Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Mengapa Keluarga Korban Sriwijaya Air SJ-182 Disarankan Tak Teken RND?

Pengacara keluarga korban pesawat Sriwijaya Air SJ-182 menyarankan seluruh keluarga korban untuk tidak menandatangani Release & Discharge (R&D).

24 Januari 2021 | 05.33 WIB

Mengapa Keluarga Korban Sriwijaya Air SJ-182 Disarankan Tak Teken RND?
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Pengacara C. Priaardanto dari kantor hukum Danto dan Tomi & Rekan, mengingatkan para keluarga korban pesawat Sriwijaya Air SJ-182 untuk tidak langsung menandatangani Release & Discharge (R&D). Sebab, R&D ini bisa mempengaruhi tuntutan kepada Sriwijaya Air dan produsen pesawat yaitu Boeing, ketika nanti ditemukan ada kesalahan teknis pada mesin yang menyebabkan kecelakaan.

"Jangan tanda tangan apapun tanpa didampingi pengacara," kata Priaardanto dalam konferensi pers di Jakarta, Sabtu, 23 Januari 2021. Priaardanto saat ini juga bertindak sebagai pengacara dari empat keluarga korban.

Sebelumnya, pesawat Sriwijaya Air jenis Boeing 737-500 yang mengangkut 62 penumpang dan kru jatuh di Kepulauan Seribu, Jakarta pada 9 Januari 2021. Saat ini, sudah ada 43 penumpang yang teridentifikasi. Komponen Flight Data Recorder (FDR) sudah ditemukan, sementara Cockpit Voice Recorder (CVR) belum.

Sebelum kasus Sriwijaya Air ini, Priaardanto mendampingi keluarga korban pesawat Lion Air JT-610 yang jatuh di perairan Karawang, Jawa Barat, pada 2018. Saat itu, tuntutan ke Boeing akhirnya tetap bisa dilakukan sekalipun ada beberapa keluarga yang sudah menandatangani R&D. "Tapi, nilai kompensasinya jadi lebih kecil," kata dia.

Priaardanto tidak mengetahui apakah sudah ada keluarga korban yang menandatangani R&D. Tapi, dia memastikan 4 kliennya belum menandatangi sama sekali. "Mereka masih tunggu kabar dari Sriwijaya," ujarnya.

Pakar penerbangan yang juga guru besar Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara Ahmad Sudiro mengatakan R&D ini biasanya diberikan maskapai, saat pencairan santunan. Sesuai dengan ketentuan di Indonesia, korban pesawat menerima santunan sebesar Rp 1,25 miliar, ditambah Rp 50 juta tambahan santunan dari maskapai dan pabrikan pesawat terbang.

Dalam kasus Sriwijaya Air, manajemen maskapai menjanjikan santunan yang lebih besar, yaitu Rp 1,5 miliar. Tapi karena adanya kebutuhan terdesak, kata Ahmad, maka tak jarang keluarga korban menyetujui besaran santunan yang sudah diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan nomor 77 tahun 2011 tersebut.

Hanya saja, R&D ini justru memberikan pelepasan dan pembebasan maskapai dan pabrikan pesawat untuk terlepas dari sanksi perdata maupun pidana. Termasuk, sekitar 1.000 supplier dan subkontraktor dari pabrikan pesawat di Amerika Serikat.

Ahmad membenarkan bahwa keluarga korban yang terlanjur menandatangani R&D ini masih bisa menuntut Sriwijaya Air, maupun Boeing. Akan tetapi, mereka hanya akan mendapatkan santunan yang besarnya hanya sekitar 30 persen, dibanding mereka yang menolak R&D.

Sebaliknya, keluarga korban yang tidak menandatangani R&D dapat dengan mudah mengajukan tuntutan kepada pabrikan pesawat.

"Dalam pengajuan klaim di Amerika Serikat berdasarkan perundang-undangan hukum yang berlaku disana, keluarga bisa mendapatkan santunan dalam jumlah yang sangat layak," kata guru besar Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara ini.

Dalam mendampingi keluarga korban, Priaardanto juga bekerja sama dengan pengacara penerbangan internasional, Charles Herrmann dari Herrmann Law Group di Amerika Serikat. Charles mengatakan bahwa santunan Rp 1,25 miliar plus Rp 50 juta untuk korban ini sifatnya wajib.

Artinya, ini adalah nominal santunan untuk semua korban jatuhnya pesawat, ada atau tidaknya kesalahan teknis pada mesin. Tapi, keluarga bisa mendapatkan santunan lain dari maskapai dan pabrikan pesawat ketika terbukti ada kesalahan pada mesin.

Untuk itu, Charles kini menunggu hasil investigasi penyebab jatuhnya Sriwijaya Air SJ-182 oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT). Sebab, KNKT juga masih mencari CVR yang belum ditemukan sampai hari ini. "Kita perlu itu, untuk mengetahui secara rinci penyebab terjadinya kecelakaan," kata dia.

FAJAR PEBRIANTO

Baca juga: Pengacara Korban Sriwijaya Air SJ-182 Klaim Temukan Indikasi Kesalahan Boeing

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Fajar Pebrianto

Fajar Pebrianto

Meliput isu-isu hukum, korupsi, dan kriminal. Lulus dari Universitas Bakrie pada 2017. Sambil memimpin majalah kampus "Basmala", bergabung dengan Tempo sebagai wartawan magang pada 2015. Mengikuti Indo-Pacific Business Journalism and Training Forum 2019 di Thailand.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus