Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai ruang gerak penyaluran kredit kepada badan usaha milik negara (BUMN) semakin sempit. Sebab, batas maksimal pemberian kredit (BMPK) sebesar 30 persen dari modal kepada perusahaan pelat merah sudah hampir terpakai secara penuh tapi OJK tak bisa memberikan pelonggaran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua OJK Wimboh Santoso mengatakan terlalu berisiko apabila merevisi BMPK agar penyaluran bank lebih leluasa menyalurkan kredit kepada BUMN. “Banyak opsi yang bisa kita eksplor, pasar modal dan foreign direct investment,” katanya di Gedung DPR, Jakarta, Kamis, 13 Juni 2019.
Wimboh menjelaskan, pertumbuhan ekonomi nantinya harus mengandalkan sektor swasta. Perusahaan swasta akan mengandalkan foreign direct investment dan pasar modal, sehingga tidak membebankan BMPK industri perbankan. Sejumlah sektor swasta yang dimaksud adalah perikanan, tambang, dan pariwisata. Selain itu manufaktur potensial untuk terus didorong agar lebih kompetitif.
Namun begitu, Wimboh yakin pertumbuhan kredit perbankan akan terjaga hingga tahun depan. Dia memprediksi fungsi intermediasi bank dapat tumbuh antara 12 persen hingga 14 persen secara tahunan. Kinerja itu akan mendorong aset bank tumbuh antara 13 persen hingga 15 persen secara tahunan.
Adapun dalam aturan yang berlaku saat ini, BMPK untuk korporasi milik negara adalah sebesar 30 persen dari modal. Dalam regulasi yang sama, BMPK untuk korporasi swasta diatur 20 persen.
Sebelumnya sejumlah bank memandang BMPK menjadi satu kendala utama penyaluran kredit infrastruktur kepada BUMN. Regulator pun diminta mempertimbangkan untuk meningkatkan batas tersebut.
Executive Vice President Divisi BUMN 1 PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. I Made Suka mengatakan bahwa BMPK akan semakin mengganjal ekspansi kredit dengan terbentuknya holding infrastruktur dan perumahan BUMN. Pasalnya, aturan BMPK akan tetap mengatur pemberian kredit maksimum kepada holding tersebut tetap 30 persen dari modal. Dengan kata lain, kemampuan bank menyalurkan kredit tidak akan sejalan dengan kebutuhan holding infrastruktur dan perumahan BUMN.
Senada, Direktur Manajemen Risiko PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Bob Tyasika Ananta juga menyampaikan hal serupa. Ia menilai perlu ada pelonggaran aturan batas maksimum pemberian kredit agar bank dapat lebih optimal membiayai proyek infrastruktur pemerintah.
BISNIS