Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
CCS bisa dijadikan alasan oleh industri batu bara untuk tetap beroperasi.
Penggunaan CCS perlu ditinjau ulang karena hanya menyasar sisi hilir.
Proyek percontohan CCS terdapat di 16 lokasi di seluruh Indonesia.
JAKARTA — Untuk mendukung program pengurangan emisi karbon dioksida, pemerintah Indonesia tengah mengembangkan penggunaan teknologi carbon capture and storage (CCS) serta carbon capture, utilization, and storage (CCUS). Namun penggunaan teknologi penangkap karbon ini menuai kritik dari pegiat lingkungan.
Manajer Kampanye Tambang dan Energi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Fanny Tri Jambore Christanto mengatakan CCS tidak efektif menyelesaikan masalah emisi karbon. “CCS (dikhawatirkan) bisa memperpanjang penggunaan bahan bakar fosil,” katanya, kemarin.
Menurut Christanto, pemanfaatan CCS memungkinkan industri batu bara tetap bisa beroperasi dengan dalih telah adanya teknologi penyerapan karbon. Padahal, sesuai dengan Perjanjian Paris, penggunaan bahan bakar fosil harus turun sebesar 25 persen pada 2030 dan 80 persen pada 2050.
“Karena itu, tidak boleh lagi ada proyek-proyek hulu migas baru yang akan beroperasi dalam jangka waktu lama,” katanya. Begitu pula dengan perluasan tambang atau pembangkit listrik tenaga batu bara baru.
Pengertian Carbon Capture and Storage
Dikutip dari laman Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, CCS merupakan kegiatan menangkap CO2 dari berbagai sumber, seperti sektor migas dan kelistrikan. Gas yang ditangkap dimurnikan dan dikompresi, lalu diangkut ke lokasi injeksi, seperti lapangan migas atau akuifer, sebagai upaya meningkatkan produksi migas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Teknologi ini membantu pengurangan emisi dan mendukung program net zero emission yang ditargetkan pemerintah pada 2060. CCS menjadi perbincangan gara-gara debat calon wakil presiden pada 22 Desember lalu. Kala itu, Gibran Rakabuming melontarkan pertanyaan tentang regulasi CCS kepada Mahfud Md.
Pengembangan CCS mulanya dilakukan pemerintah dengan meluncurkan pusat fasilitas belajar National Center of Excellence for CCS and CCUS bersama Institut Teknologi Bandung pada 2017. Setelah itu, pengembangan proyek percontohan mulai dilakukan.
16 Proyek Percontohan CCS
Cerobong pabrik di Jakarta. Dok. TEMPO/Bodi Ch
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat ini ada 16 proyek percontohan yang sedang dikerjakan pemerintah bersama beberapa perusahaan migas. Menurut data Kementerian Perindustrian, proyek ini tersebar di beberapa lokasi, seperti Abadi Masela, Sunda Asri Basin di Kalimantan Timur; hingga Gundih dan Sukowati, Jawa Timur.
Pemerintah juga telah menjalin kerja sama dengan perusahaan asal Amerika Serikat, yakni ExxonMobil, pada 13 November 2023. Deputi Bidang Kedaulatan Maritim dan Energi Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Jodi Mahardi mengatakan nota kesepahaman telah ditandatangani dengan nilai investasi US$ 15 miliar.
Selain itu, pada 24 November lalu, Presiden Joko Widodo meresmikan Proyek Strategis Nasional Tangguh di Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat. Presiden menyampaikan bahwa terdapat sejumlah proyek hulu migas dan turunannya yang akan dibangun di Papua Barat, salah satunya CCUS.
Potensi Besar Penyimpanan Karbon
Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra Talattov, menambahkan, terdapat potensi kapasitas penyimpanan CO2 sebanyak 400-600 gigaton di depleted reservoir dan saline aquifer. Melihat besarnya potensi tersebut, Indonesia berambisi mengembangkan teknologi penangkap karbon dan menjadi hub CCS internasional.
“Inisiatif ini tidak hanya akan menampung CO2 domestik, tapi juga menggali kerja sama internasional,” kata dia. Namun ia mengakui nilai investasi CCS masih sangat mahal.
Abra menilai ambisi menjadi hub CCS perlu didukung, tapi tidak boleh dilakukan secara gegabah. “Selesaikan dulu proyek percontohan di beberapa lokasi, lalu evaluasi hasilnya, karena risikonya besar,” katanya.
Selain nilai investasi yang mahal, Abra mengimbuhkan, penggunaan CCS perlu ditinjau ulang karena hanya menyasar sisi hilir. Menurut dia, komitmen pemerintah mengembangkan sumber energi terbarukan lebih penting ketimbang teknologi penyerapan karbon.
“Untuk apa CCS dikembangkan, tapi di sisi hulunya masih menggunakan energi berbasis fosil,” katanya.
Sebelumnya, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon serta Penangkapan, Pemanfaatan, dan Penyimpanan Karbon pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Jodi menambahkan, pemerintah sedang menyiapkan regulasi baru untuk pengembangan CCS.
“Peraturan presidennya sudah selesai, sekarang dalam tahap harmonisasi,” kata dia, kemarin.
Adapun Abra mengatakan perlu ada batasan aturan tentang pengembangan CCS. Aturan itu, menurut dia, harus paralel dengan komitmen mendorong pengembangan energi terbarukan, khususnya di sisi hulu.
Aturan CCS, ujar dia, mempertegas bahwa CCS tidak lantas menjadi toleransi untuk pengembangan energi fosil. “Jika tidak, investor luar dikhawatirkan tak berminat. Jangan sampai kita menjadi tempat pembuangan emisi gas rumah kaca dunia.”
Dia berujar perlu ada peta jalan tentang tahapan pengembangan CCS yang mengatur aspek penghiliran. Dengan investasi yang besar dan teknologi yang belum dimiliki perusahaan dalam negeri, ada risiko teknologi CCS harus diimpor serta berdampak negatif terhadap nilai tukar rupiah.
“Dalam regulasi perlu juga ditekankan aspek transisi energi dengan komponen TKDN.”
Hal senada dikatakan oleh pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi. Dia menuturkan peta jalan CCS juga perlu memuat transfer pengetahuan agar Indonesia tidak sekadar menerima teknologi. “Jangan hanya karena kita punya lokasi yang potensial dan daya tawar untuk bekerja sama, lalu kita cuma menerima investasi.”
Selain itu, Fahmy menambahkan, perlu ada aturan ihwal pendanaan hijau dan pajak hijau dalam perpres CCS. Ketentuan tersebut penting untuk membuat seluruh industri penghasil emisi karbon ambil bagian dalam proyek CCS melalui dorongan pajak dan sistem pendanaan.
ILONA ESTERINA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo