INDONESIA Update 1993, yang berlangsung di akhir A-gustus lalu, berbeda dengan pertemuan di tahun-tahun sebelumnya. Pertemuan di Australian National University, Canberra, Australia, itu yang sudah melembaga, dan kali ini berlangsung untuk ke-11 kalinya muncul dengan tema buruh. Pertemuan yang dihadiri oleh banyak ahli tentang Indonesia di berbagai bidang dari berbagai negara itu mendekati masalah buruh Indonesia dengan diskusi makro dan mikro. Cakupannya cukup luas, dari soal kebijaksanaan pemerintah, deskripsi kondisi perburuhan sendiri, sampai analisa yang bersifat makro dan mikro. Pembahasan makro menampilkan Dr. Chris Manning dari Australian National University Dr. Payaman Simanjuntak, direktur jenderal di Departemen Tenaga Kerja RI dan Dr. Ross McLeod dari Australian National University. Yang mencuat dari telaah makro, kemajuan yang berjalan bersama-sama dengan persoalan. Isu mengenai upah minimum dan kondisi buruh berlangsung bersama dengan kebijakan yang agak kontroversial: jaminan sosial tenaga kerja. Indonesia memang menerapkan kebijaksanaan upah minimum, UU Dana Pensiun, dan UU Jaminan Sosial Tenaga Kerja sekaligus. Implikasi kebijaksanaan itu berlangsung serempak di berbagai segi kehidupan perusahaan dan kondisi buruh. Dr. Payaman Simanjuntak menyebutkan keberhasilan kenaikan upah minimum dari sekitar 40% menjadi 80% kebutuhan fisik minimum (KFM). Tapi angka ini sendiri bisa dipermasalahkan ketepatannya sebagai kriteria. Apalagi pengertian KFM di sini adalah KFM lajang (untuk 1 orang), padahal tak sedikit buruh yang harus menghidupi istri atau suami beserta anak-anak. Yang kurang mendapat tempat dalam diskusi makro ini adalah kondisi buruh dilihat dari data-data yang tersedia. Permainan ''silat kata'' tentang meningkatnya jumlah pemogokan dilakukan oleh pihak pemerintah (artinya kebebasan makin baik) dan seorang penanya (artinya kondisi buruh memburuk) tidaklah memberi kejelasan kepada hadirin untuk memahami kondisi makro perburuhan kita. Baru ketika terjadi diskusi skala mikro yang mencakup pembahasan khusus tentang upah buruh anak-anak oleh Dra. Indrasari Tjandraningsih, tentang buruh dan kondisi pekerja di pabrik sepatu oleh Ir. Juni Thamrin, tentang pekerja di sektor informal oleh Dr. Kartini Sjahrir, dan tentang buruh di sektor pertambangan dengan kasus PT Kaltim Prima oleh Dr. David Klingner, kita mulai melihat sketsa-sketsa lukisan yang lebih memberi makna. Diskusi khusus tentang pekerja di desa oleh Dr. Masri Singarimbun yang melihat kasus Desa Sriharjo yang tersohor karena kemiskinannya itu, dan Dr. Joan Hardjono yang melihat transisi perkebunan menjadi pabrik di desa Majalaya, makin melengkapkan lukisan perburuhan kita. Dan lukisan perburuhan kita ternyata bukan panorama yang indah. Kita harus mengakui adanya faktor-faktor objektif yang tidak bisa dihindari mengingat masih berlangsungnya yang disebut dualisme struktural ekonomi kita. Di satu pihak, sektor industri telah melampaui sektor pertanian dalam kontribusinya pada produk domestik bruto. Di pihak lain, dalam struktur angkatan kerja, masih 50% angkatan kerja yang mendapatkan nafkah dengan bekerja di sektor pertanian, peternakan, perikanan, dan kehutanan. Di sini sistem ekonomi memang belum memungkinkan berlangsungnya arah perubahan tenaga kerja yang berlangsung dua arah. Yang terjadi hanyalah pergeseran tenaga kerja dari sektor pertanian dan desa, ke sektor perkotaan dan industri. Karena industriwan menekan biaya produksi dan karena terjadi ekses suplai tenaga kerja, situasi memburuknya kondisi buruh tak terhindarkan. Begitupun, ini bukanlah merupakan suatu apologi apalagi pembenaran dari kondisi yang dialami oleh masyarakat kita sekarang. Cukup menyakitkan melihat ke- nyataan bahwa upah minimum di Yogyakarta hanya bernilai Rp 1.250 per hari. Jumlah ini hanya 50% dari KFM pekerja lajang yang bernilai Rp 2.498 itu. Zaman kolonial pun terbayang kembali, seperti yang diungkapkan oleh Daniel Dhakidae dalam suatu kesempatan seminar, bahwa orang Indonesia menurut sang kolonialis bisa hidup dengan kehidupan sebenggol sehari. Memang bisa, tapi soalnya hidup yang bagaimana. Di pihak lain, persoalan perburuhan juga bukan soal retorika dan pengakuan status serikat buruh semata-mata. Berita terakhir yang menyatakan bahwa status Serikat Pekerja Seluruh Indonesia akan berubah, hingga tak lagi menjadi wadah tunggal melainkan induk dari serikat buruh sektoral yang otonom, bisa dinilai sebagai hal yang positif. Tapi jauh lebih positif daripada itu adalah, kondisi nyata para buruh di pabrik-pabrik dan di jajaran pekerja kelompok konglomerat, perusahaan-perusahaan menengah, serta BUMN-BUMN. Perlunya serikat buruh dalam kelompok-kelompok konglomerat, seperti kelompok Salim, kelompok Prajogo Pangestu, kelompok Astra International, jangan dilihat sebagai hal yang proforma belaka. Keberhasilan serikat-serikat buruh yang otonom, dan tidak perlu menjadi anggota SPSI, merupakan prasyarat mutlak bagi berkembangnya masyarakat adil dan makmur. Tidak bisa kita terus-menerus menekankan makmur terlebih dahulu, dan mengharap adil muncul secara otomatis. Dalam hal ini yang dilakukan Marsinah, karyawati PT Catur Putra Surya di Siring, Porong, Jawa Timur, patut diteladani. Ia adalah contoh buruh yang memperjuangkan haknya. Kematiannya yang hingga kini masih misterius menjadi obor bagi gerakan buruh Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini