Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Menengok Dasar Kebijakan Hilirisasi Tambang Jokowi Serta Bunyi Beleidnya

Hilirisasi pertama yakni nikel. Jokowi telah melarang ekspor bijih nikel atau nikel mentah. Juni lalu dia juga menerapkan aturan sama ke bauksit

27 Desember 2023 | 15.16 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Smelter Nickel PT IMIP Morowali. Foto : Shutterstock

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Sejak Januari 2020, pemerintah secara bertahap melakukan hilirisasi terhadap bahan tambang. Pertama adalah nikel, Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah melarang ekspor bijih nikel alias nikel mentah. Juni lalu, Jokowi juga menerapkan aturan yang sama terhadap bauksit.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Membahas soal hilirisasi, lantas bagaimana aturannya dan beleid apa yang menaungi kebijakan ini?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Presiden Jokowi acap menggaungkan kebijakan hilirisasi bahan tambang selama periode kedua pemerintahannya. Meski kebijakan ini sering mendapat penolakan dari beberapa pihak, namun pihaknya tetap bersikukuh. Sebab hilirisasi terbukti meningkatkan angka ekspor nikel hingga lebih dari 200 persen pada 2022.

Menurut KBBI, hilirisasi adalah proses pengolahan bahan baku menjadi barang siap pakai. Kebijakan ini merupakan strategi untuk meningkatkan nilai tambah dari komoditas yang dimiliki sebuah negara. Sementara itu, dikutip dari dokumen Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI, kebijakan hilirisasi sebenarnya berpijak pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

"Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat," bunyi pasal tersebut.

Berkaitan dengan fungsi pengaturan di bidang pertambangan, DPR bersama-sama dengan Pemerintah telah membentuk UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara atau UU Minerba. UU tersebut selanjutnya diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU Nomor 4 Tahun 2009. Dalam beleid inilah terdapat aturan tentang hilirisasi.

Aturan hilirisasi sebenarnya tak secara gamblang disebutkan dalam UU Minerba. Namun landasannya dapat ditelusuri dalam Pasal 4 dan Pasal 5. Disebutkan bahwa mineral dan batubara merupakan kekayaan nasional dikuasai oleh negara untuk kesejahteraan rakyat. Aturan ini juga menegaskan kebijakan nasional terkait komoditas ini adalah untuk kepentingan dalam negeri.

Secara praktik, aturannya terdapat pada Pasal 102 dan Pasal 103. Disebutkan bahwa pemegang Izin Usaha Pertambangan atau IUP dan Izin Usaha Pertambangan Khusus atau IUPK wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan atau batubara dengan cara pengolahan maupun pemurnian. Artinya bahan tambang tak boleh dijual mentah.

"Hilirisasi ini juga kudu dilakukan di dalam negeri dan harus memenuhi batasan minimum dengan mempertimbangkan antara lain peningkatan nilai ekonomi dan kebutuhan pasar," tulis Dian Cahyaningrum dalam studi Larangan Ekspor Sumber Daya Alam Mineral Mentah: Nikel Dan Bauksit.

Dalam Pasal 170, UU Minerba mengatur pemegang kontrak karya yang sudah beroperasi wajib melakukan pemurnian di dalam negeri selambat-lambatnya 5 tahun sejak UU ini diundangkan pada Januari 2009. Artinya, hilirisasi pertambangan sebenarnya harus mulai berlaku pada 2014. Namun, banyak perusahaan yang belum siap saat itu. Implementasi Pasal 102 dan 103 UU Minerba pun terbengkalai.

Hilirisasi Tambang di Indonesia Tuai Protes

Upaya hilirisasi kembali digeliatkan Pemerintah pada 2019 dengan mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM No. 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri ESDM No. 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara. Regulasi ini mengatur ekspor nikel dengan kadar di bawah 1,7 persen hanya diperbolehkan sampai dengan 31 Desember 2019.

Artinya, per 1 Januari 2020, Pemerintah melarang ekspor nikel mentah. Namun, dalam praktiknya kebijakan tersebut menimbulkan keberatan dari Uni Eropa. Pemerintah Indonesia dinilai tidak adil dan berdampak negatif pada industri baja Eropa. Hal ini lantaran terbatasnya akses terhadap bijih nikel. Pada 14 Januari 2021, Uni Eropa resmi menggugat Indonesia ke Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO.

Hasil putusan panel WTO yang terdaftar pada Dispute Settlement (DS) 592 menyatakan kebijakan larangan ekspor serta kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral nikel di Indonesia terbukti melanggar ketentuan WTO. Panel juga menolak pembelaan Pemerintah Indonesia terkait keterbatasan jumlah cadangan nikel nasional untuk melaksanakan Good Mining Practice.

Menanggapi itu, Presiden Jokowi menegaskan Indonesia akan tetap menghentikan ekspor bahan mentah nikel meski kalah dalam gugatan di WTO. Karena itu, ia memastikan pemerintah akan mengajukan banding atas putusan tersebut. "Ekspor bahan mentah ndak, sekali lagi meskipun kita kalah di WTO, kita digugat untuk urusan nikel ini di Eropa," ujarnya saat memberikan sambutan di acara Rakornas Investasi di Jakarta pada Rabu, 30 November 2022.

Pemerintah Indonesia kemudian resmi mengajukan permohonan banding atas putusan panel WTO tersebut. Banding tersebut disampaikan ke WTO pada Senin lalu, 12 Desember 2022. Pemberitahuan banding ini diajukan bersamaan dengan pengajuan banding kepada Sekretariat Badan Banding atau Appellate Body Secretariat.

Namun, proses banding itu dipastikan berjalan lambat lantaran kekosongan hakim uji pada badan banding atau Appellate Body WTO saat ini. Appellate Body sebagai pengadilan banding sistem penyelesaian WTO sejak 2019 tidak lagi efektif menyelesaikan sengketa antar negara lantaran kekosongan hakim uji dan pemblokiran atas penunjukan hakim baru oleh Amerika Serikat.

Awal Desember 2023 lalu, Staf Khusus Menteri Perdagangan Bidang Perjanjian Internasional Bara Krishna Hasibuan mengatakan Indonesia mendapat sedikit keuntungan saat menunggu dibentuknya badan banding oleh WTO terkait dengan gugatan Uni Eropa tentang kebijakan pelarangan ekspor nikel.

"Bagi Indonesia itu bagus, karena tanpa ada keputusan final, dalam arti keputusan final itu ada ditingkat banding, jadi apapun policy-nya tetap bisa dilanjutkan," ujar Bara saat berbincang di Timika, Papua Tengah, dilansir Antara, Ahad, 3 Desember 2023.

Bara menyampaikan, sambil menunggu hasil akhir dari banding yang diajukan pada Desember 2022, Indonesia tetap dapat melanjutkan kebijakan hilirisasi nikel. Lebih jauh, untuk melanjutkan banding WTO akan membentuk Badan Banding dan harus mendapat persetujuan dari semua anggota. Menurut Bara, hingga saat ini Amerika Serikat masih belum memberikan persetujuan.

Badan Banding sendiri diperkirakan baru akan terbentuk pada 2024. Namun demikian, sidang banding tidak dapat langsung dilakukan, karena menunggu antrean. "Badan banding baru terbentuk awal 2025, AS masih blocking. Kalau disetujui permintaan AS, enggak langsung terbentuk, butuh enam bulan, kasus baru akan dibahas pertengahan 2026," jelas Bara.

HENDRIK KHOIRUL MUHID | LAILI IRA | RIANI SANUSI PUTRI | ANTARA
Pilihan editor: Gibran Usung Hilirisasi Pertambangan Hingga Pertanian, Ekonom: Sepertinya Belum Dikaji Matang

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus