Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Operasi Pasar Bulog Diselewengkan, Berapa Keuntungan Mafia Beras?

Pengamat Pertanian AEPI Khudori mengatakan operasi pasar Bulog tidak efektif karena dimanfaatkan mafia beras mencari keuntungan.

13 Februari 2023 | 16.28 WIB

Pekerja menurunkan beras dari truk untuk dijual saat pelaksanaan Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) beras di Pasar Larangan Sidoarjo, Jawa Timur, Minggu, 5 Februari 2023. Pemprov Jawa Timur bersama Bulog menggelar SPHP beras di sejumlah pasar di Jawa Timur dengan menjual beras seharga Rp45 ribu per lima kilogram guna mengendalikan harga beras yang mengalami kenaikan. ANTARA FOTO/Umarul Faruq
Perbesar
Pekerja menurunkan beras dari truk untuk dijual saat pelaksanaan Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) beras di Pasar Larangan Sidoarjo, Jawa Timur, Minggu, 5 Februari 2023. Pemprov Jawa Timur bersama Bulog menggelar SPHP beras di sejumlah pasar di Jawa Timur dengan menjual beras seharga Rp45 ribu per lima kilogram guna mengendalikan harga beras yang mengalami kenaikan. ANTARA FOTO/Umarul Faruq

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menilai penggelontoran beras Bulog dalam operasi pasar atau program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) tidak efektif dalam menurunkan harga beras. "Kalau melihat pergerakan harga beras dari Agustus sampai saat ini, (operasi pasar) tidak terlalu efektif," ujarnya kepada Tempo pada Senin, 13 Februari 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Jumlah beras yang telah disalurkan oleh Bulog sudah sangat besar, tetapi harganya hingga kini masih terus naik hingga menembus Rp 13.000 per kilogram. Sepanjang Agustus sampai Desember 2022, Bulog telah menggelontorkan cadangan beras pemerintah (CBP) sekitar 1 juta ton. Kemudian pada Januari 2023 sebesar 164 ribu. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Khudori menjelaskan operasi pasar merupakan subsidi umum. Sehingga tidak jelas siapa sasarannya dalam program ini karena orang miskin maupun kaya boleh membeli beras Bulog. Ditambah ada keterlibatan pedagang atau pengecer yang sebetulnya, menurut Khudori, menjadi titik masalah. 

"Karena dia (pedagang atau pengecer) jadi bagian pelaku. Apa yang kita baca beberapa hari ini, yang katanya ada mafia dan seterusnya, itu adalah salah satu efek dari keterlibatan pedagang atau pengecer," tutur Khudori.

Penyimpangan itu didorong oleh keinginan mendapatkan margin untung yang besar. Pasalnya, potensi untung dengan memanfaatkan operasi pasar amat besar. Khudori pun membeberkan perhitungan potensi penyelewengan tersebut. 

Pedagang besar membeli beras operasi pasar di Bulog Rp 8.300 per kilogram. Pedagang tersebut dibatasi menjual ke pengecer atau downline dengan harga maksimal Rp 8.900 per kilogram, sehingga ada margin Rp 600 per kilogram. Sementara itu, pengecer dilarang menjual beras di atas harga eceran tertinggi (HET) beras medium, yakni Rp 9.450 sampai Rp 10.250 per kilogram, tergantung wilayah. 

Padahal, beras Bulog dalam operasi pasar ini berkualitas premium, sehingga ada potensi pedagang menjualnya dengan harga premium yang berkisar Rp 12.800 sampai Rp 13.600 per kilogram. Sehingga keuntungan yang bisa didapat berkisar Rp 3.900 hingga Rp 5.300 per kilogram. Hal itu membuat pedagang tergiur melakukan menyelewengkan beras Bulog dan menjualnya di kemasan premium dengan harga tinggi.

"Dengan penjelasan ini, buat saya, operasi pasar dari sisi instrumen memang tidak efektif. Karena sebagai operator Bulog menyalurkan lewat pedagang atau pengecer, yang masing-masing mereka itu akan memungut margin keuntungan," ujarnya

Kerja sama Bulog dengan pedagang pasar tradisional dan ritel modern juga dinilai masih tidak efektif dalam menurunkan harga. Penyebabnya sama, yakni titik-titik pemasaran itu akan ambil margin untung. 

Faktor lainnya yang membuat operasi pasar tidak berhasil menurunkan harga beras adalah sulitnya mengawasi terhadap pedagang atau pengecer. Sehingga, pelaku usaha pun dengan mudah melanggar persyaratan yang dibuat pemerintah. 

"Penyelewengan-penyelewengan yang ada dan ramai diberitakan adalah contoh riil. Karena ada peluang, potensi untung besar, potensi tertangkap aparat kecil karena pengawasan yang relatif lemah," ucapnya. 

Karena itu, menurutnya, operasi pasar akan efektif apabila Bulog bisa langsung tersalur dan terhubung dengan konsumen akhir. Seperti yang terjadi pada saat masih ada program beras untuk keluarga miskin (Raskin) atau beras sejahtera (Rastra). 

Saat program itu masih ada, pemerintah bisa mengendalikan harga beras dengan mengucurkan beras tambahan dalam bentuk Raskin atau Rastra hingga ke 15 juta keluarga penerima manfaat. "Itu mendapatkan beras Bulog sebanyak 15 kilogram per bulan dengan menebus Rp 1.600 per kilogram," kata Khudori.

Melalui program Raskin atau Rastra, Khudori mencatat Bulog kala itu bisa menyalurkan sekitar 253 ribu ton dalam sebulan atau sekitar 10 persen dari kebutuhan konsumsi. Saat paceklik dan harga beras tinggi, pemerintah juga biasanya menambah pasokan Raskin atau Rastra. Alhasil, karena 15 juta rumah tangga penerima beras tersebut tidak berburu beras ke pasar, maka harga beras melandai. Raskin atau Rastra saat itu juga disalurkan tepat waktu sehingga harga beras stabil dan inflasi juga terkendali. 

Riani Sanusi Putri

Riani Sanusi Putri

Lulusan Antropologi Sosial Universitas Indonesia. Menekuni isu-isu pangan, industri, lingkungan, dan energi di desk ekonomi bisnis Tempo. Menjadi fellow Pulitzer Center Reinforest Journalism Fund Southeast Asia sejak 2023.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus