Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Organisasi sipil, Satya Bumi, kembali buka suara soal pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti-Undang-Undang atau Perpu Cipta Kerja. Direktur Eksekutif Satya Bumi Andi Muttaqien menyesalkan langkah DPR tetap mengesahkan Perpu ini padahal dikecam oleh masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Pengesahan Perpu Cipta Kerja ini merupakan kado pahit di Peringatan Hari Hutan Internasional yang bertepatan jatuh pada 21 Maret," ujar Andi dalam keterangannya pada Tempo, Selasa, 21 Maret 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Andi juga menilai Perpu Cipta telah melanggengkan pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja. Substansi Undang-undang Cipta Kerja, ujarnya, jelas-jelas condong pada kepentingan investasi, namun mengabaikan aspek lingkungan dan hak asasi manusia (HAM).
Perpu ini juga dia nilai mengancam lingkungan hidup, terutama hutan. Andi menyebut sejumlah pasal yang berbahaya bagi hutan, antara lain Perpu Cipta Kerja telah mengadopsi UU Ciptaker yang mengubah Pasal 18 UU Kehutanan.
Dalam beleid itu, terjadi penghapusan ketentuan batas minimal luas kawasan hutan yang harus dipertahankan untuk mengoptimalkan manfaat lingkungan, sosial, dan ekonomi masyarakat setempat (yang sebelumnya diatur dalam UU Kehutanan).
Padahal sebelum dipangkas melalui UU Cipta Kerja, Andi mengungkapkan, luas kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal seluas 30 persen dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional sebagaimana diatur dalam UU Kehutanan. UU Cipta Kerja menghapus ketentuan itu.
Selanjutnya: Andi mengungkapkan....
Andi mengungkapkan ada pasal ‘pemutihan’ atas keterlanjuran kegiatan usaha yang berada di kawasan hutan. Persoalan itu sebelumnya diatur dalam Pasal 110A UU Cipta Kerja juga dipertahankan.
Menurutnya, aturan teranyar tak memberi sanksi pidana bagi pelaku usaha di kawasan hutan yang tak memiliki izin. Perpu Ciptaker memberi waktu kepada mereka untuk menyelesaikan persyaratan administrasi dengan batas waktu sampai dengan 2 November 2023.
Ironisnya, perubahan iklim jadi salah satu konsideran dalam penerbitan Perpu Cipta Kerja. Padahal, kata Andi, substansi Perpu Cipta Kerja memuat pasal-pasal yang berbahaya bagi lingkungan hidup. "Sudah barang tentu hal ini merupakan pengelabuan dalam memaksakan kegentingan," kata dia.
Langkah pemerintah menjawab putusan MK dengan Perpu Cipta Kerja, menurut Andi, hanya siasat negara mengakali putusan MK, yang kemudian juga disahkan menjadi UU Cipta Kerja oleh DPR. Ini melanjutkan pembangkangan yang dilakukan sebelumnya dengan mengeluarkan UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Hal ini untuk menutupi kesalahan dalam proses pembentukan UU Cipta Kerja.
"Pengesahan Perpu Cipta Kerja menjadi undang-undang sukses melengkapi daruratnya perlindungan lingkungan hidup dan HAM," ujar Andi.
Pilihan Editor: Dicecar Soal Laporan Transaksi Mencurigakan Rp 349 Triliun ke Jokowi, Begini Penjelasan Kepala PPATK
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini