Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menagih ’Janji’ Anggito

Perubahan Anggaran 2010 yang baru saja rampung dikritik rawan patgulipat. Mengapa proposal Rp 2 triliun dari Komisi Keuangan akhirnya kandas?

24 Mei 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI sepenggal lakon keseharian di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Senayan, Jakarta. Akhir April lalu, Komisi XI menggelar rapat anggaran perubahan dengan mengundang tim pejabat Kementerian Keuangan. Rapat tertutup ini ternyata berubah menjadi ajang curhat. ”Kalau pulang kampung, kami susah membuktikan kinerja kami,” kata Murady Darmansyah, politikus Partai Hanura dari Provinsi Jambi.

Bidang kerja Komisi Keuangan memang rada abstrak. Ini komisi yang menyoroti kebijakan keuangan, perencanaan pembangunan nasional, lembaga keuangan, dan perbankan. Surat utang, obligasi, dan postur anggaran dipelototi di sini. Tapi, ya, sebatas itu. Kewenangan untuk mengusulkan dan meloloskan proyek teknis tidak ada di komisi ini. ”Teman di komisi infrastruktur, misalnya, bisa mengklaim memperjuangkan pembangunan jalan tol atau pelabuhan di daerahnya,” kata Murady. ”Lha, kami? Masak mau bilang ikut jualan surat utang negara?”

Curhat ala anggota Dewan berlanjut. Melchias Markus Mekeng, Wakil Ketua Komisi XI dari Partai Golkar, berkisah tentang betapa miskin daerah asalnya, Nusa Tenggara Timur. ”Pengairan sulit, lahan pertanian kering,” katanya. Karena itu, ia meminta pemerintah membangun waduk untuk daerah yang memilihnya dalam pemilihan legislatif tahun lalu.

Achsanul Qosasi dari Partai Demokrat punya kisah senada. Ia pun bertutur tentang daerah konstituennya, Kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur. ”Di bagian utara Sampang, masyarakat harus menyedot air laut untuk mendapat air bersih,” katanya. ”Pemerintah mesti membantu, dong.”

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Anggito Abimanyu pun diam menyimak serangkaian kisah sedih seperti diungkapkan para politikus tadi. Anggito ketika itu datang mewakili Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, yang sedang menghadiri pertemuan tahunan Bank Dunia di Washington, DC, Amerika Serikat. Sederet keluhan tadi ditanggapi Anggito dengan nada yakin. ”Oke, bisa, Pak, tapi harus berkoordinasi dengan Badan Anggaran,” kata Anggito seperti ditirukan Achsanul Qosasi.

Walhasil, rapat mencapai kata sepakat. Alokasi dana proyek pembangunan di daerah pemilihan anggota Komisi Keuangan itu akan dibahas di Badan Anggaran. ”Saat itu diperkirakan angkanya Rp 2 triliun,” kata Achsanul. Para anggota Komisi Keuangan pun lega mendengar kabar baik ini.

l l l

Janji belum terwujud, eh, protes menghampiri. Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menilai kesepakatan Rp 2 triliun itu sebagai modus baru permainan antara eksekutif dan legislatif. Menurut lembaga swadaya masyarakat ini, usul mengenai proyek teknis tidak diatur melalui Komisi Keuangan, tapi ditangani komisi yang membidangi hal teknis seperti pendidikan, infrastruktur, dan kesehatan. Kesepakatan ini, menurut Fitra, menyimpang dari prosedur.

Penyimpangan ini bisa berdampak serius. ”Kami khawatir proses semacam ini bisa mengebiri pengawasan pemerintah,” kata Sekretaris Jenderal Fitra, Yuna Farhan. Jika setiap anggota Dewan menuntut proyek untuk daerah konstituennya, kualitas pengawasan legislatif kepada eksekutif bakal melemah. ”Apalagi sampai sekarang mekanisme pengawasan penggunaan dana belum terbentuk,” kata Yuna.

Model kesepakatan seperti ini, bila dilegalkan, bagi Yuna Farhan, bakal mendorong maraknya calo anggaran. Pejabat dan pengusaha daerah akan ”menempel” anggota Dewan pusat demi mengejar kue anggaran.

Para politikus Komisi XI berpendapat lain. Mekeng , Achsanul, dan Murady menilai kecurigaan itu tak beralasan. Permintaan itu tak lebih dari bagian hak anggaran yang mereka miliki sebagai anggota Dewan. Apalagi, menurut Mekeng, Komisi Keuangan sudah berusaha mengoptimalkan Rp 11 triliun penerimaan negara dari sektor perpajakan. ”Kami minta dialokasikan Rp 2 triliun,” kata Mekeng. ”Kalau komisi lain minta, ya, silakan saja.”

l l l

Lakon belum berhenti. Tiga pekan lalu, APBN Perubahan 2010 disahkan Sidang Paripurna DPR. Palu sudah resmi diketukkan. Tak jelas ihwal nasib alokasi Rp 2 triliun sebagaimana diusulkan Komisi Keuangan tadi. Maka, sepekan setelah pengesahan bujet nasional itu, Komisi XI meminta diadakan rapat tertutup dengan Menteri Keuangan. Padahal tadinya rapat ini terbuka untuk umum. ”Mereka ingin klarifikasi langsung dari Menteri Keuangan, ke mana duit Rp 2 triliun itu,” kata sumber Tempo di lingkungan Komisi Keuangan.

Anggota Komisi Keuangan lalu menghujani Menteri Sri Mulyani dengan pertanyaan, ”Jadi, ada-tidak barang itu?” Menteri Sri Mulyani, yang pekan lalu resmi digantikan Agus Martowardojo, menggeleng tak paham. Menurut sumber Tempo, Menteri Sri tidak tahu-menahu ihwal ”janji” pengalokasian anggaran Rp 2 triliun itu. Ia pun bertanya kepada Anggito, yang juga hadir dalam rapat. ”Saya diminta menjelaskan, ya, saya jelaskan di rapat itu, sudah clear,” kata Anggito.

Anggito menegaskan, dia tak pernah berjanji mewujudkan sederet permintaan Komisi Keuangan. ”Saya hanya menerima usul,” kata Anggito. ”Usul itu diajukan persetujuannya di Badan Anggaran melalui pos anggaran transfer daerah.”

Dua hari berturut-turut setelah rapat itu, Komisi Keuangan mengundang rapat Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Mardiasmo. Rupanya, masih ada anggota yang belum puas. ”Mereka mencari celah bagaimana agar usulnya bisa masuk,” kata sumber Tempo.

Tapi pemerintah tak mau didikte. Pos anggaran transfer daerah, yang dibidik sebagai pintu masuk alokasi Rp 2 triliun, lalu dirancang dengan formula khusus. Indeksasi besaran transfer ditentukan berdasarkan pendapatan daerah, kemampuan fiskal, dan berbagai indikator lain. Walhasil, tak bisa begitu saja disesaki tambahan Rp 2 triliun.

Proposal Komisi Keuangan pun mental. Achsanul memaklumi penolakan itu. ”Ya, sudahlah,” katanya. Dirjen Perimbangan Keuangan Mardiasmo enggan berkomentar mengenai hal ini. Ketika dimintai konfirmasi oleh Tempo tentang persoalan ini, dia terus mengelak. ”Nanti sajalah,” katanya.

l l l

Selesai? Belum. Anggaran perubahan 2010 masih menyisakan masalah pelik. Pekan lalu, dalam sidang paripurna mengenai kebijakan makroekonomi tahun depan, Ketua Komisi IV Akhmad Muqowwam mempersoalkan kesemrawutan pembahasan anggaran. Bagi politikus Partai Persatuan Pembangunan ini, ribut-ribut alokasi Rp 2 triliun hanyalah riak kecil dalam proses penyusunan anggaran.

Ada setumpuk persoalan sejenis yang menandakan ada kerancuan wewenang antara komisi dan Badan Anggaran. ”Beda pandangan internal ini harus diselesaikan,” kata Muqowwam.

Beberapa komisi di dalam Dewan memang sedang riuh menyoroti Badan Anggaran. Alat kelengkapan Dewan ini dianggap menyerobot peran komisi dalam merancang anggaran. Terganjalnya pos Rp 2 triliun, misalnya, membuat Komisi Keuangan memanggil semua anggotanya yang ada di Badan Anggaran. ”Seharusnya mereka memperjuangkan usul komisi di Badan Anggaran, tapi nyatanya tidak dilakukan,” kata Eva Kusuma Sundari dari PDI Perjuangan.

Eva menduga, sebagian anggota Badan Anggaran sengaja tak meladeni pengajuan bujet dari komisi teknis. Sebab, menurut Eva, tindakan ini akan mengurangi jatah yang biasanya diplot untuk Badan Anggaran. ”Buktinya, banyak pos anggaran yang sudah jadi, bahkan sebelum komisi membuat keputusan,” kata Eva.

Perkara ini juga disoroti Fitra. Lembaga ini menemukan Rp 1,1 triliun dana belanja kementerian dan lembaga yang tak jelas peruntukannya. Dana ini, berikut penggunaannya, dibagi rata kepada sebelas komisi dan mitra kerja mereka. ”Orientasinya seperti cuma bagi-bagi jatah, tidak pada prioritas program,” kata Yuna. ”Seperti memberikan cek kosong kepada Dewan.”

Pemerintah juga lemah. Menurut Yuna, eksekutif terlalu memaksakan mempercepat perubahan anggaran hanya dalam tempo sebulan sejak rancangan diajukan kepada Dewan. Waktu yang mepet ini juga merupakan salah satu poin kelemahan dalam Undang-Undang Susunan dan Kedudukan Dewan. Hal ini diperparah dengan pertarungan politik, yang menempatkan Sri Mulyani di tengah pusaran persoalan. Akibatnya, pembahasan APBN Perubahan semakin berlarut-larut. Anggaran terancam. Laju ratusan program di berbagai bidang menjadi taruhan.

Ketua Badan Anggaran Harry Azhar Azis menolak anggapan lembaganya menyerobot lahan komisi teknis. Undang-Undang Susunan dan Kedudukan Dewan, menurut Harry, menugasi Badan Anggaran melakukan sinkronisasi keputusan anggaran di tingkat komisi. Buktinya, sisa dana optimalisasi penerimaan Rp 1,1 triliun dibagi-bagi kepada komisi. ”Karena ternyata banyak kementerian dan mitra kerja komisi yang kebutuhannya lebih besar,” ujarnya.

Aroma kesimpang-siuran kian pekat. Pimpinan Dewan pun bukannya tak sadar. Priyo Budi Santoso, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, berjanji mengajak semua petinggi Senayan berembuk. Jika kerancuan ini tak segera diberesi, Yuna menyatakan, ”Kami akan mengajukan uji materi atas Undang-Undang APBN Perubahan.”

Agoeng Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus