GREGETAN dan menyesal. Itulah kecamuk yang menggerogoti hati petani vanili di Pulau Bali. Pasalnya serbuk wangi yang semula dianggap tak menguntungkan itu dua bulan terakhir ini harganya meroket. Vanili basah pekan lalu harganya mencapai Rp 11 ribu per kg. Seorang eksportir bahkan sesumbar, "Saya berani bayar di atas itu." Ya, mengapa tidak? Harga itu naik hampir delapan kali lipat, jika dibandingkan harga akhir tahun lalu yang hanya Rp 1.500 per kg. Kendati harga bagus, petani tidak beroleh apa-apa kecuali penyesalan. Lho? Ketika harga jatuh tahun lalu, banyak pohon vanili yang "dibunuh" sebelum panen. "Habis, waktu itu saya pikir lebih baik menanam kopi," kata seorang petani. Kejatuhan harga itu terjadi karena ulah Madagaskar. Produsen vanili tertangguh di dunia itu mengusulkan agar kuota Indonesia, yang menghasilkan vanili kualitas rendah, dipotong dari 15% menjadi 5%. Akibatnya harga ekspor langsung anjlok. Tidaklah aneh kalau banyak petani yang segera mengganti tanamannya. Tidak semua, memang. Tapi yang tetap mempertahankan vanili pun nasibnya sama saja. Maklum, pencuri di Bali masih superaktif, hingga petani terdorong menjual vanili selagi muda. Harganya pun cuma Rp 2.000 per kg. "Daripada digasak maling," kata I Nyoman Suteja, petani dari Tabanan. Itulah sebabnya, walaupun pada triwulan pertama tahun ini ekspor vanili mencapai 4,39 juta dolar AS -- dalam periode yang sama tahun lalu hanya 2,9 juta dolar -- petani tetap gigit jari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini