Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Pagar Laut di Bekasi Disebut Reklamasi Ilegal, Apa itu Reklamasi?

Pagar laut di Bekasi untuk penataan alur pelabuhan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Paljaya disebut reklamasi ilegal. Apa itu reklamasi?

17 Januari 2025 | 13.59 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pagar laut di Desa Segara Jaya, Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, 15 Januari 2025. TEMPO/Martin Yogi Pardamean

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Kelautan dan Perikanan disingkat KKP menyatakan pagar laut yang terbuat dari bambu di perairan Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, masuk dalam kategori kegiatan reklamasi ilegal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari hasil penyidikan, kegiatan reklamasi ini terindikasi melanggar Pasal 18 angka 12 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Kegiatan ini dikategorikan reklamasi (ilegal) karena kegiatan dilakukan di luar garis pantai,” kata Direktur Pengawasan Sumber Daya Kelautan (PSDKP) KKP Sumono Darwinto, di Jakarta, Rabu, 15 Januari 2024.

Pagar laut Bekasi itu berupa jejeran batang bambu sepanjang 8 kilometer dengan lebar area 70 meter yang membentang di perairan di Desa Segarajaya, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Pagar laut ini membentuk garis panjang menyerupai tanggul, dengan hamparan perairan di tengahnya yang mirip sungai.

Di sisi lain, keberadaan pagar laut Bekasi disebut merugikan nelayan setempat. Nelayan sekitar, Mitun, 28 tahun, mengatakan, aktivitas masyarakat sekitar sangat terganggu dengan adanya pagar laut tersebut. Terutama bagi mereka yang berprofesi sebagai nelayan. Sebab, sejak pagar laut bambu itu berdiri ia dan ratusan nelayan lainnya jadi kesusahan dalam mencari ikan.

“Terganggu banget, tadinya jalannya ke sana lurus, sekarang jalannya muter jauh banget. Ya kan ketutup sama pagar itu,” tutur kepada wartawan di lokasi, Selasa, 14 Januari 2025.

Pengertian Reklamasi

Secara sederhana menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, reklamasi sebenarnya memiliki dua makna. Pertama, berarti sanggahan keras. Kedua, digunakan dalam istilah pertanian yang dimaknai sebagai pemanfaatan daerah yang semula tidak berguna untuk memperluas tanah (pertanian) atau tujuan lain, misalnya dengan cara menguruk daerah rawa-rawa.

Dilansir dari dokumen Bpk.go.id, definisi reklamasi juga terdapat pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil. Dalam Pasal 1 angka 23 disebutkan, reklamasi adalah kegiatan meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan, atau drainase.

Menurut peraturan tersebut, reklamasi hanya dapat dilaksanakan jika manfaat sosial dan ekonomi yang diperoleh lebih besar dari biaya sosial dan biaya ekonominya. Selain itu, pelaksanaannya juga wajib menjaga dan memperhatikan keberlanjutan kehidupan dan penghidupan masyarakat.

“Serta keseimbangan antara kepentingan pemanfaatan dan pelestarian lingkungan pesisir, serta persyaratan teknis pengambilan, pengerukan, dan penimbunan materiil,” bunyi aturan tersebut.

Pada dasarnya, kegiatan reklamasi, terkhusus pantai tidaklah dianjurkan. Namun, disadur dari Pengaturan Perizinan Reklamasi Pantai Terhadap Perlindungan Lingkungan Hidup oleh Moch. Choirul Huda, reklamasi pantai dapat dilakukan dengan memperhatikan isi ketentuan berikut:

1. Merupakan kebutuhan pengembangan kawasan budi daya yang telah ada di sisi daratan;

2. Merupakan bagian wilayah dari kawasan perkotaan yang cukup padat dan membutuhkan pengembangan wilayah daratan untuk mengakomodasikan kebutuhan yang ada;

3. Berada di luar kawasan hutan bakau yang merupakan bagian dari kawasan hutan lindung atau taman nasional, cagar alam dan suaka margasatwa; dan

4. Bukan merupakan kawasan yang berbatasan atau dijadikan acuan batas wilayah dengan negara lain.

Reklamasi di Bekasi ilegal dan rugikan nelayan setempat

Sebelumnya, Direktorat Jenderal PSDKP KKP telah menyegel kegiatan pemagaran laut di perairan Bekasi, tersebut. Direktur Jenderal PSDKP KKP Pung Nugroho Saksono mengatakan penyegelan dilakukan karena pagar laut tidak mengantongi izin Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL).

“Dulu kami sudah turun ke sini. Tanggal 19 Desember (2024) sudah kami peringatkan berhenti, urus dulu PKKPRL-nya. Karena itu menjadi konsen kami. Ternyata kemarin siang anggota kami ke sini itu ekskavator masih kerja. Makanya saya putuskan, saya segel,” kata Pung Nugroho di sela meninjau pagar laut itu.

Sementara itu, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat Hermansyah mengatakan pagar laut tersebut merupakan bagian dari penataan alur pelabuhan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Paljaya yang sedang dibangun. Kegiatan reklamasi disebut sebagai kerja sama dengan PT TRPN.

“Jadi nanti kita di daratnya kita akan bangun PPI-nya sehingga nanti nelayan akan terpusat untuk melakukan pelelangan ikan di PPI Paljaya,” kata Ahman, Selasa, 14 Januari 2025.

Diketahui, selain di Bekasi, keberadaan pagar laut ilegal juga ada di perairan Kabupaten Tangerang, Banten sepanjang 30 kilometer lebih. Pakar Kebijakan Publik dari UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat memperkirakan kerugian yang ditimbulkan oleh pemasangan pagar laut di perairan Tangerang dan juga Kabupaten Bekasi mencapai Rp116,91 miliar per tahun.

Menurut Achmad, kerugian ini mencakup dampak terhadap pendapatan nelayan, peningkatan biaya operasional, serta kerusakan ekosistem laut. Keberadaan pagar laut di pesisir Tangerang dan Bekasi, kata dia, telah menciptakan kerugian ekonomi, sosial, dan ekologis yang signifikan. Proyek ini tidak hanya merugikan nelayan, tetapi juga gagal memberikan manfaat yang dijanjikan.

“Fakta-fakta di lapangan menunjukkan bahwa pembangunan pagar laut ini lebih banyak memberikan dampak negatif daripada positif,” kata Achmad kepada Antara di Jakarta, Kamis, 16 Januari 2025.

Ia merinci, kerugian sebesar Rp116,91 miliar tersebut terdiri dari penurunan pendapatan nelayan sebesar Rp93,31 miliar per tahun, peningkatan biaya operasional sebesar Rp18,60 miliar per tahun, dan kerusakan ekosistem laut senilai Rp5 miliar per tahun. Perhitungan ini didasarkan pada data dari Ombudsman RI serta analisis ekologis independen.

Adi Warsono berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

 

 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus