Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat M. Sinaga bingung melihat masyarakat berebut minyak goreng di pasaran. Padahal menurutnya pasokan CPO untuk minyak goreng jauh melampaui total produksi.
"Tidak perlu khawatir sebetulnya, kenapa berebut, ini juga kita bingung. Kenapa sampai di pasar sedemikian chaos seolah-olah bahwa kiamat akan datang," kata Sahat dalam diskusi virtual Jumat, 11 Februari 2022.
Dia mengatakan telah membuat kalkulasi kebutuhan minyak goreng masyarakat per bulan, yaitu 330.311 kilo liter. Untuk produksi minyak goreng per tahun, kata dia, diperlukan setahun 4,9 juta ton CPO.
Sedangkan produksi CPO para pengusaha sawit sebesar 49 juta ton per tahu. "Jadi artinya itu hanya 10 persen minyak goreng," ujarnya.
Memang, kata dia, untuk periode hari-hari besar ada peningkatan permintaan 5 hingga 6 persen. Kalau dihitung 6 persen, maka kebutuhan minyak goreng hanya 350 ribu kilo liter per bulan.
Dia juga membuat perhitungan harga jual minyak goreng di pasar tradisional Rp 11.500 per liter yang merupakan domestic market obligation (DMO), untuk gerai market kemasan sederhana Rp 13.500 dan premium Rp 14.000 per liter.
Untuk mencapai itu harga domestic price obligation (DPO), kata dia, CPO harus di level Rp 8.455 per kg tanpa PPN, kalau dimasukan PPN jadi 9.300.
Sedangkan kalau dipasok oleh eksportir dalam negeri berupa minyak goreng harganya Rp 9.364 atau equivalen dengan Rp 10.300 dengan PPN.
HENDARTYO HANGGI
BACA: Ma'ruf Amin: Membeli Minyak Goreng untuk Persiapan dan Menimbun Itu Beda
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini