Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Penambangan Pasir Laut Diprotes Nelayan Pulau Rupat, KKP: Sudah Dihentikan karena Merusak Lingkungan

Nelayan Pulau Rupat keluhkan kerusakan lingkungan. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) klaim sudah hentikan penambangan pasir laut di sana.

22 Juni 2023 | 11.31 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menanggapi soal aksi puluhan nelayan Suka Damai di Beting Aceh dan Pulau Babi, Rupat Utara yang menuntut penyelamatan wilayahnya dari ancaman tambang pasir laut. KKP mengklaim telah menghentikan secara permanen kegiatan penambangan pasir di wilayah tersebut. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Pada intinya, kegiatan tambang di Pulau Rupat sudah resmi kami stop karena terbukti menimbulkan kerusakan ekosistem mangrove dan padang lamun", kata Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, Laksda TNI Adin Nurawaluddin lewat keterangan tertulis pada Rabu, 21 Juni 2023. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Adapun aksi para nelayan pada pekan lalu merupakan respons atas terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Para nelayan menilai kebijakan itu akan memberikan ruang untuk menambang pasir laut dengan dalih sedimentasi. Terlebih pemerintah belum mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) milik PT Logomas Utama yang mengeruk pasir di Rupat Utara.

Sementara itu, Adin menjelaskan pihaknya telah menyegel kapal penambang pasir milik PT Logomas Utama. Ia berujar KKP pun telah memaksa perusahaan untuk menghentikan kegiatan penambangan dan pengangkutan pasir laut di Pulau Babi, Beting Aceh dan Pulau Rupat. Pasalnya, kegiatan penambangan oleh PT Logomas diduga menyebabkan kerusakan ekosistem di sekitarnya pada akhir Februari 2022.

KKP juga menyatakan telah membentuk tim ahli ekosistem pesisir dan laut untuk kasus yang ada di Rupat. Adin mengakui memang terjadi kerusakan di perairan Pulau Rupat. Berdasarkan analisa tim ahli, tuturnya, 25 persen kerusakan disebabkan faktor alam. Sedangkan 75 persen sisanya disebabkan faktor tindakan atau kelalaian manusia.

Menurutnya, KKP juga telah menyampaikan permintaan evaluasi perizinan penambangan di perairan Pulau Rupat kepada Kementerian Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM). Ia pun berujar PT Logomas dan perusahaan lain yang turut menyebabkan kerusakan sudah dikenakan denda administratif sebagai pertanggungjawaban atas kerusakan yang ditimbulkan.

Ihwal kekhawatiran nelayan terhadap terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023, Adin menyatakan mengklaim hal itu tidak benar. Menurut dia, penerbitan PP 26 Tahun 2023 justru bertujuan mengantisipasi kasus-kasus seperti di Pulau Rupat.

Dengan terbitnya PP Nomor 26 Tahun 2023, ujarnya, lokasi tambang sedimen hanya dapat ditentukan berdasarkan penelitian tim ahli. Sehingga, lokasi yang boleh ditambang hanya di titik yang terdapat hasil sedimentasi di laut. 

Beleid itu, menurut Adin, juga membuat penambangan di Pulau Rupat menjadi ilegal selamanya. Pasalnya, lokasi tersebut tidak mungkin ditetapkan sebagai lokasi sedimen karena merupakan pulau-pulau kecil terluar yang dilindungi.

Lebih lanjut Adin menuturkan pemanfaatan Pulau Rupat hanya diperbolehkan untuk wilayah pertahanan, konservasi dan kesejahteraan masyarakat. Hal itu berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2010 tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar dan Keppres Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penetapan Pulau-Pulau Kecil Terluar.  

"Sekali lagi saya tegaskan Pulau Rupat tidak diperbolehkan untuk kegiatan penambangan, penegasan ini kami harapkan menjawab kegelisahan nelayan sekitar Pulau Rupat", kata Adin.

Sebelumnya, Andre, nelayan dari Dusun Suling menyatakan keberatannya terhadap keberadaan tambang pasir laut di wilayahnya. Menurutnya, kehadiran PT Logomas Utama di perairan Rupat Utara sangat meresahkan. 

Sebab, aktivitas penyedotan pasir laut yang mereka lakukan dalam waktu beberapa bulan saja telah membuat hasil tangkap nelayan turun drastis. "Apalagi jika mereka terus beroperasi hingga beberapa tahun nanti. Sudah pasti ikan habis, pulau kami pun rusak dan tenggelam,” ujar Andre.

Aksi bentang spanduk dilakukan nelayan di sekitar Beting Aceh, yang berjarak sekitar 2 kilometer dari Pulau Rupat bagian utara. Dia menuturkan, di sekitar Beting Aceh terdapat Beting Tinggi yang sempat hilang ketika PT Logomas Utama beraktivitas menyedot pasir laut. 

Andre berujar aksi ini bertujuan untuk mengingatkan pemerintah bahwa Beting Aceh, Beting Tinggi, Beting Tiga, dan beting-beting lainnya adalah ekosistem penting yang harus dijaga dan tidak boleh ditambang. Sementara pada 15 Mei lalu, Presiden Joko Widodo atau Jokowi justru meneken PP Nomor 26 Tahun 2023. 

Regulasi itu memuat rangkaian kegiatan pengangkutan, penempatan, penggunaan, dan penjualan, termasuk ekspor hasil sedimentasi di laut berupa pasir laut. Ia menilai aturan tersebut akan merusak ekosistem laut dan berpotensi menenggelamkan pulau-pulau kecil di Tanah Air. 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus