Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Pandangan Ekonom Soal Misi Prabowo Singkirkan Ekonomi Neoliberal

Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan ekonomi Indonesia saat ini memang cenderung mengarah pada liberalisme ekonomi.

7 Agustus 2018 | 19.14 WIB

Image of Tempo
Perbesar
INDEF menggelar evaluasi terhadap kebijakan pangan di masa pemerintahan Jokowi-JK, 10 Juli 2017. TEMPO/Putri Thaliah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan ekonomi Indonesia saat ini memang cenderung mengarah pada liberalisme ekonomi. "Ini fakta yang tidak bisa dihindari," kata Bhima saat dihubungi di Jakarta, Selasa, 7 Agustus 2018. Pernyataan ini disampaikan menanggapi visi misi Prabowo yang ingin Indonesia menerapkan ekonomi kerakyatan, bukan ekonomi neoliberalisme seperti saat ini. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ambisi dari Prabowo itu sebelumnya disampaikan oleh Anggota Badan Komunikasi Dewan Pengurus Pusat Partai Gerindra Andre Rosiade pada hari yang sama. Sebagai salah satu Calon Presiden pada pemilu mendatang, kata Andre, visi misi Prabowo sudah hampir final. "Intinya ekonomi kerakyatan, bukan ekonomi neolib," kata Andre.

Bhima melanjutkan, setidaknya ada empat indikator yang bisa dijadikan justifikasi bahwa ekonomi Indonesia semakin mengarah pada liberalisasi. Keempatnya itu mulai dari Penanaman Modal Asing (PMA), utang, program pemberantasan kemiskinan, sampai penyediaan infrastruktur.

Untuk indikator PMA, kata Bhima, tren kenaikan memang terus terjadi dalam tiga tahun terakhir. Beberapa sektor yang semula ditutup untuk investor asing, sekarang mulai dilonggarkan dan dialiri modal asing. Dari kebijakan ini, menurut Bhima, liberalisasi mulai terjadi.

Dominasi asing rupanya tak hanya merambah merambah PMA, namun juga pada utang luar negeri. Saat ini, 40 persen surat utang Indonesia dikuasai oleh asing. Padahal, data dari Kementerian Keuangan menyebutkan bahwa 80,73 persen dari total Rp 7.000 triliun utang luar negeri Indonesia didominasi oleh penerbitan surat utang tersebut. "Jadi Indonesia tidak mandiri," ujar Bhima.

Selanjutnya, kebijakan pemberantasan kemiskinan juga dinilai belum menunjukkan keberpihakan yang serius. Memang salah satunya adalah program reforma agraria berupa pembagian sertifikat tanah dari Presiden Joko WidodoBhima menilai program ini masih rawan karena sertifikat bisa dijual kembali. Walhasil, ketimpanganpun bisa saja kembali berlanjut.

Terakhir yaitu pada pembangunan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur seperti tol, kata Bhima, saat ini ternyata lebih banyak dinikmati oleh kelompok menangah ke atas. "Orang miskin gak perlu naik tol," ujarnya. Maka, beberapa indikator itulah yang bagi Bhima menunjukkan betapa ekonomi Indonesia semakin bergerak ke arah liberalisasi.

Fajar Pebrianto

Fajar Pebrianto

Meliput isu-isu hukum, korupsi, dan kriminal. Lulus dari Universitas Bakrie pada 2017. Sambil memimpin majalah kampus "Basmala", bergabung dengan Tempo sebagai wartawan magang pada 2015. Mengikuti Indo-Pacific Business Journalism and Training Forum 2019 di Thailand.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus