Soalnya, investor kecewa karena harga saham Indofood terpaku pada kisaran Rp 750. Penyebabnya, laba perusahaan tidak meningkat, malah menurun. Padahal, laba itu ditargetkan naik 30 persen.
Diakui Eva, harga saham Indofood mengecewakan. "Sebagai CEO, saya malu, mestinya mencapai Rp 2.000," ujar istri Deputi Gubernur Bank Indonesia, Bun Bunan Hutapea, itu. Tapi, tentang laba yang menurun, ia punya pendapat sendiri. Menurut dia, kalau mengejar laba semata, program warung barokah akan tertunda. Sebaliknya, bila warung barokah tetap jalan, keuntungan sementara memang menurun karena investasi belum membuahkan hasil.
Dan Eva bersikukuh mempertahankan investasi melalui warung barokah. "Buat saya, ini bukan pilihan. Ini adalah sesuatu yang harus dimulai dari sekarang," kata ibu dari tiga anak yang semangat nasionalismenya tak perlu diragukan itu.
Program tersebut kabarnya membuat keluarga Salim kurang senang. Bagi Salim, membantu masyarakat bisa dilakukan dengan cara lain. "Bila perusahaan untung besar, bukankah sebagian bisa disumbangkan kepada mereka yang memerlukan," kata sumber TEMPO.
Tentang isu warung barokah, tak ada penjelasan yang bisa diperoleh dari pihak Salim. Fransiscus Welirang, menantu Salim yang juga Direktur Utama Bogasari, menampik adanya perselisihan mengenai konsep pengembangan pasar menengah-bawah yang dikaitkan dengan pemberdayaan masyarakat tersebut. "Itu cuma spekulasi," ujarnya, mengelak. Dan ia pun enggan berkomentar lebih banyak, terutama karena ia bertanggung jawab untuk Bogasari, bukan Indofood.
Nugroho Dewanto, Dara Meutia Uning
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo