PULAU Tidore di Maluku Utara ternyata kaya akan batu apung. Cadangan yang ada di sana sekitar 40 juta metrik ton, dan sudah digali oleh PT Citra Pacific Adi Lestari (Cipal) serta PT Citra Mandiri Niagajaya (CMN) sejak tahun 1991. Namun, sejak Agustus lalu, kedua perusahaan itu rupanya mengalami kemelut sehingga tidak bisa beroperasi penuh. Dan para buruhnya tentu terancam kehilangan pekerjaan. Sementara itu, Cipal, yang telah mengekspor 2,3 ton batu apung ke Singapura, Malaysia, dan Thailand, keberatan untuk membayar dana reklamasi Rp 665 juta kepada pemerintah daerah. Dan CMN bentrok dengan mitranya, PT Ghavindo Bumi Cipta, yang menguasai kapling pertambangan tersebut. Akibatnya, sekitar 300 buruh lepas yang bekerja di kedua perusahaan tadi untuk sementara menganggur. Selama ini, upah mereka biasanya ditentukan berdasarkan jumlah batu apung yang dapat dikumpulkan (per karung Rp 450). Seorang janda bernama Salma dan kedua anaknya, misalnya, selama bekerja di tambang batu apung mampu mengumpulkan delapan karung ( 30 kg) per hari. Dari kerja keras seharian, keluarga Salma hanya memperoleh Rp 3.600. Dengan pendapatan sekecil itu, buruh yang sibuk mengejar target kadang lupa risiko dan tertimpa runtuhan galian. Setidaknya, dalam dua tahun terakhir ini, sudah lima orang menjadi korban. Dari seorang pekerja di tambang PT Cipal diperoleh keterangan bahwa ia tidak mengenal asuransi tenaga kerja. Di Tidore, yang jauh dari Jakarta, pengolahan sumber daya alam terbukti bisa menghasilkan devisa. Hanya saja, perolehan itu belum bisa diandalkan untuk juga menaikkan taraf hidup buruh kasar yang bekerja di sana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini