Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Menggapai Kebenaran Sejarah

Inilah buku dengan liputan luas dan menyodorkan visi mendalam yang berpihak pada korban bagaimana mengungkap kebenaran sejarah secara lebih manusiawi.

22 Agustus 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kebenaran Tak Terbahasakan Refleksi Pengalaman Komisi-Komisi Kebenaran, Kenyataan dan Harapan Pengarang: Priscilla B. Hayner Penerbit: ELSAM, Jakarta Februari, 2005 Tebal buku: 616 halaman

Setiap kali terbit buku dengan fokus mengungkap kebenaran masa silam, muncul pertanyaan: bagaimana masa depan umat manusia dirumuskan kembali? Beragam pelanggaran berat di masa lalu harus disingkap, tapi kekerasan, kejahatan HAM, pelanggaran sejarah dapat dianalogikan dengan jejaring jebakan yang berupaya mempengaruhi pemerintah yang berkuasa agar tidak mengungkap tuntas kesalahan. Ini persoalan mendasar karena menyangkut harkat dan martabat manusia yang menjadi korban kekerasan dan pelaku kekerasan itu sendiri. Juga mendesak, karena yang dipertaruhkan adalah pelurusan sejarah, eksistensi kekinian manusia dan masa depan kemanusiaan sebuah bangsa.

Menurut Hayner, kesepakatan semua komponen masyarakat diperlukan dan harus berlandaskan keinginan bersama untuk menyelesaikan persoalan di masa lalu. Bukan karena dendam, melainkan berdasarkan keinginan untuk jujur dan terbuka tentang apa-apa yang sudah dilakukan, kesadaran untuk meminta maaf, memberi maaf, dan mengeratkan kembali persaudaraan. Ketika semua pihak sudah satu pendapat, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) didirikan. Di sini, kita mesti hati-hati menakar proses transformasi menuju demokrasi. Penentuan posisi ini sangat penting untuk menilai sejauh mana pihak militer yang sudah bisa diduga sebagai pelaku dominan kejahatan HAM di masa lalu akan memberi dukungan. Salah satu cara untuk mendapatkan dukungan itu adalah dengan pemberian amnesti, sebagaimana juga diterapkan oleh KKR Afrika Selatan, meski amnesti bisa saja menimbulkan ketidakpuasan korban sehingga tujuan rekonsiliasi tidak tercapai (hlm. 45).

Di Indonesia, proses pembentukan KKR dimandatkan melalui TAP MPR Nomor VI/2000 tentang Persatuan Nasional, yang memastikan penyusunan legislasi tentang komisi kebenaran itu. Mandat ini ditegaskan kembali dalam UU Nomor 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Dalam Pasal 43 UU Nomor 26/2000 dijelaskan bahwa kasus pelanggaran berat HAM yang tidak dapat diselesaikan melalui pengadilan HAM ad hoc akan ditangani oleh KKR. Kenyataannya, sejak era Habibie, proses pembentukan KKR tidak berjalan mulus.

Tidak mudah untuk memuaskan harapan semua. Pengalaman di negara lain menggambarkan bahwa acknowledging the truth itu sukar, juga penuh risiko. Tersangka pelaku pelanggaran HAM umumnya cemas ketika dimintai keterangan, apalagi di depan publik seperti di Afrika Selatan. Di El Salvador, pemberian keterangan dilakukan tertutup agar yang bersangkutan merasa bebas dan aman menyampaikan keterangan dan pengakuannya—sekalipun ini bisa mengundang kecurigaan akan manipulasi atau, paling tidak, biasnya tim komisi. Apa pun metode yang dipilih, risiko tetap ada. Di Cile, beberapa pekan setelah KKR mengumumkan hasil kerjanya, setidaknya terjadi tiga pembunuhan politik. Pembunuhan yang melahirkan ketakutan masyarakat luas (culture of fear).

Bagaimanapun, misi pengusutan kejahatan HAM tak boleh menyusut. Semua komponen bangsa memerlukan suatu proses penyembuhan. Hal ini hanya akan terjadi jika penyakit itu diketahui, didiagnosis, dan diobati. Tujuan proses ini intinya membawa pelaku mengakui kesalahan sejarahnya. Apabila tahapan ini berhasil dilakukan, meski dengan risiko yang besar, sumbangannya kepada proses rekonsiliasi sangat berharga. Kita semua tentu tak menghendaki selamanya tenggelam dalam luka sejarah yang ujung-ujungnya menggiring banyak kalangan ke dalam pertentangan dan kekerasan berdarah.

Yang menjadi masalah di Indonesia adalah belum tumbuhnya common mindset (pemikiran bersama) untuk mewujudkan rekonsiliasi. Bahkan sebagian besar elite politik maupun pemerintahan belum menyadari urgensi rekonsiliasi untuk menyelamatkan bangsa dari perpecahan. Bagi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang berlatar belakang militer, pembentukan KKR juga akan menjadi ujian penentuan sikap rezim terhadap para pelaku kejahatan HAM berat pada masa lalu. Jika berhasil, citra bangsa akan kembali bersinar. Bagaimanapun, gagasan-gagasan Hayner dalam buku ini membuka mata kita akan perlunya mengungkap kebenaran sejarah.

Paulus Mujiran, wartawan dan Direktur Yayasan Soegijapranata di Semarang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus