BERAS yang melimpah rupanya masih belum terkejar oleh pengadaan pupuk. Memasuki tahun ini, pasokan produk penunjang pertanian itu ternyata jauh di bawah kebutuhan. Pupuk urea, misalnya. Dari kebutuhan sebesar 6,5 juta ton (1993/1994), baru 76% yang bisa dipenuhi berarti kurang dari 4 juta ton. Namun, Menteri Perindustrian Ir. Tungky Ariwibowo telah menjanjikan, produksi pupuk akan terus ditingkatkan. Perkembangan di lapangan menunjukkan bahwa tak lama lagi kapasitas produksi pupuk akan surplus, menjadi 7 juta ton lebih. Hal ini akan dicapai setelah empat pabrik baru (Pusri IB, Kujang Dua, dan Petrokimia Gresik) selesai dibangun tahun depan. Secara fisik, sejak dibangun Oktober 1990, dua pabrik Petrokimia Gresik seharusnya sudah siap pakai. Total investasinya hampir mencapai setengah triliun rupiah atau US$ 242 juta lebih. Sebesar US$ 21 juta di antaranya, ''Merupakan equity dari Petrokimia sendiri,'' ujar Dirut Petrokimia, Ir. H. Endarto. Sisanya merupakan pinjaman komersial dari Bank Dunia dan BNI berjangka 15 tahun, dengan bunga 1% di atas SBI. Pabrik itu masing-masing berkapasitas 900 ribu ton (440 ribu ton amonia dan 460 ribu ton urea) setahun, hampir sebanding dengan kebutuhan pasar di Jawa Timur, yang mencapai 800 ribu900 ribu ton. Seperti kata Endarto, dua pabrik baru tersebut tak hanya berfungsi memenuhi kebutuhan pupuk di Jawa Timur, tapi juga demi kalkulasi untung-rugi. ''Pembangunan pabrik baru itu juga untuk menggantikan pabrik lama yang sudah tidak menguntungkan,'' ujarnya. Bahkan, Petrokimia sudah menghentikan kerja pabrik urea yang lama sejak 1982. Tapi, ada apa? Masalahnya, selain kapasitas pabrik lama jauh dari kebutuhan pasar, yakni sebesar 72 ribu ton amonia dan 45 ribu ton urea, kekurangannya selama ini terpaksa dipasok oleh Pupuk Kaltim (amonia) serta Pupuk Kujang dan Pusri (urea). Di atas semua itu, biaya produksinya lebih mahal. ''Tingginya biaya pabrik lama itu terutama karena bahan bakunya menggunakan BBM,'' kata Endarto. Adapun pabrik baru menggunakan bahan baku gas yang lebih murah. Lagi pula, dilihat dari perkembangan selama 30 tahun terakhir ini, harga gas jauh lebih stabil. Seluruh bahan baku gas pabrik Petrokimia akan dipasok oleh Pertamina dari CPP Pagerungan (Kangean, Madura). Pasokan seharinya mencapai 160 MMSCFD (juta kaki kubik), yang dihargai US$ 2 per satu juta kaki kubik. Teknologi yang digunakan pabrik baru pun lebih unggul. Dengan teknologi dari Kellog (AS) dan Toyo (Jepang), ''Pabrik baru ini bisa mengirit energi hingga 30%,'' ujar Endarto. Dengan begitu, biaya produksi bisa lebih ditekan. Bahkan, kapasitas produksinya bisa dipacu rata-rata di atas 70%. ''Insya Allah, kembali pokok akan dicapai dalam delapan tahun beroperasi,'' ucap Endarto optimistis. Kalaulah proyeksi itu tak meleset, performa Petrokimia Gresik tampaknya akan semakin berkibar. Dari segi pendapatan, misalnya, dalam dua tahun terakhir ini rata-rata omzetnya mencapai Rp 800 miliar per tahun. Dan 70% dari omzet itu dihasilkan dari pupuk TSP (kapasitas produksinya 1,3 juta ton setahun) dan ZA (kapasitasnya 650 ribu ton setahun). Kelak, ''Setelah kedua pabrik baru itu beroperasi, omzet Petrokimia diharapkan naik menjadi Rp 900 miliar hingga Rp 1 triliun setahunnya,'' ujar Endarto. Hanya saja, kedua pabrik pupuk Petrokimia itu tampaknya baru akan beroperasi akhir tahun ini. Atau paling lambat, menurut Endarto, awal tahun depan. Moebanoe Moera
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini