Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Pemerintah berupaya memperbaiki sejumlah kelemahan program tol laut seiring dengan penambahan trayek dan subsidinya pada 2020. Kepala Seksi Pelayaran Rakyat Sub-Direktorat Lalu Lintas Angkutan Laut Dalam Negeri Kementerian Perhubungan, Hasan Sadili, mengatakan penentuan rute menjadi salah satu evaluasi utama. “Ada beberapa perubahan karena pelaksanaan di beberapa trayek berjalan kurang baik,” ucapnya kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski belum merinci, Kementerian telah memastikan penambahan tiga trayek tol laut pada tahun depan. Adapun tahun ini terdapat 18 trayek yang ditangani perusahaan pelat merah dan tiga pengusaha swasta. Menurut Hasan, trayek baru akan lebih mengutamakan kecepatan pengiriman. Terdapat pula pertimbangan untuk memangkas rute persinggahan yang dianggap tak efektif dan memperlambat jadwal kedatangan kapal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hasan mengatakan lembaganya sudah menerima permohonan evaluasi rute dari sejumlah perwakilan pemerintah daerah, seperti dari Kota Sinabang, Kabupaten Simeulue, Aceh; serta dari Kota Gunung Sitoli, Kepulauan Nias, Sumatera Utara. Tahun ini, kedua lokasi tersebut terdapat di rute pulang-pergi T-2 yang meliputi Padang-Sinabang-Gunung Sitoli-Mentawai. “Lebih banyak dibuat direct ke pelabuhan utama agar interval singgah kapal lebih singkat. Tapi dengan rute jauh begitu, biaya operasi kapal memang menjadi naik dua kali lipat,” tuturnya.
Pemerintah pun bakal memperketat penjaringan operator swasta dalam program tersebut. Terdapat tujuh rute tol laut yang akan dilelang untuk perusahaan swasta pada tahun depan, sementara sisanya dilakoni badan usaha milik negara, yaitu PT Pelni (Persero), PT ASDP Indonesia Ferry (Persero), serta PT Djakarta Lloyd (Persero). “Pembagiannya mulai dibahas pada Rabu pekan ini,” ujarnya. “Kami tak ingin sembarang memilih, harus yang punya track record bagus.”
Kementerian pun berencana menambah alokasi subsidi tol laut 2020 hingga Rp 439 miliar, dari tahun ini hanya sebesar Rp 222 miliar. Sekretaris Jenderal Kementerian Perhubungan, Djoko Sasono, mengatakan besaran anggaran tak menentukan keberhasilan program tersebut. “Kan itu untuk membawa muatan saja,” kata dia. “Soal realisasi, kita harus bicara soal pelaksanaan di sektor lain, misalnya dagang dan distribusi, harus lebih greget, dong,” ucapnya, Rabu lalu.
Direktur Usaha Angkutan Barang dan Tol Laut Pelni, Harry Boediarto, berharap kenaikan subsidi dapat dipakai untuk peningkatan layanan, khususnya penjadwalan. Alokasi tahun ini, ucapnya tanpa merinci jumlah, membuat jeda persinggahan kapal semakin lama. “Ada salah satu trayek kami yang hanya bisa disinggahi setiap 14 hari, lama sekali,” ujarnya. “Bagaimana kita meningkatkan perekonomian kalau ketersediaan barangnya sulit.”
Kepada Tempo, Ketua Umum Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI), Yukki Hanafi, mengatakan tol laut tak diminati karena waktu layanannya tak fleksibel. “Dalam hukum rantai pasok, barang dikirim saat muncul permintaan. Nah, kalau jadwalnya jarang-jarang, bagaimana kita bisa memenuhi hal itu?” kata Yukki.
Padahal, menurut Yukki, rata-rata tarif per kontainer tol laut sudah lebih murah, yaitu sekitar Rp 8 juta per kontainer ukuran 20 kaki, dibandingkan dengan jasa komersial yang mencapai sekitar Rp 12 juta per kontainer. Dari sekitar 3.400 entitas yang bergabung di ALFI, kata dia, hanya 5 persen yang menggunakan jasa tol laut.
Peneliti dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia, Muhammad Halley Yudhistira, mengatakan tol laut belum efektif memangkas kesenjangan harga barang di daerah. “Efeknya baru sebatas memangkas biaya pengiriman barang antarpulau, tak dirasakan di tingkat end user,” ujarnya.
YOHANES PASKALIS PAE DALE | FRANSISCA CHRISTY ROSANA | CAESAR AKBAR
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo