Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Modal Negara di Kilang Petrokimia

Presiden Joko Widodo menerbitkan peraturan pemerintah untuk menyelesaikan persoalan bisnis TPPI. Pertamina ditugasi menggarap kilang petrokimia terpadu di sana.

19 Oktober 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Presiden Joko Widodo (kedua dari kiri) meninjau kilang minyak Trans Pacific Petrochemical Indotama di Tuban, Jawa Timur, November 2015./ ANTARA/Widodo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiba di kilang PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) di Tuban, Jawa Timur, pada Ahad pagi, 13 Oktober lalu, Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution langsung berkeliling pabrik. Hari itu, bersama sejumlah pejabat dari Jakarta, ia ingin memastikan kilang TPPI benar-benar bisa beroperasi. “Kami keliling pabrik. Semua masih beroperasi, tapi tidak optimal,” ujar Sekretaris Kementerian Koordinator Perekonomian Susiwijono, yang mendampingi Darmin, keesokan harinya.

Pemerintah berkepentingan menjalankan kembali pabrik petrokimia yang sempat mati suri karena permintaan domestik yang sangat tinggi. Saat ini, produksi dalam negeri hanya mampu memenuhi sekitar 40 persen kebutuhan nasional. Sisanya ditutup dari impor. Karena itu, pengoperasian kembali kilang TPPI dan dua pabrik dalam grup ini—PT Polytama Propindo dan PT Petro Oxo Nusantara—diharapkan dapat menutup hingga 80 persen kebutuhan domestik.

Pemerintah telah menyiapkan perusahaan negara yang akan mengelola kilang tersebut, yakni PT Pertamina (Persero). Badan usaha milik negara di sektor minyak dan gas itu dinilai paling pas mengambil alih karena rantai bisnisnya terkait dengan sektor hulu ataupun hilir TPPI. Pertamina memiliki kondensat untuk diolah di kilang ini dan bisa menyerap produk yang dihasilkan dari kilang.

Kilang TPPI bisa mengolah kondensat dengan mode yang menghasilkan bahan bakar minyak (seperti Premium dan Pertamax)-, light naphtha (bahan baku bensin beroktan tinggi), dan elpiji. Pabrik ini pun dapat mengolah minyak mentah dengan skema mode aromatik yang biasa disebut benzene, toluene, dan xylene. Hasil produknya antara lain benzene, paraxylene, dan orthoxylene.

Sebagai langkah permulaan, Darmin mengajak pejabat eselon I saat berkunjung ke Tuban. Di antaranya Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata; Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam, dan Lingkungan Hidup Montty Girianna; serta Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral F.X. Sutijastoto. Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati juga ikut serta.

Pemerintah mengkalkulasi, bila kilang TPPI beroperasi maksimal, impor produk petrokimia utama akan berkurang sekitar 6.200 kiloton per tahun pada 2030. Hal ini akan mengurangi defisit neraca transaksi berjalan serta diprediksi bisa menghemat devisa negara hingga US$ 6,6 miliar pada tahun itu.

Kementerian Keuangan juga memproyeksikan potensi penerimaan pajak sekitar US$ 1,3 miliar. Pemerintah memperhitungkan peluang penyerapan tenaga kerja yang diprediksi sebanyak 2.000 orang. Kepentingan lain adalah pemanfaatan kondensat dalam negeri dan percepatan pengembangan industri hilir berbahan baku produk petrokimia.

Secara keseluruhan, kilang di Tuban ini mampu menghasilkan hingga 100 ribu barel bensin per hari. Juga produk aromatik hingga 927 ribu ton per tahun serta light naphtha mencapai 1,06 juta per tahun.

PRESIDEN Joko Widodo telah menyiapkan dasar hukum bagi Pertamina untuk mengelola kilang Trans Pacific Petrochemical Indotama. Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2019 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara ke Dalam Modal Saham PT Tuban Petrochemical Industries, yang diteken pada 19 September 2019. Tuban Petro adalah perusahaan petrokimia induk dari TPPI, Polytama Propindo, dan Petro Oxo Nusantara.

Selain sebagai payung hukum bagi Pertamina, aturan itu mendasari langkah pemerintah mengkonversi piutangnya kepada Tuban Petro menjadi penyertaan modal negara. Nilainya sekitar Rp 2,618 triliun—setara dengan 157.906 saham perusahaan. Piutang itu dulu diberikan dalam bentuk surat utang jangka panjang (multiyear bond). Dengan begitu, keseluruhan modal negara di Tuban Petro meningkat menjadi sekitar Rp 2,908 triliun atau setara dengan 175.406 saham. Walhasil, kepemilikan pemerintah di perusahaan naik dari 70 persen menjadi 95,9 persen.

Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata mengkonfirmasi terbitnya peraturan pemerintah tersebut. “Sekitar tiga pekan lalu,” ujarnya kepada Tempo, Jumat, 18 Oktober lalu. Ia menjelaskan, konversi dilakukan terhadap pokok utang perusahaan. Adapun bunga dan denda utang tidak bisa dikonversi sehingga Tuban Petro harus membayarnya. Berdasarkan Undang-Undang Keuangan Negara, bunga dan denda tidak bisa dikonversi. Akumulasi nilainya, kata Isa, ratusan miliar rupiah.

Menurut Staf Ahli Menteri Koordinator Perekonomian Bidang Hubungan Ekonomi, Politik, Hukum, dan Keamanan Elen Setiadi, yang ikut menemani Darmin Nasution ke Tuban, konversi utang seperti ini hal biasa dalam bisnis. “Tapi karena ini yang melakukan negara, harus menjadi penyertaan modal,” ucapnya. Menurut dia, secara hukum, tidak ada masalah dengan langkah tersebut. Apalagi ada peraturan pemerintah yang menjadi panduan.

Di luar kepemilikan pemerintah yang mayoritas, kurang dari 5 persen saham dipegang sejumlah lembaga pemberi kredit, seperti Itochu, Siam Cement, dan Sojitz Corporation. Ada pula kepemilikan pemegang saham lama, Honggo Wendratno, melalui PT Silakencana Tirtalestari. Pemilik lama ini disebut-sebut melakukan penyimpangan dalam mengelola perusahaan sehingga merugi.

Meski Honggo masih memiliki saham sangat minoritas, Elen meyakinkan bahwa hal itu bukan masalah. Perusahaan tunduk pada Undang-Undang Perseroan Terbatas, yang membagi kewenangan atau kekuasaan. Pemegang dua pertiga saham berhak meminta rapat umum pemegang saham untuk mengubah anggaran dasar perusahaan. Sedangkan pemilik tiga perempat (75 persen) saham bisa memutuskan melikuidasi atau menggabungkan perusahaan. “Kewenangan itu ada di pemerintah semua,” katanya. Apalagi kepemilikan minoritas itu bisa terdilusi bila ada kebijakan penambahan modal.

Selanjutnya, Isa menambahkan, dengan kewajiban yang telah jauh berkurang tersebut, Tuban Petro diharapkan lebih leluasa mengatur keuangan. Perusahaan diminta mencari sumber-sumber pembiayaan dan mengoptimalkan pengelolaan aset agar lebih produktif.

Montty Girianna mengatakan tahap berikutnya adalah Pertamina masuk ke Tuban Petro. Pemerintah merancang skema penerbitan saham baru (rights issue) perusahaan induk tersebut. Skema ini tertuang dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2019. Di situ dijelaskan bahwa penerbitan saham baru PT Tuban Petrochemical Industries diambil oleh badan usaha milik negara. Dalam proses itulah saham minoritas akan terdilusi bila tak ada setoran modal tambahan.

Sebaliknya, bagi Pertamina, keikutsertaannya di Tuban Petro akan membuat kepemilikannya di TPPI meningkat menjadi mayoritas. Saat ini, Pertamina memegang sekitar 48 persen saham TPPI. Dengan menjadi pengendali, Pertamina bisa mengelola perusahaan lebih optimal. Montty mengatakan Pertamina masih harus mengeluarkan dana investasi untuk kompleks olefin. “Kebutuhannya miliaran dolar Amerika Serikat,” tuturnya.

Juru bicara Pertamina, Fajriyah Usman, menyatakan perseroan mendukung upaya pemerintah memajukan sektor petrokimia nasional, termasuk melalui optimalisasi TPPI. Apalagi TPPI mampu menghasilkan produk yang dapat mengurangi impor bahan bakar minyak ataupun petrokimia.

Menurut Fajriyah, Pertamina akan mempertimbangkan secara berkala jenis produk apa yang akan dibuat dengan porsi lebih besar antara bahan bakar minyak dan aromatik. Perseroan akan memperhitungkan kondisi pasar dan harga kedua produk tersebut.

Direktur Utama PT Tuban Petrochemical Industries Sukriyanto (kiri) dan Direktur Jenderal Kekayaan Negara Isa Rachmatarwata memberikan keterangan pers.

DI mata Darmin Nasution, kilang Trans Pacific Petrochemical Indotama seperti mesin mobil Mercy. Menurut Susiwijono, Darmin gemas melihat pabrik petrokimia yang kondisinya masih bagus, bisa beroperasi dengan baik, tapi tidak dijalankan secara optimal. Padahal industri dalam negeri membutuhkannya. Itu sebabnya ia mendorong Indonesia mempercepat pengembangan industri petrokimia. “Adapun hal yang menyangkut masalah hukum silakan diproses saja,” kata Susiwijono menceritakan diskusi panjang para pejabat di sela kunjungan ke Tuban, dua pekan lalu.

Persoalan hukum yang belum juga beres membayang-bayangi proses penyelesaian masalah TPPI. Saat ini Kepolisian RI tengah memburu pemilik lama TPPI, Honggo Wendratno, yang diduga kabur ke Singapura. Masalahnya, Indonesia-Singapura tidak punya kerja sama ekstradisi. Polri bahkan menyarankan Kejaksaan Agung menuntut Honggo secara in absentia.

Kasus ini bermula dari penunjukan langsung TPPI oleh Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas)—sekarang Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas)—pada Oktober 2008 dalam penjualan kondensat bagian negara selama 2009-2010. Penunjukan langsung itu dinilai menabrak beberapa aturan. Akibatnya, menurut taksiran Badan Pemeriksa Keuangan, negara merugi sekitar US$ 2,716 miliar.

Meski kasus hukum itu belum berujung, pemerintah telah menugasi Pertamina masuk ke TPPI dengan skema management step in pada November 2013. Perusahaan mengoperasikan kilang di Tuban itu dengan mekanisme tolling. Dalam konsep ini, minyak mentah atau kondensat Pertamina diolah di kilang TPPI. Dari pengolahan itu, TPPI mendapat imbalan.

Belum genap setahun mesin-mesin pabrik bergerak, kilang Tuban harus berhenti kembali. Pertamina terpaksa menyetop kontrak pada Mei 2014 karena harga produk petrokimia di pasar dunia sedang jeblok.

Harapan kehidupan TPPI muncul lagi ketika Presiden Joko Widodo berkunjung ke kilang ini, November 2015. Ia mengecek kesanggupan Pertamina, yang ditugasi menggarap kembali TPPI. Jokowi memutuskan ada pemisahan antara wilayah hukum dan ekonomi. Menurut dia, proses hukum bisa berjalan, “Wilayah ekonomi bisnis juga harus jalan.” Sejak itu, Pertamina kembali mengoperasikan TPPI menggunakan skema tolling.

Pada Agustus 2018, arah TPPI lebih jelas dengan ditekennya perjanjian pendahuluan dalam rangka pengembangan industri petrokimia nasional antara Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan dan Pertamina. Setahun kemudian, nasib kilang warisan ini makin gamblang dengan konversi piutang menjadi penyertaan modal negara. Kali ini Kementerian Keuangan dan Pertamina jauh lebih percaya diri setelah Presiden Jokowi memayungi- dengan peraturan presiden.

Fajriyah Usman mengatakan kilang TPPI sangat potensial karena peluang bisnis produk aromatik sangat bagus pada masa mendatang. Ke depan, produk petrokimia bernilai tinggi karena digunakan dalam hampir setiap aktivitas manusia. Adapun pasok-annya saat ini masih terbatas. “Kami percaya optimalisasi kilang TPPI akan menjadi bisnis yang bagus bagi Pertamina dan Indonesia,” ujarnya.

RETNO SULISTYOWATI

 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah Lama Mati Suri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Retno Sulistyowati

Retno Sulistyowati

Alumnus Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo pada 2001 dengan meliput topik ekonomi, khususnya energi. Menjuarai pelbagai lomba penulisan artikel. Liputannya yang berdampak pada perubahan skema impor daging adalah investigasi "daging berjanggut" di Kementerian Pertanian.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus