Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Hujan Kritik Setelah Limbah Berubah Status

Keluhan gangguan kesehatan akibat abu batu bara datang dari masyarakat di sekitar PLTU.

15 Maret 2021 | 00.00 WIB

Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat. TEMPO/Tony Hartawan
Perbesar
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat. TEMPO/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Anak-anak adalah kelompok yang paling rentan terpapar abu batu bara.

  • Belasan anak yang tinggal di sekitar penampungan FABA PLTU Cilacap menderita bronkitis.

  • Temuan tersebut sempat dilaporkan ke KLHK dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

JAKARTA – Kritik kepada pemerintah mengalir deras setelah limbah padat hasil pembakaran batu bara, fly ash dan bottom ash (FABA), dikecualikan sebagai limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Risiko dari kebijakan ini dianggap terlalu besar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Yuyun Ismawati, Co-Founder Nexus3/BaliFokus Foundation, menyatakan kebijakan ini berpotensi menimbulkan pencemaran udara yang sangat fatal. "Anak-anak adalah kelompok yang paling rentan," ujarnya kepada Tempo, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Pasalnya, fly ash dari pembakaran batu bara berbentuk abu yang sangat halus, sehingga organ anak-anak yang belum sempurna berkembang kesulitan menyaring partikel kecil ini saat terhirup. Selain itu, anak-anak tidak bisa melakukan tindakan pencegahan sendiri, seperti menggunakan masker.

Kondisi ini dapat mempengaruhi kualitas penduduk usia produktif yang jumlahnya akan lebih banyak dari penduduk usia tidak produktif pada 2030-2040. Alih-alih menikmati bonus demografi, pemerintah berisiko mengeluarkan banyak dana untuk membiayai generasi muda yang menderita akibat pencemaran udara.

Sejak 2 Februari lalu, pemerintah memutuskan mengeluarkan FABA yang dihasilkan dari pembakaran batu bara pembangkit listrik tenaga uap dari daftar limbah B3. Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Berbahaya dan Beracun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rosa Vivien Ratnawati, menyatakan telah melakukan analisis ilmiah sebelum memutuskan kebijakan tersebut. Dia memastikan pengelolaan FABA akan tetap diatur dengan ketat oleh pemerintah dan mengarahkan agar limbah ini lebih banyak dimanfaatkan.

Yuyun berharap Kementerian juga menyajikan data hasil pemantauan lingkungan dan kesehatan di sekitar PLTU. "Bagaimana kualitas udara, air, tanah, serta kesehatan masyarakat di sekitar PLTU itu," tuturnya. Dia menilai faktor-faktor ini perlu dijadikan pertimbangan juga. Selama ini, tak sedikit laporan yang ia terima mengenai keluhan gangguan kesehatan dari masyarakat di sekitar PLTU, salah satunya akibat fly ash.

Sebuah kapal tongkang pengangkut batu bara di Sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan, 15 Februari 2021. ANTARA/Nova Wahyudi

Manajer Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Tengah, Fahmi Bastian, misalnya, menemukan 15 anak di Dusun Winong dan Dusun Kwasen menderita penyakit bronkitis pada 2019. Khusus di Dusun Winong, rumah anak-anak ini berjarak hanya sekitar 100 meter dari tempat penampungan FABA PLTU di Cilacap. Fahmi menuturkan temuan ini sempat dilaporkan kepada Kementerian dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. "Setelah itu FABA tidak lagi disimpan di dekat rumah warga, tapi di lokasi tertutup," kata dia.

Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Nur Hidayati, mendesak Presiden Joko Widodo mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang melonggarkan aturan limbah B3. Nur khawatir tidak ada lagi proses pengujian terhadap limbah sehingga bisa meningkatkan risiko bagi masyarakat dan lingkungan. Di samping itu, ia juga mencemaskan soal pembuangan yang bisa disamakan dengan limbah lain yang tidak tergolong dalam kategori berbahaya.

"Pengubahan limbah B3 menjadi limbah non-B3 telah membebankan risiko kesehatan di pundak masyarakat," katanya.

Direktur Tambang dan Energi Auriga Nusantara, Iqbal Damanik, menuturkan pengecualian FABA dari daftar B3 juga tak akan menjamin pemanfaatan limbah padat batu bara ini meningkat. Pemerintah sejak tahun lalu gencar mempromosikan FABA sebagai bahan baku penunjang infrastruktur, seperti campuran untuk membuat batako, paving block, dan lainnya. "Belum ada kepastian seberapa besar pasar bisa menyerap limbah ini," ujarnya.

Berkaca dari pengalaman PT PLN (Persero) yang tertuang dalam Sustainability Report PLN 2019, perusahaan hanya bisa memanfaatkan 6.344 ton menjadi bahan penunjang infrastruktur dari total produksi 2,9 juta ton FABA.

Iqbal juga menilai pemerintah perlu membedakan praktik pengecualian FABA dari limbah B3 di dalam dan luar negeri. Pasalnya, sejumlah negara di Eropa dan Amerika, yang menerapkan kebijakan serupa, memiliki pengawasan yang ketat. Sejumlah negara bahkan menerapkan sanksi atas pengelolaan limbah yang tak sesuai dengan aturan.

FRANCISCA CHRISTY | VINDRY FLORENTIN
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Vindry Florentin

Vindry Florentin

Lulus dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran tahun 2015 dan bergabung dengan Tempo di tahun yang sama. Kini meliput isu seputar ekonomi dan bisnis. Salah satu host siniar Jelasin Dong! di YouTube Tempodotco

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus