BICARA dengan Faisal Abda'oe tak mengesankan omong-omong dengan seorang bos. Bersuara pelan, ia tampak berhati-hati dalam menjawab setiap pertanyaan. Kehadirannya di Pertamina Cottages, Bali, akhir pekan lalu, sebagai peserta pertemuan informal tiga negara produsen minyak ASEAN -- Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam -- juga tak terasa menonjol sekalipun gambarnya sudah dipajang di berbagai media massa. "Saya ini tak suka dieskpos," katanya. "Bukan apa-apa, tapl saya sebagai orang baru sebaiknya menunjukkan hasil terlebih dulu, sebelum bicara banyak." Orang baru? Maksud Abda'oe tentunya, sebagai direktur utama yang baru. Sebab, dialah termasuk pejabat minyak yang tahu benar akan isi perut Pertamina. Sejak lulus sarjana FE UI, 1959, laki-laki yang sejak dulu berkaca mata mulai bekerja di PN Pertamin, dari bawah. Dia sengaja minta ditempatkan di depo, untuk mengenal benar bisnis penyaluran BBM. Lalu mencari pengalaman di lapangan pengeboran selama beberapa tahun. Dia sengaja melamar ke perusahaan minyak. "Saya percaya energy economics akan mempunyai peran penting di dunia," katanya. Kesempatan untuk mendalami dunia minyak semakin terbuka ketika Dirut Pertamina waktu itu, Ibnu Sutowo, menempatkan Abda'oe di markas besar OPEC di Wina, selama empat tahun sejak 1969. Mungkin bidang pemasaran yang masih perlu ia timba, dari pakar minyak, Wijarso misalnya, yang kini penasihat ahli Menteri Pertambangan dan Energi Ginandjar Kartasasmita. Tapi sebagai direktur keuangan selama tujuh tahun, terutama di bawah Dirut A.R. Ramly yang luwes dan terbuka, Abda'oe telah berbuat cukup banyak. Pembukuan Pertamina, yang tadinya belum beres, telah naik pangkat dari predikat no opinion menjadi qualified opinion. Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Gandhi, dalam keterangannya kepada TEMPO pekan lalu, menyatakan betapa administrasl keuangan Pertamina mengalami kemajuan pesat. Kenapa pembukuan Pertamina belum mencapai predikat unqualified alias clean opinion? Laki-laki yang besar di Yogyakarta, yang bukan perokok dan peminum, tapi gemar main golf dan bernyanyi (lagu-lagu Amerika Latin), dengan tenang menjawab pertanyaan TEMPO. Petikan wawancara itu: Bicara soal accountability dan auditability, orang perlu tahu, itu tak terbatas pada urusan keuangan Pertamina. Tapi menyangkut seluruh jajaran perusahaan, baik untuk segi-segi yang operasional maupun finansial. Antara keduanya ada keterkaitan yang tak bisa dipisah-pisahkan. Untuk mencapai clean opinion juga ada keterkaitan antara segi-segi operasional dan keuangan. Apakah itu juga menyangkut kewajiban pada pihak ketiga, misalnya membayar pajak dan utang? Benar. Saya selalu berusaha agar Pertamina bisa meningkatkan pendapatannya. Kewajiban-kewajibannya terhadap pemerintah, seperti membayar pajak, harus pula dilaksanakan sebaik mungkin. Kalau ada keterlambatan pembayaran, misalnya, kami akan menampung setiap pengaduan, dan berusaha mengatasinya. Demikian pula dalam prosedur dan sistem administrasi keuangan, kami berusaha mempercepat pembayaran. Adakah kesan seakan-akan Pertamina menghindari membuat utang baru dari luar negeri, karena pernah diimpit utang besar tempo hari? Semua utang lama yang pencicilannya melalui Bank Indonesia telah selesai dilunasi. Tapi sering juga timbul pertanyaan: Apakah utangnya sekarang sudah habis? Suatu pertanyaan yang saya anggap tidak sesuai. Sebab, dalam setiap usaha bisnis, pembiayaannya bisa dicari dari dalam dan dari luar. Kalau tak ada lagi pembiayaan, berarti bisnis itu sudah mandek. Utang bisa saja dilakukan, baik dari dalam maupun luar negeri, asal saja orang bisa memperkirakan kemampuan untuk membayar kembali. Selama ini, dengan berpegang pada falsafah bahwa setiap proyek yang dibangun harus bisa membiayai dirinya sendiri, kami merasa tak ada persoalan dalam hal membayar kembali. Jadi, kebolehan untuk berutang, menurut Anda, merupakan ukuran bisnis itu masih dipercaya. Ada prinsip dalam bisnis yang disebut OPM -- other people's money. Jadi, kita meneunakan uan oran lain untuk membiayai investasi-investasi yang strategis. Baru untuk penanaman yang tak menarik bagi investor asing, kita memakai uang sendiri. Tapi semua itu akhirnya memang kembali kepada orangnya, the man behind. Toh ada kesan, masih banyak kebocoran di Pertamina. Betulkah? Saya kira tidak demikian. Masalah efisiensi dan produktivitas kami monitor dari tahun ke tahun. Hasilnya bukan tak ada. Misalnya kerugian-kerugian di kilang-kilang minyak sudah banyak menurun. Itu bisa dilihat angka-angkanya. Juga dalam hal efisiensi angkutan laut. Di sini yang disebut commission days, round trip days, sudah banyak berkurang bila dibandingkan beberapa tahun silam. Masalah efisiensi, efektivitas, dan produktivitas tidak bisa dilihat secara sesaat. Itu merupakan proses yang terus-menerus. Hanya tingkatnya yang berlainan, tergantung waktu dan situasi. Tadi Anda menyebutkan perlunya mencari dana dari luar, misalnya lewat masuknya investor asing. Masih banyakkah yang ingin mencari minyak di Indonesia? Kontrak-kontrak yang sudah ditandatangani, dan yang masih dalam proses, menunjukkan kecenderungan yang menaik. Ini kalau kita lihat dalam jangka panjang. Tapi kalau melihatnya untuk waktu kini, dengan situasi pemasaran minyak seperti sekarang, mereka tentu tak begitu tertarik. Berapa banyak yang ingin masuk? Ada empat sampai lima kontrak bagi hasil yang sudah ditandatangani. Sedang yang masih dalam proses negosiasi, kalau tak salah, dewasa ini ada 10 investor. Jadi, menurut saya, tak ada alasan orang luar berkurang minatnya untuk menanamkan modalnya di sini. Kalau demikian iklimnya, adakah kemungkinan Pertamina akan minta bagian kue yang lebih besar. Misalnya dengan menaikkan perbandingan menjadi di atas 85 persen? Saya kira mengenai hal ini harus kita lihat dari dua kepentingan: pemerintah dan Pertamina di satu pihak, dan para investor asing di pihak lain. Kalau keuntungan dan kepentingan bersama tadi kita perhatikan, sesuai dengan situasi dan kondisi pada waktunya saya kira kedua kepentingan itu bisa digabungkan. Namun, soal persentase itu sedang dalam proses, dan sebentar lagi akan kami bicarakan dengan pemerintah. Tapi kita harus melakukannya sedemikian rupa sehingga orang tidak lari. Pak Ramly pernah bicara soal gagasan swastanisasi dalam tubuh Pertamina. Usaha apa saja yang kiranyabisa dijual ke swasta? Hal-hal yang sudah ada di masyarakat, dan yang tidak langsung terkait dengan operasi utama Pertamina, akan kami lepaskan. Misalnya di bidang rekayasa, ada sembilan usaha patungan Pertamina. Hanya dua yang ingin kami pertahankan, satu yang berhubungan lengan Amerika, sebuah lagi yang dengan Jepang. Selebihnya memang ingin kami tawarkan ke masyarakat. Bagaimana dengan anak-anak perusahaan, seperti Patra Jasa, penerbangan Pelita, dan perusahaan asuransi. Apakah tak sebaiknya dilepas juga? Sebaiknya kita lakukan tahap demi tahap. Bermula dengan usaha patungan dulu. Setiap langkah tak selalu harus drastis. Kalau ada anak-anak perusahaan yang kami anggap punya misi tertentu, akan kami pertahankan. Tapi kami juga sedang minta petunjuk dari pemerintah, mengingat anak-anak perusahaan itu 100 persen milik Pertamina. Siapa yang Anda maksudkan dengan pemerintah. Dewan komisariskah? Hierarkis Pertamina tunduk pada dewan komisaris. Dewan itu secara keseluruhan sudah mewakili pemerintah. Apakah jumlah karyawan Pertamina yang 48.000 orang tidak terlalu besar? Masalah besarnya karyawan memang berhubungan dengan efisiensi perusahaan. Tapi, dalam hal ini, pengertian efisiensi tidak selalu berarti karyawan harus diPHK-kan. Ada cara-cara lain untuk menyalurkan mereka. Misalnya, kalau ada proyek-proyek baru yang dibangun, ada saja yang kami salurkan ke sana, setelah dibekali dengan kursus-kursus untuk meningkatkan mutu karyawan. Seperti upgrading, training, dan bekal-bekal teknis lain. Saya ingin tanya tentang pengilangan. Kuwait, Arab Saudi, dan Venezuela telah membeli pengilangan di luar negerinya untuk memproses minyaknya. Apakah Pertamina akan mengikuti langkah itu, agar bisa lebih bersaing dalam pemasaran produk minyaknya? Kita harus hati-hati kalau bicara tentang ekspor pengilangan. Tindakan ketiga negara itu tak dengan sendirinya cocok buat Indonesia. Kuwait telah membeli kilang di Jerman Barat, Inggris, dan Skandinavia. Alasannya, karena mereka mengalami kesulitan untuk mengekspor hasil kilang di dalam negeri. Kita merasa lebih untung untuk menjual minyak mentah melalui usaha patungan di Jepang, yang sudah dirintis sejak tahun 1966. Hal serupa telah dilakukan Venezuela, yang kemudian ditiru oleh Saudi. Tapi masalah kedua anggota OPEC itu sama: kesukaran memasarkan produknya. Arab Saudi membeli pengilangan punya Shell dan Mobil di AS, agar pemasaran produknya yang 600.000 barel sehari bisa terjamin. Sedang Venezuela sebelumnya sudah merintis langkah yang sama di Jerman. Kini minyak mentah dari Venezuela yang dikilang di Jerman mencapai 450.000-500.000 barel sehari. Target mereka 700.000 barel sehari. Adapun latar belakang tindakan itu karena mereka produsen heavy crude. Sedang minyak kita umumnya terdiri atas jenis ringan, yang tak punya banyak masalah untuk dijual. Jadi, pertimbangan dasar ketiga negara itu bukan untuk mendirikan industri hilir yang terintegrasi. Tapi melulu untuk menjual produk minyaknya. Tapi Menteri Ginandjar sudah bicara ke arah sana. Maksud Pak Ginandjar bukan membeli kilang di luar negeri. Tapi untuk membicarakan gagasan tentang export oriented refinery. Gagasan tersebut, kalau berhasil kelak, memungkinkan minyak dari luar negeri dikilang di sini, untuk kemudian diekspor lagi. Jadi, kurang lebih sepert yang sekarang dilakukan oleh Singapura. Akan diekspor ke mana hasil pengilangan itu? Pembelinya sudah jelas Jepang. Minyak mentahnya bisa datang dari Timur Tengah. Ada yang mengatakan Indonesia kesulitan menjual minyaknya di pasaran Jepang. Betulkah? Orang kadang-kadang mengatakan, afiliasi Pertamina di Jepang tak bisa menjual minyak dari Indonesia. Kalau pasaran di sana, katakanlah 16 dolar per barel, dan kita ingin memaksakan dengan menjual 17 dolar, tentu mengalami kesulitan. Kalau kita mau fleksibel, dengan sendirinya akan lebih mudah menjualnya. Afiliasi Pertamina di Jepang sudah berpengalaman selama 20 tahun. Mereka telah melakukan tugasnya secara baik. Benarkah pasaran minyak kita mempunyai kedudukan yang agak tersendiri di mata pembeli Jepang? Banyak pembeli minyak kita di Jepang terdiri atas poer utilities. Kalau itu yang dimaksudkan, biasanya mereka tak terlalu memperhatikan soal harga, karena minyak yang mereka gunakan terdiri atas jenis tertentu, seperti Minas. Tapi pasaran minyak di Jepang, sedikit banyak, punya riwayat tersendiri dengan Indonesia. Misalnya di tahun 1973, ketika pecah krisis minyak, kita penuhi permintaan mereka. Hal yang sama terjadi ketika timbul krisis minyak kedua di tahun 1979. Apa kesan Anda tentang pertemuan informal di Bali? Saya beranggapan hasil yang dicapai dalam pertemuan informal itu bagus sekali. Pembicaraan sangat akrab. Itu dimungkinkan karena diskusi-diskusi berlangsung dalam suasana yang bersahabat. Saya kira ini lebih efektif daripada suatu pertemuan yang sifatnya formal. Pihak Malaysia dan Brunei Darussalam telah memastikan akan tetap mendukung upaya Indonesia dan OPEC untuk menstabilkan harga minyak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini