Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Modal Asing: Mencari Obat Perangsang Dolar, Dolar Silakan Masuk

J.B. Sumarlin dan Ginanjar Kartasasmita ke AS, mengadakan seminar kampanye penanaman modal di Indonesia. Wawancara dengan Ginanjar. Investasi Jepang dan Eropa di Indonesia. (eb)

25 Mei 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETUA BKPM Ginandjar Kartasasmita, di New York, berkata, mengutip ucapan Kong Hu Cu, "Melihat sekali lebih baik daripada mendengar seratus kali." Pernyataan itu dikemukakannya, pekan lalu, dalam sebuah seminar kampanye penanaman modal Indonesia di depan sejumlah pengusaha Amerika. Tapi, melihat sekali bagi calon penanam modal rupanya bukan soal mudah. Yokohama Rubber Co., awal tahun ini, terpaksa membatalkan niatnya mendirikan pabrik ban berjalan (conveyor belt) US$ 9,4 juta di sini. Manajemen penghasil ban terbesar kedua di Jepang itu mundur mendadak, sesudah melihat suasana investasi dan pasar di sini belum cukup menguntungkan. Dengan pelbagai alasan, tahun lalu, jumlah pembatalan rencana investasi dari Jepang tercatat paling tinggi: US$ 26 juta lebih. Tapi bukan karena alasan itu jika kampanye penanaman modal pemerintah yang dipimpin Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional Dr. J.B. Sumarlin, memusatkan perhatiannya ke Amerika. Dua seminar penting diselenggarakan di New York dan Chicago, pekan lalu, untuk menjelaskan perkembangan terakhir iklim investasi di Indonesia kepada pengusaha setempat. Sejumlah kenyataan juga dikemukakanuntuk menarik perhatian pemilik modal di sana. Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun lalu, misalnya, diperkirakan masih bisa mencapai angka 5%. Inflasi, yang biasanya mencapai double digit, tahun itu hanya 8,8%. Neraca pembayaran juga bisa dibikin sehat kembali. Defisit transaksi berjalan (neraca barang dan jasa), tahun 1984-1985 lalu, ternyata hanya US$ 2,9 milyar, atau US$ 1,9 milyar lebih rendah dari perkiraan. Cadangan devisa juga cukup kuat untuk memenuhi kebutuhan impor bahan baku dan penolong. Ketika berbicara dalam sebuah seminar di New York, ketua BKPM Ginandjar Kartasasmita menjamin, PMA yang menanam modalnya di Indonesia tak perlu khawatir gerakan modalnya bakal dibatasi. Pemerintah juga tak akan melarang repatriasi keuntungan mereka. Guna memudahkan pemilik modal melakukan investasi, pemerintah Indonesia bahkan sudah melakukan penyederhanaan prosedur dan perizinan investasi, lewat Inpres No. 5 tahun 1985. Jika semula prosedur dan perizinan itu berjumlah 25, sejak April lalu tinggal 14 persyaratan saja yang diperlukan. Beberapa persyaratan untuk memperoleh Surat Persetujuan Tetap (SPT) bagi PMDN, dan Surat Pemberitahuan Persetujuan Presiden (SPP) bagi PMA, dihilangkan. SPT dan SPP ini karena sejak itu tidak harus melewati Surat Persetujuan Sementara (SPS) - bisa diperoleh dalam tempo enam minggu, yang sebelumnya sampai tiga bulan. Tenaga kerja asing (expatriate) untuk bidang-bidang tertentu masih diperlukan. Mereka yang datang dalam kaitan PMA akan dibantu dalam memperoleh izin kerja. Dan, bahkan, mereka tak lagi dipungut Iuran Wajib Pendidikan- dan Latihan sebesar US$ 400 per orang per bulan. BKPM juga akan membantu pengurusan ke instansi lam, misalnya dalam securty clearance ke Hankam. Semuanya dilakukan, "Untuk membantu investasi Anda di Indonesia berjalan mudah dan mulus sebisa mungkin," ujar Ginandjar. Sejumlah 34 proyek, seperti sektor agribisnis, logam dan mesin, elektronik, kimia, farmasi, konstruksi, pariwisata, serta kawasan industri Batam ditawarkan untuk dimasuki PMA. Proyek jalan tol di Jawa, yang panjangnya 8 km sampai 90 km, juga dijajakan. Menurut Ginandjar, proyek jalan ini sangat menguntungkan karena pertumbuhan ekonomi dan penduduk di Indonesia cukup tinggi. Pokoknya, sejumlah "obat perangsang" sudah dilontarkan. Tapi, tidak mudah menggiring pengusaha Amerika meski cuma untuk melihat Indonesia barang sekali. Membaiknya perekonomian Amerika sendiri, boleh jadi, merupakan suatu pepghalang bagi mereka untuk melihat kesempatan di luar. Tapi, mungkin, mereka agak waswas untuk masuk Indonesia karena beberapa alasan - terutama sesudah membaca hasil beberapa penelitian, dan mendengar pengalaman penanaman modal sebelumnya. Hasil penelitian Business Environment Risk Index (BERI), misalnya, bisa menyebabkan mereka berpikir dua tiga kali sebelum masuk ke sini. Untuk masa lima tahun mendatang, lembaga independen di New York ini menempatkan Indonesia di urutan ke-32, di bawah Pantai Gading, Mesir, dan Pakistan Artinya, kurang lebih, menanam modal dl Indonesia dipandang terlalu riskan dibandingkan dengan di Mesir atau Pakistan. Negeri yang disebut paling aman untuk PMA: Swiss, Jepang, dan Singapura. Penilaian tahunan itu biasanya dikeluarkan BERI sesudah melakukan diskusi panel dengan 100 eksekutif pengusaha dari pelbagai penJuru dunia. Untuk menilai baik buruknya kondisi sebuah negara, ada 15 unsur yang harus diperhitungkan. Di antaranya kondisi buruk, birokrasi, sikap terhadap modal asing, ancaman nasionalisasi, infrastruktur. dan kemudahan memperoleh kredit. Dr. F.T. Haner,presiden BERI SA, ketika ditelepon di Los Angeles, tidak melihat kemungkinan munculnya pengambilalihan (nasionalisasi) sektor swasta asing di sini. Di masa lalu, memang, banyak perusahaan asing masih dihinggapi ketakutan bakal terkena nasionalisasi. Itu menjelang tahun 1960-an. Kini, tak ada alasan perusahaan asing untuk takut berusaha di Indonesia karena ancaman nasionalisasi. Yang mungkin mengkhawatirkan mereka adalah tandatanda bahwa harga minyak OPEC, yang kini rata-rata USS 26,5 per barel, makin tertekan kelak. Maklum, dengan sebagian besar uang minyak inilah laju pertumbuhan ekonomi dan daya beli kebanyakan rakyat Indonesia didorong, selama 10 tahun terakhir. Usaha pemerintah mendorong ekspor nonmigas untuk menyehatkan neraca pembayaran, rupanya, belum cukup menumbuhkan kepercayaan para pemilik modal. Delegasi Menteri Sumarlin kelihatan belum puas dengan hasil kampanyenya di Amerika, meskipun jumlah reply card yang disisipkan dalam majalah bisnis Fortune sudah kembali 9.000 lebih. Mereka merupakan bagian dari pengusaha Amerika yang ingin lebih banyak mengetahui posisi perusahaan sponsor suplemen, dalam terbitan Fortune edisi September 1984. Perusahaan seperti Pupuk Kujang, Boma Bisma Indra, dan Gunanusa Utama Fabricators hari-hari ini boleh siapsiap melayani permintaan informasi dari calon rekan usaha mereka itu. Tidak mudah membujuk mereka agar secepatnya menanamkan dolar di sini. BankDunia sendiri, dalam sebuah laporan (23 April 1985) kepada negara-negara donor anggota IGGI, memperkirakan bahwa usaha mencari sumber pembiayaan dari luar negeri untuk investasi akan tetap ketat. Sampai 1990, seluruh investasi yang masuk diduganya tetap sekitar 20% dari gross domesticproduct. Karena itU, badan usaha milik negara, seperti PLN dan Perumtel dianjurkan mencari sumber pembiayaan dari dalam negeri. Anjuran dan perkiraan Bank Dunia itu ada benarnya. Kompetisi menarik penanaman modal, yang dilakukan negara-negara berkembang, kini berlangsung cukup ketat. Bahkan gubernur sejumlah negara bagian Amerika, dalam dua tahun terakhir ini, ikut aktif mencari PMA dari Eropa Barat, Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan. Untuk merangsang, pemerintah federal turut membantu penyediaan biaya pendidikan bagi calon pekerja. Negara bagian juga menolong pekerja asing mendapatkan visa, membuka rekening di bank, dan mencarikan sekolah buat anak mereka. Tawaran kemudahan semacam itu, di tengah makin membaiknya perekonomian Amerika, rupanya jadi daya tarik cukup hebat. Tahun lalu, investasi langsung dari luar negeri tercatat US$ 150 milyar lebih, naik dari sebelumnya yang sekitar US$ 130 milyar. PMA terbesar di Amerika itu ternyata datang dari Inggris sebesar hampir US$ 40 milyar, lalu disusul Negeri Belanda yang lebih dari US$ 31 milyar. Di Asia, negara yang kelihatan gencar melancarkan kampanye adalah RRC. Sejumlah zona ekonomi baru yang dibuka Negeri Tirai Bambu ini menarik calon investor. Akhir tahun lalu, 14 kota di sepanjang pantai, dari Beihai di selatan sampai Dalian di utara, telah dijual pula. Untuk investasi yang melebihi nilai US$ 30 juta, atau yang padat menggunakan teknologi di 14 kota itu, hanya akan dikenai pajak atas laba sebesar 15%. Padahal investasi di luar kota itu pajaknya 20%-40%. Belum jelas apakah insentif itu akan cukup menarik para calon penanam modal. Yang sudah pasti, sejak 1979 sampai Juni 1984, jumlah investasi asing di RRC tercatat USS 8 milyar-US$ 2,4 milyar, di antaranya merupakan investasi untuk eksplorasi minyak. Menurut seorang pengamat, penanaman modal di negeri itu umumnya merupakan industri yang banyak menyedot bahan baku dan penolong impor. PMA tertarik masuk ke sana karena potensi pasarnya cukup besar. Insentif pajak juga ditonjolkan oleh Singapura dan Malaysia untuk menarik PMA lebih besar. Di Malaysia, misalnya, tarif pajak perseroan pa!ing tinggi 40%. Negeri inl juga mulai mengendurkan ketentuan mengenai keharusan pengurangan saham asing dalam sebuah usaha patungan hingga 30%. Singapura bahkan memberikan masa bebas pajak 10 tahun untuk PMA yang mau mendirikan usaha pembuatan komponen dan barang elektronik guna tujuan ekspor. Dengan insentif seperti itu, Singapura, yang iklim politiknya relatif stabil hingga tahun lalu berhasil menarik modal asing sekitar US$ 20 milyar. Economic Development Board (EDB) negeri itu, semacam BKPM di sini, banyak membantu memberikan bahan riset pasar, yang memudahkan pemilik modal melakukan pilihan cermat. Pendeknya, prosedur investasi di sana cukup sederhana. Penanam modal tak perlu berhubungan dengan instansi teknis, cukup dengan EDB. Menghadapi berbagai kelebihan dan kemudahan yang ditawarkan banyak negara itu, pemerintah Indonesia tampaknya perlu menonjolkan segi lain untuk menarik PMA ke sini (Lihat: Ke AS, Menjual Kemudahan). Murahnya tenaga kerja, kini, tak bisa dijadikan salah satu faktor untuk menggoda mereka. Sebab, dengan otomatisasi, perusahaan bisa mengatur usaha penghematan untuk alokasi biaya tetap. "Nah, problemnya sekarang, calon investor itu terpaksa berhadapan dengan keharusan untuk menyerap tenaga kerja sebanyak-banyaknya," ujar Hiroshi Oshima, direktur Japan External Trade Organization (Jetro) di Indonesia. Menurut Oshima, jika pemerintah ingin merangsang penanaman modal, yang berorientasi ke pasar luar negeri (ekspor), seyogyanya keharusan padat karya tak diberlakukan di sektor industri itu. "Biarkan sektor industri itu padat modal. Tapi untuk industriyang memakai banyak komponen dan bahan penolong impor diharuskan padat karya," katanya. Perubahan orientasi pasar tampaknya perlu diperhitungkan calon penanam modal sebelum masuk ke Indonesia. Para penanam modal dari Jepang kini tak lagi memandang Indonesia sebagai tempat menarik untuk melakukan investasi, jika pemasaran dari usaha mereka ditujukan untuk konsumsi lokal. Kondisi ekonomi dalam negeri Indonesia, yang menurun tajam setelah harga minyak jatuh, juga dianggap sebagai salah satu penyebab. "Beberapa perusahaan bahkan sudah mendiskusikan untuk memikirkan kemungkinan mengundurkan diri dari Indonesia," tambah Oshima (Lihat: Mereka yang Mengeluh). Mereka kabarnya terpukul telak oleh dua kali devaluasi. Entah mengapa, usaha pemerintah memperbarui sistem perpajakan nasional dianggap pula sebagai salah satu penghambat. Mereka khawatir pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN), yang diberlakukan sejak I April, malah akan menyebabkan kemunduran dalam pemasaran karena kenaikan harga tak bisa dicegah. "Pengusaha Jepang juga tak suka jika keharusan menggunakan komponen dalam negeri terlalu dipaksakan," ujar Keiichi Oguro, staf analisa Jetro, Tokyo, kepada TEMPO. Kritik terhadap serangkaian kebijaksanaan pemerintah agaknya paling banyak datang dari pengusaha Jepang. Bagi pengusaha Korea Selatan, persoalan yang mereka hadapi lain lagi. Menurut Joong Won Chin kepala perwakilan Bank Ekspor-Impor Korea Selatan di Jakarta, tiadanya perjanjian penghindaran pemungutan pajak berganda dan persetujuan jaminan investasi antara kedua negara terasa cukup mengganggu. "Malaysia dan Muangthai sudah menyelesaikan kedua soal itu, tinggal Indonesia," katanya. Keluhan semacam itu tampaknya perlu diperhatikan jika tak ingin para penanam modal Korea Selatan mengalihkan perhatian ke negara tetangga. Kemungkinan seperti itu bukan tak mungkin akan terjadi, mengingat fasilitas infrastruktur di Malaysia dan Muangthai cukup bagus dibandingkan kondisi Indonesia. Menurut data Bank Dunia tahun 1982, konsumsi listrik per kapita di Indonesia, misalnya, hanya 99 kilowatt per jam, sedangkan di Muangthai dan Malaysia, masing-masing sudah 355 dan 676 kilowatt per jam. Tentu bukan hanya infrastruktur yang perlu diperbaiki. Keinginan pemilik modal tampaknya perlu cepat ditanggapi. Sejumlah pengusaha dari Amerika kelihatan berkeinginan sekali bisa menanamkan industri teknologi tinggi, tanpa harus melakukan usaha patungan dengan partner lokal. Menurut yang didengar Harvey Goldstein, ketua American Chamber of Commerce (Amcham) Indonesia, perizinan investasi di situ kini sedang digarap pemerintah. "Kami berharap punya kesempatan untuk melakukan usaha di situ," katanya. Cukup berat memang untuk melayani pelbagai kepentingan calon penanam modal asing. Yang agak aneh, ternyata potensi para pengusaha lokal kurang diperhatikan. Padahal, sumbangan mereka bukan tak mungkin akan cukup berarti guna menambah sasaran investasi Rp 145 trilyun selama Repelita IV. Surya Wonowidjojo, pemilik perusahaan rokok Gudang Garam, Kediri, Jawa Timur, misalnya, yang selalu membeli mesin buat pabriknya secara tunai, belum digarap secara baik. Sejumlah bankir asing dan broker surat berharga sudah beberapa kali membujuk Surya agar mau menanamkan kelebihan uangnya di sertifikat deposito dan surat-surat berharga. Tapi "Raja Kretek" ini ternyata lebih suka memarkir uangnya di rekening BNI 1946 dan membeli tembakau serta cengkih. Tentu akan banyak berguna jika potensi pengusaha seperti Surya itu juga dimanfaatkan. Tidak banyak tuntutan diperlukan pengusaha lokal, selain kejelasan peraturan dan jaminan keamanan berusaha. Eddy Herwanto Laporan Praginanto, Bambang Harymurti, dan Yulia S. Madjid (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus