JAKARTA — Pemerintah memutuskan akan menggelontorkan
subsidi untuk penyediaan
minyak goreng dengan harga Rp 14 ribu per liter di tingkat konsumen. Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah menyiapkan anggaran sebesar Rp 3,6 triliun untuk mensubsidi selisih harga minyak goreng kemasan sederhana hingga enam bulan ke depan.
Airlangga menyatakan tingkat harga tersebut sudah dihitung dengan komponen pajak pertambahan nilai (PPN). Berdasarkan kalkulasi pemerintah, volume
minyak goreng yang dibutuhkan oleh masyarakat hingga enam bulan mendatang mencapai 1,2 miliar liter. “Penyediaan ini akan dievaluasi pada Mei mendatang. Kebijakan dapat diperpanjang,” ujar Airlangga dalam konferensi virtual, kemarin.
Pemerintah juga menunjuk komite pengarah dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) sebagai penyedia dan pelaksana anggaran subsidi. Setelah itu, BPDPKS akan menunjuk surveyor independen dalam mempersiapkan mekanisme kerja sama. Kemudian Menteri Keuangan akan menyiapkan tata cara pemungutan dan setoran PPN atau selisih harga. Nantinya, tata cara itu mengadopsi peraturan Direktorat Jenderal Pajak dan lembaga lain, termasuk Kementerian Perindustrian, terkait dengan standar nasional Indonesia (SNI).
Kebijakan pemberian subsidi ini dikeluarkan pemerintah menyusul naiknya harga minyak goreng menjelang pergantian tahun lalu. Dalam rapat kabinet paripurna pada akhir Desember 2021, Presiden Joko Widodo meminta adanya penyediaan minyak goreng dengan harga terjangkau. Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, saat ini harga minyak goreng kemasan sudah menembus Rp 20 ribu per liter. Padahal harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 11 ribu per liter.
Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Bandung, Elly Wasliah, melihat minyak goreng kemasan saat operasi pasar minyak goreng di Taman Dewi Sartika, Bandung, Jawa Barat, 3 Desember 2021. TEMPO/Prima mulia
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan pemerintah masih menjalankan operasi pasar lewat penyediaan 11 juta liter minyak goreng murah dalam kemasan sederhana. Operasi pasar ini dilakukan Kementerian bekerja sama dengan Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) dan Asosiasi Industri Minyak Makan Indonesia (AIMMI). Saat ini, kata Lutfi, realisasinya sudah mencapai 4 juta liter dan masih akan terus digelontorkan hingga target terpenuhi.
Untuk penyaluran subsidi, Lutfi menyampaikan penyediaan minyak goreng harga murah tersebut akan melibatkan setidaknya 70 perusahaan industri minyak goreng dan 225 usaha pengemasan. Namun, untuk penyediaan awal, pemerintah akan bekerja sama dengan lima perusahaan industri minyak goreng besar untuk segera mengalokasikan minyak goreng kemasan sederhana. Distribusinya akan diutamakan ke pasar-pasar yang dipantau
Kementerian Perdagangan.
"Mudah-mudahan hal ini dapat menghadirkan minyak goreng yang harganya terjangkau bagi masyarakat," ujar Lutfi.
Direktur Utama
Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit, Eddy Abdurrachman, menyampaikan lembaganya sudah siap menutup selisih harga antara harga pasar dan HET yang ditetapkan oleh Menteri Perdagangan. “Dengan dana kurang-lebih Rp 3,6 triliun termasuk PPN, anggaran BPDPKS untuk mendanai program ini bisa dilakukan sampai enam bulan,” kata dia.
Peneliti dari Institute for Development of Economics (Indef), Rusli Abdullah, berujar tingkat konsumsi minyak goreng per kapita sebesar 0,94 liter per bulan. Rusli memperkirakan, dengan jumlah penduduk sebanyak 238,9 juta jiwa serta penduduk usia 5-70 tahun yang masih memungkinkan mengkonsumsi makanan gorengan, untuk enam bulan ke depan, angka konsumsi minyak goreng bisa mencapai 1,35 miliar liter.
"Untuk menutup selisih HET Rp 11 ribu dengan Rp 14 ribu, jumlahnya setara dengan Rp 4,04 triliun. Sedangkan dana yang tersedia Rp 3 triliun atau hanya menanggung 1,2 miliar liter. Artinya, masih kurang 150 juta liter," ujar Rusli.
Selain itu, Rusli menekankan adanya potensi penyelewengan penyaluran subsidi lewat kemasan sederhana oleh produsen. Menurut dia, perlu ada mekanisme untuk memastikan pengusaha benar-benar mengeluarkan produk yang disubsidi sesuai dengan apa yang dilaporkan. Salah satu cara untuk memastikan subsidi bisa tersalurkan dengan tepat adalah memberikan kode produksi khusus pada kemasan yang mendapat subsidi.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara, menilai keputusan memberikan subsidi minyak goreng patut diapresiasi. Namun solusi tersebut dianggap bersifat temporer. Bhima mengatakan masih ada kekhawatiran penyalurannya tidak tepat sasaran. Pasalnya, rumah tangga kelas atas masih bisa mengakses harga minyak goreng kemasan murah tersebut.
"Hal ini akan menimbulkan migrasi dari kemasan yang mahal ke kemasan yang harganya lebih rendah. Substitusi ini juga berisiko dimanfaatkan pelaku usaha makanan dan minuman skala besar untuk membeli minyak goreng subsidi," ujar Bhima.
Menurut Bhima, sejauh ini masalah utama mahalnya harga minyak goreng terdapat di hulu, yakni akibat harga bahan baku dari
minyak sawit mentah (CPO) yang meningkat signifikan dalam satu tahun terakhir. Karena itu, Bhima menilai, penerapan kewajiban pemenuhan kebutuhan pasar domestik atau
domestic market obligation (DMO) minyak sawit mentah akan jauh lebih tepat dibanding subsidi minyak goreng di hilir.
"Dengan DMO, ada kepastian pasokan dan harga bagi produsen
minyak goreng, khususnya perusahaan yang tidak terintegrasi dengan perkebunan sawit," ujar Bhima.
LARISSA HUDA