Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Mengejar Pertumbuhan Lima Persen

Presiden Soeharto mengungkapkan sasaran pertumbuhan ekonomi sebesar 5% setahun selama repelita V. Sasaran laju pertumbuhan penduduk selama repelita V sebesar 1,9% turun dibandingkan pelita IV.

27 Agustus 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEBERAPA bagian penting dari "teka-teki" Repelita V mulai tersingkap. Dalam pidato kenegaraan di depan Sidang DPR 16 Agustus 1988, Presiden Soeharto mengungkapkan sasaran pertumbuhan ekonomi sebesar 5% setahun selama Repelita V. Disebutkan juga sasaran laju pertumbuhan penduduk selama Repelita V (1 April 1989 sampai dengan 31 Maret 1994) sebesar 1,9%, turun dibandingkan kurun Pelita IV (1 April 1984 sampai dengan 31 Maret 1989) yang 2,1% setahun. Dengan menggabungkan kedua sasaran itu, Presiden menyatakan, produksi nasional per penduduk meningkat dengan rata-rata 3,1% per tahun selama Repelita V. Hal lain yang juga terungkap adalah pcrtumbuhan tahun 1987, yang menurut Presiden-adalah 3,6%. Kalaupun sasaran laju pertumbuhan 1988 berada di sekitar 4-5% maka sepanjang Pelita IV laju pertumbuhan tidak akan melebihi 4%. Mengapa sasaran tingkat pertumbuhan Pelita IV kurang tercapai? Selain pertumbuhan per jiwa hanya 1,9% (4% pertumbuhan ekonomi dikurangi 2,1% pertumbuhan penduduk), juga perluasan kesempatan kerja semakin terbatas. Minggu lalu Menteri Tenaga Kerja Cosmas Batubara mengatakan bahwa penyerapan kesempatan kerja selama Pelita IV berada di bawah jumlah pencari kerja. Dari 9,3 jlta angkatan kerja, hanya 6,3 juta yang dapat diserap pasar tenaga kerja. Tiga juta angkatan kerja yang belum tertampung merupakan carry over yang harus "ditelan" Repelita V. Padahal, di luar yang tiga juta itu, mendesak maju 2 juta angkatan kerja baru tiap tahunnya. Penting untuk digarisbawahi bahwa dua hal, yakni rendahnya pendapatan per jiwa dan besarnya carry over angkatan kerja, berlangsung di bawah tekanan kondisi eksternal yang amat rawan yang tercermin pada tingginya beban utang luar negeri kita. Seperti dikatakan oleh Presiden Soeharto dalam pidatonya, tingkat beban utang luar negeri terhadap ekspor sekarang adalah 35%, dan asaran di masa akhir Repelita V adalah 25%. Perubahan-perubahan besar dalam nilai tukar sejumlah mata uang asing, yendaka misalnya, jelas sangat merugikan Indonesia. Beban utang saja diperkirakan meningkat sampai US$ 1,1 milyar untuk masa anggaran 1987-88. Dan ini semata-mata karena perubahan nilai tukar, di samping belum mantapnya harga minyak bumi di pasaran dunia. Bagi ekonomi Indonesia, arti pertumbuhan 5% adalah dibutuhkannya subyektivitas yang amat kuat untuk mencapainya. Secara internal, masalahnya ialah meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi, mengurangi laju pertumbuhan penduduk, dan membuka kesempatan kerja. Tapi juga mengurangi ketimpangan struktural dalam ekonomi. Memang pengertian perubahan struktur ekonomi bisa bermacam-macam, dan untuk sebagian telah dijelaskan oleh Presiden sebagai keberhasilan Repelita IV. Presiden, misalnya, mengemukakan keberhasilan Indonesia dalam meningkatkan perolehan ekspor nonmigas, yang sejak 1987 telah melampaui ekspor migas. Juga, Penerimaan Negara (dalam APBN Penerimaan Dalam Negeri) dari sektor nonmigas (Pajak Penghasilan dan Bea Masuk, Penerimaan Non-Pajak) sejak 1986 melebihi penerimaan dari sektor migas. Namun, masalah struktural yang sebenarnya juga ikut terungkap. Dan itu adalah kesenjangan pertumbuhan sektor pertanian dengan sektor industri. Dalam pidatonya, Presiden memperkirakan, rata-rata laju pertumbuhan sektor pertanian selama Repelita IV sebesar 3,4% sedangkan sektor industri bertumbuh 10,2% untuk kurun waktu yang sama. Bila share sektor pertanian dalam Produksi Domestik Bruto sekitar 24%, sedang tenaga kerja di sektor tersebut sekitar 50% dari total angkatan kerja, maka ketimpangan struktural inilah yang agaknya amat mencolok dan harus dikurangi dengan pertumbuhan yang lebih seimbang. Kembali kepada subyektivitas, maka ini tak lain idalah Policy Variables yang berhasil mencapai sasarannya. Dari sudut ini deregulasi ekonomi, proses perubahan, dan reformasi di sektor perdagangan internasional dan industri manufaktur merupakan prioritas kebijaksanaan yang amat penting. Di masa Pelita IV, subyektivitas ini tampak menonjol. Inpres 4/1985, deregulasi perdagangan seperti Paket 6 Mei 1986, Keputusan 25 Oktober 1986 dan 15 Januari 1987, yang dilanjutkan dengan Paket 24 Desember 1987, semua adalah bukti-bukti subyektivitas pemerintah. Kendati subyektivitas yang lebih lama diingat masyarakat adalah devaluasi September 1986, toh sulit untuk membantah bahwa berbagai subyektivitas lain ternyata sanggup mengompensasi dampak buruk devaluasi itu. Bukan saja inflasi tetap terkendali, tetapi nilai tukar rupiah terhadap dolar dalam dua tahun terakhir dapat bertahan dan hanya turun kurang dari 5%. Sementara itu, ekspor nonmigas sejak awal 1988 meningkat di atas US$ 800 juta sebulan dan amat mungkin lebih dari US$ 1 milyar dalam bulan-bulan setelah April 1988. Tapi bagaimana dengan Kabinet Pembangunan V dan subyektivitasnya? Amat gegabah untuk menilai kabinet yang baru berjalan lima bulan. Toh dalam waktu sesingkat itu beberapa kebijaksanaan ekonomi sempat muncul. Masalahnya kemudian adalah mampu tidaknya menarik semacam "benang merah" dari keputusan-keputusan itu. Justru di situlah soalnya. Hingga kini masih sulit ditarik "benang merah" semacam itu. Ada pembebasan kewajiban membeli kapas dalam negeri, tapi ada juga larangan ekspor rotan setengah jadi, yang merepotkan eksportir rotan setengah jadi berikut ribuan pengumpul rotan. Sementara itu calon eksportir rotan jadi -- berupa mebel dan perabot lainnya diberi kemudahan kredit ekspor dari Bank Indonesia dengan bunga amat rendah (9%). Lebih dari itu, kepada mereka hanya "dianjurkan" agar tidak membeli rotan mentah dan setengah jadi dengan harga yang terlalu rendah. Anjuran bukanlah keharusan, sementara pasar luar negeri sudah tertutup bagi eksportir rotan setengah jadi. Presiden sudah menyatakan perlunya "membulatkan tekad dan menggerakkan segala daya upaya agar sasaran pertumbuhan ekonomi sebesar 5% setahun dalam Repelita V nanti benar-benar dapat kita capai". Hanya sebelum sampai ke sana, adalah amat penting bagi masyarakat ekonomi untuk mendapat clear signal dari subyektivitas Kabinet Pembangunan V. Deregulasi, penggalakan ekspor nonmigas, perluasan kesempatan kerja, proses restrukturisasi akibat situasi eksternal yang masih suram, peningkatan pajak, penanganan sektor informal, semua itu membutuhkan langkah tegas dari pemerintah. Hanya dengan demikian, dan sedikit faktor keberuntungan, kita dapat mencapai sasaran 5% itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus