Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Analis Senior Kebijakan Kelistrikan Asia Tenggara EMBER, Dinita Setyawati, mengatakan pertumbuhan listrik ASEAN yang mencapai 3,6 persen pada tahun lalu masih bergantung pada energi fosil. Hal tersebut disebabkan oleh energi terbarukan di wilayah ini tidak tumbuh cukup tinggi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Indonesia berkontribusi terhadap peningkatan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara hingga 11 terawatt jam (TWh), menjadikannya negara dengan penggunaan PLTU usia muda terbesar di dunia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dinita membeberkan, bahan bakar fosil mendominasi pembangkit listrik ASEAN, mencapai 74 persen, dengan batu bara berkontribusi hingga 44 persen di antaranya pada 2023. Sementara untuk energi terbarukan, hanya menyumbang 26 persen, angka tersebut turun dari 28 persen di tahun sebelumnya.
"Tingginya ketergantungan pada energi fosil ini membuat emisi karbon ASEAN meningkat 6,6 persen menjadi 718 juta ton CO2 pada tahun lalu. Indonesia dan Vietnam merupakan penyumbang terbesar, masing-masing sebesar 14 juta ton dan 20 juta ton," ujarnya dalam keterangan tertulis dalam laporan terbaru lembaga think tank EMBER bertajuk “ASEAN's Clean Power Pathways: 2024 Insights,” diterima Tempo pada Rabu, 23 Oktober 2024.
Pada laporan tersebut juga diperkirakan bahwa permintaan listrik di ASEAN akan meningkat sebesar 41 persen pada 2030. Dinita menekankan agar negara-negara di ASEAN dapat lebih cepat beralih ke energi terbarukan.
Selanjutnya, Dinita mengatakan bahwa ASEAN harus mengambil peluang untuk diversifikasi energi di saat biaya energi surya turun 55 hingga 81 persen dan angin 33 hingga 35 persen. Langkah ini tentunya menjadi solusi untuk memenuhi pertumbuhan permintaan listrik sekaligus mencapai target penanganan krisis iklim.
Pada laporan tersebut, solusi yang ditawarkan adalah pembangunan listrik lintas negara dalam pengembangan energi surya dan angin. Sebagai contoh, faktor kapasitas pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Semenanjung Malaysia dan Singapura mencapai puncaknya sebesar 20 persen pada bulan Januari hingga April. Hal ini sejalan dengan faktor kapasitas pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) di Indonesia yang mencapai 30 persen pada bulan Mei hingga Oktober.
Saat ini, dari 18 rencana jaringan listrik lintas negara, delapan jaringan sudah selesai dibangun dan memungkinkan ekspor listrik hingga 7,7 gigawatt (GW). Jaringan listrik yang menghubungkan Laos, Thailand, Malaysia, hingga Singapura menjadi tonggak penting kerja sama energi regional ASEAN. ASEAN Power Grid berikutnya yang disasar adalah jaringan listrik lintas Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Filipina.
“Transisi ASEAN ke energi terbarukan menjanjikan dibukanya lapangan kerja baru, ketahanan energi yang lebih kuat, dan pertumbuhan ekonomi. Upaya bersama melalui program interkoneksi dan kerja sama internasional menawarkan solusi atas berbagai tantangan yang dihadapi regional ini,” kata Dinita.