Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dan negara pun usai….
Ketika Engels menyebut kata itu, ia tak bermaksud menunjuk agar negara harus berakhir dan di-bubarkan. Kata yang dipakai dalam kumpulan polemiknya yang kemudian dikenal sebagai Anti-Dühring itu adalah ”Absterben des Staates”, yang lazim diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai ”the withering away of the state”. Di sana tersirat sebuah proses yang berlangsung wajar: bangunan kekuasaan itu tak dipaksa roboh, melainkan perannya telah selesai.
Engels memprediksi bahwa itulah yang akan terjadi, ketika kelak dunia tak lagi dilecut oleh pertentangan kelas, ketika kelak tak ada lagi manusia yang ditindas dan diisap tenaganya. Sebab negara adalah buah sejarah. Ia tak hadir sejak alam baka. ”Pernah ada masyarakat yang berlangsung tanpa itu,” tulis Engels, ”dan tak tahu apa-apa tentang negara serta kekuasaannya.” Kemudian manusia memang membentuknya, karena perkembangan sosial-ekonomi telah menyebabkan masyarakat terbelah ke dalam kelas yang bertentangan. Untuk mengendali-kan pertentangan itu, negara pun disusun. Tapi tak buat selama-lamanya.
Dalam risalah yang ditulis antara September 1876 dan Juni 1878 Engels memperhitung-kan, ”Kini dengan cepat kita mendekati sebuah tahap dalam pengembangan produksi yang membuat kelas-kelas itu bukan saja tak perlu ada, tapi juga akan jadi penghambat yang pasti.” Maka, kata Engels pula, seluruh kelas sosial akan punah. ”Bersama mereka negara juga mau tak mau akan jatuh. Masyarakat, yang akan mengatur kembali produksi berdasarkan asosiasi bebas para produsen, akan meletakkan seluruh peralatan negara ke tempatnya yang semestinya: ke dalam museum benda-benda antik, di samping alat pintal tangan dan kapak tembaga.”
Lebih dari satu abad kemudian kita tahu: polisi, hakim, jaksa, birokrat, dan tentara belum jadi barang kuno. Tapi keadaan ini tak dapat dikatakan secara umum, dan tak pula ada sebab yang sama. Bahkan dapat saja dikatakan Engels benar—tapi dengan ironi yang pahit: betul, negara usai, tapi itu bukan karena datangnya masyarakat komunis yang tak mengenal penindasan kelas. Negara usai justru karena ternyata kapitalisme ulung.
Kini telah umum dibicarakan bahwa modal bukan saja semakin terhimpun, tapi juga semakin mampu mengatasi kesulitan-kesulitannya sendiri dengan cara bergerak dari tempat ke tempat, kian lama kian cepat. Ruang dan terito-rium jadi tak amat penting. Peralatan negara kian tak mampu mengontrol, kalaupun mereka berniat membuat kendali.
Atau negara memang tak sebagaimana dipikirkan kaum Marxis. Saya tak tahu pernahkah Marx menguraikan pandangannya secara penuh tentang persoalan ini, seperti yang dijanjikannya dalam surat-suratnya kepada Lassale dan Engels. Hanya petilan pemikirannya yang diketahui, yang kemudian disarikan Lenin dengan gampangan: negara adalah alat menindas sebuah kelas atas kelas lain. Unsur terpenting adalah pemihakan dan kekerasan.
Konflik, kekerasan, dan kekuasaan memang tak dapat dilepaskan dari dasar sebuah republik. Tapi mungkin dari pengalaman dalam ketegangan itu tumbuh sesuatu yang lain: sebuah kepentingan, atau sebuah ”nilai”, yang secara universal dipegang bersama. Hegel menyebut soal ini sebetulnya, ketika ia menggambarkan kekuasaan ekseku-tif sebagai elemen yang mengemban ”yang partikular” di bawah naungan ”yang universal”—dan bahkan memandang pegawai negeri sebagai ”kelas universal”. Yang kurang pada Hegel: ia tak melihat bahwa ”kelas” itu, juga yang ”universal” itu, tak datang dari surga Ide yang biru.
Itu sebabnya negara—sebuah makhluk yang sebenarnya tak kasat mata, dan tiap hari kehadirannya hanya diwakili lurah, polisi lalu lintas, pengantar pos, mantri kesehatan—tak kebal dari sengketa kepentingan, tapi pada saat yang sama, akhirnya sengketa dan kekuatannya terbatas. Ia dimaksudkan menegakkan sebuah tata, tapi tak pernah bisa penuh dan permanen. Kekerasan yang habis-habisan tak selamanya bisa terjadi, dan penindasan tak selamanya berhasil. Orang belajar dari peng-a-laman untuk mengekonomiskan tengkar. Semakin tersusun sistem dan lembaga untuk mengelola konflik, semakin tercatat pula bahwa pertentangan kepentingan kian tak terbatas hanya kelas, tapi juga ras dan gender, dan semakin tampak: masyarakat adalah sebuah komunitas yang tak pernah selesai.
Ada yang mengatakan, di sini berperan apa yang kemudian disebut ”modal sosial”, yang dalam bahasa Inggris disebut ”trust”. Diperlukan kepercayaan dari pihak ”sini” ke pihak ”sana” agar sebuah republik dapat hidup terus tanpa hanya bergantung pada regimentasi atau mobilisasi masyarakat. Persoalannya kemudian adalah bagaimana sejarah sebuah kepercayaan dapat jadi cerita yang tiap kali dikukuhkan.
Di Indonesia, persoalan itu sangat sulit dijawab. Pekan lalu mendadak listrik di seluruh Pulau Jawa dan Bali pa-dam. Beberapa jam kekacauan berlangsung. ”Ada seekor ular mengganggu,” seorang menteri menjelaskan dengan kalem esok harinya. Saya pun terdiam, berpikir: jangan-jangan orang kini bisa bicara tentang Indonesia yang di-atur orang-orang yang tak bekerja untuk kepen-tingan umum, hingga negeri ini dengan mudah dikalahkan oleh seekor ular, dan sebuah perusahaan yang selama 60 t-ahun me-ngelola tenaga listrik untuk Republik tak mampu membuat orang tenang dengan penjelasan bagaimana persedia-an energi yang esensial buat abad ke-21 itu bisa sial karena reptil yang mengusik manusia sejak Adam dan Hawa.
Artinya, ada sesuatu yang lepas: pengakuan bahwa se-suatu yang universal memang mengimbau dalam kehidup-an sebuah republik, seraya sadar bahwa siapa pun tak mampu mewakili yang universal itu. Dengan kata lain: sebuah negara tak akan usai jika ia bekerja terus, sambil berdiri, sebagai sebuah republik yang tanpa ilusi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo