Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sinyal Pasar

Tantangan Utama Menjaga Seribu Triliun

Yopie Hidayat, Kontributor Tempo

19 Oktober 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Petugas melayani nasabah yang ingin membeli Surat Utang Negara (SUN) ritel Savings Bond Ritel (SBR) seri SBR008 di Kantor BNI Pusat, Jakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada tantangan berat yang menggayuti Indonesia saat memasuki masa pemerintahan kedua Presiden Joko Widodo, pekan ini. Masalahnya bukan cuma pergerakan ekonomi yang terasa kian lambat. Tantangan yang jauh lebih berat adalah bagaimana menjaga duit panas investor asing tetap nyaman tinggal di sini.

Jangan salah paham dulu. Duit panas di pasar finansial tidak merujuk pada dana haram hasil kejahatan. Pasar menjulukinya duit panas karena mudah berpindah-pindah. Yang patut menjadi perhatian di Indonesia, ada dana luar negeri berjumlah amat besar yang mendekam di surat utang negara (SUN). Seluruh SUN yang beredar di pasar bernilai Rp 2.206,6 triliun (per 16 Oktober 2019). Dari jumlah itu, sebanyak 46 persen atau Rp 1.012,5 triliun berada di tangan investor asing.

Bagaimana menjaga dana seribu triliun rupiah tersebut tetap betah, itulah tantangan beratnya. Pemerintah dalam mengambil segala kebijakan harus menimbang betul posisi asing yang dominan ini. Jika mereka merasa kurang nyaman menaruh uang di Indonesia, konsekuensinya sungguh serius. Tak usah seribu triliun itu kabur serentak, sebagian saja hengkang, ekonomi bisa guncang.

Dalam hal ketergantungan pada investor asing di SUN, posisi Indonesia salah satu yang terburuk di Asia. Di Malaysia, misalnya, porsi dana asing dalam obligasi pemerintah hanya 24 persen. Di Cina, yang pasar surat utangnya berpuluh kali lipat lebih besar, kepemilikan asing dalam obligasi negara cuma 5 persen (lihat tabel). Dus, Indonesia terpapar risiko lebih besar dibanding negara-negara tetangga jika ada guncangan eksternal yang memicu perpindahan dana investasi portofolio di pasar finansial global.

Adapun kondisi pasar global saat ini tak bisa dibilang stabil. Protes dan pembangkangan sipil yang berlangsung sejak Juni lalu di Hong Kong, misalnya, sudah mulai memicu pelarian modal dari sana. Pasar finansial di Eropa juga sedang kacau karena belum jelasnya pengaturan keluarnya Inggris dari Uni Eropa.

Perang dagang Amerika Serikat versus Tiongkok juga membuat ekonomi dunia terseok-seok. Per kuartal III 2019, pertumbuhan ekonomi Cina hanya 6 persen—terendah dalam 30 tahun terakhir. Terseok-seoknya salah satu lokomotif ekonomi dunia itu membuat Dana Moneter Internasional (IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan global tahun ini menjadi 3 persen saja, turun dari proyeksi sebelumnya 3,3 persen.

Imbas melemahnya ekonomi dunia juga kian terasa di dalam negeri. Neraca dagang Indonesia masih belum mampu keluar dari lubang defisit. Sepanjang Januari-September 2019, neraca dagang Indonesia masih minus US$ 1,95 miliar. Tak aneh jika Bank Dunia kembali memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2019 menjadi 5 persen saja, turun dari perkiraan sebelumnya 5,1 persen.

Saat lingkungan eksternal sedang kisruh, para politikus Indonesia justru makin abai pada upaya mempertahankan diri dari guncangan ekonomi. Mereka malah berniat mengembalikan Garis-Garis Besar Haluan Negara sebagai pedoman presiden dalam mengelola negara. Indonesia balik ke sistem ekonomi perencanaan terpusat.

Lima tahun ke depan, tarik-ulur politik itulah yang tampaknya akan mendominasi wacana kebijakan publik. Presiden sudah pernah menyatakan ketidaksetujuannya jika Indonesia kembali menggunakan GBHN. Namun, karena tak memiliki partai dan modal politik yang cukup, kecil kemungkinan Presiden Jokowi mampu menahan desakan para politikus tanpa menawarkan berbagai kompromi.

Di situlah persoalan besar bisa muncul. Kompromi yang terjadi bisa saja tetap bertentangan dengan prinsip ekonomi pasar yang menjadi patokan investor asing untuk menanamkan uang di sini. Tantangan terbesar negeri ini agar dana seribu triliun tidak kabur justru tidak lagi menjadi pertimbangan utama.

 

Peringkat Kredit Indonesia

​Standard & Poor's

Rating ​BBB      Outlook​ Stable

Fitch Ratings

​Rating BBB     Outlook Stable

Moody's Investor Service ​

Rating Baa2     Outlook ​Stable

Japan Credit Rating Agency

Rating ​BBB     Outlook ​​Stable

 

Gunung Utang Asing

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus