Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada tantangan berat yang menggayuti Indonesia saat memasuki masa pemerintahan kedua Presiden Joko Widodo, pekan ini. Masalahnya bukan cuma pergerakan ekonomi yang terasa kian lambat. Tantangan yang jauh lebih berat adalah bagaimana menjaga duit panas investor asing tetap nyaman tinggal di sini.
Jangan salah paham dulu. Duit panas di pasar finansial tidak merujuk pada dana haram hasil kejahatan. Pasar menjulukinya duit panas karena mudah berpindah-pindah. Yang patut menjadi perhatian di Indonesia, ada dana luar negeri berjumlah amat besar yang mendekam di surat utang negara (SUN). Seluruh SUN yang beredar di pasar bernilai Rp 2.206,6 triliun (per 16 Oktober 2019). Dari jumlah itu, sebanyak 46 persen atau Rp 1.012,5 triliun berada di tangan investor asing.
Bagaimana menjaga dana seribu triliun rupiah tersebut tetap betah, itulah tantangan beratnya. Pemerintah dalam mengambil segala kebijakan harus menimbang betul posisi asing yang dominan ini. Jika mereka merasa kurang nyaman menaruh uang di Indonesia, konsekuensinya sungguh serius. Tak usah seribu triliun itu kabur serentak, sebagian saja hengkang, ekonomi bisa guncang.
Dalam hal ketergantungan pada investor asing di SUN, posisi Indonesia salah satu yang terburuk di Asia. Di Malaysia, misalnya, porsi dana asing dalam obligasi pemerintah hanya 24 persen. Di Cina, yang pasar surat utangnya berpuluh kali lipat lebih besar, kepemilikan asing dalam obligasi negara cuma 5 persen (lihat tabel). Dus, Indonesia terpapar risiko lebih besar dibanding negara-negara tetangga jika ada guncangan eksternal yang memicu perpindahan dana investasi portofolio di pasar finansial global.
Adapun kondisi pasar global saat ini tak bisa dibilang stabil. Protes dan pembangkangan sipil yang berlangsung sejak Juni lalu di Hong Kong, misalnya, sudah mulai memicu pelarian modal dari sana. Pasar finansial di Eropa juga sedang kacau karena belum jelasnya pengaturan keluarnya Inggris dari Uni Eropa.
Perang dagang Amerika Serikat versus Tiongkok juga membuat ekonomi dunia terseok-seok. Per kuartal III 2019, pertumbuhan ekonomi Cina hanya 6 persen—terendah dalam 30 tahun terakhir. Terseok-seoknya salah satu lokomotif ekonomi dunia itu membuat Dana Moneter Internasional (IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan global tahun ini menjadi 3 persen saja, turun dari proyeksi sebelumnya 3,3 persen.
Imbas melemahnya ekonomi dunia juga kian terasa di dalam negeri. Neraca dagang Indonesia masih belum mampu keluar dari lubang defisit. Sepanjang Januari-September 2019, neraca dagang Indonesia masih minus US$ 1,95 miliar. Tak aneh jika Bank Dunia kembali memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2019 menjadi 5 persen saja, turun dari perkiraan sebelumnya 5,1 persen.
Saat lingkungan eksternal sedang kisruh, para politikus Indonesia justru makin abai pada upaya mempertahankan diri dari guncangan ekonomi. Mereka malah berniat mengembalikan Garis-Garis Besar Haluan Negara sebagai pedoman presiden dalam mengelola negara. Indonesia balik ke sistem ekonomi perencanaan terpusat.
Lima tahun ke depan, tarik-ulur politik itulah yang tampaknya akan mendominasi wacana kebijakan publik. Presiden sudah pernah menyatakan ketidaksetujuannya jika Indonesia kembali menggunakan GBHN. Namun, karena tak memiliki partai dan modal politik yang cukup, kecil kemungkinan Presiden Jokowi mampu menahan desakan para politikus tanpa menawarkan berbagai kompromi.
Di situlah persoalan besar bisa muncul. Kompromi yang terjadi bisa saja tetap bertentangan dengan prinsip ekonomi pasar yang menjadi patokan investor asing untuk menanamkan uang di sini. Tantangan terbesar negeri ini agar dana seribu triliun tidak kabur justru tidak lagi menjadi pertimbangan utama.
Peringkat Kredit Indonesia
Standard & Poor's
Rating BBB Outlook Stable
Fitch Ratings
Rating BBB Outlook Stable
Moody's Investor Service
Rating Baa2 Outlook Stable
Japan Credit Rating Agency
Rating BBB Outlook Stable
Gunung Utang Asing
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo