BIASANYA, dua pekan menjelang Idulfitri, konsumen berduyun-duyun membanjiri pusat perbelanjaan. Toko-toko penuh sesak dengan pembeli. Anehya, beberapa toko di Taman Hiburan Rakyat (THR) Surabaya Mall, Surabaya, justru ditutup. Yang mencolok adalah Rizeta Design Store. Toko besar yang tadinya menjual busana itu, sejak awal April, memasang pengumuman "Tutup". Rizeta sejak 9 April silam hengkang ke Tunjungan Plaza. Diresmikan pada 1986, Tunjungan Plaza memang lebih ramai dikunjungi orang. Sebaliknya Surabaya Mall, yang baru dibuka pertengahan tahun lalu, tampak sepi-sepi saja. Bos Rizeta, Karresh R. Harjani, yang sukses membuka usaha serupa di Gajah Mada Plaza, Jakarta, semula sangat optimistis datang ke Surabaya. Ia menyewa 6.500 m2 di Surabaya Mall dan menanamkan modal Rp 2,5 milyar. "Dalam tempo enam bulan saja kami rugi Rp 1,2 milyar," kata Manajer Rizeta, Chandra Kurniadi. Tak ada pilihan lain. Rizeta terpaksa menutup tokonya. Sebanyak 528 karyawannya di-PHK dengan pesangon satu bulan gaji. Penandatanganan kontrak sewa lima tahun, yang semestinya dilakukan 10 April lalu, terpaksa batal. Manajer Rizeta itu menuding pengelola THR Surabaya Mall, PT Sasana Boga, sebagai biangnya. Pihak pengelola memang berjanji akan berpromosi. Ternyata, promosi itu cuma asal-asalan. Contohnya, pameran alat dapur yang belum lama ini diselenggarakan Sasana Boga. "Masa, kitchen fair itu cuma diisi ember-ember plastik. Padahal, konsumen mencari barang seperti kompor gas," tutur Chandra. Pelayanan PT Sasana Boga juga dianggap kurang memuaskan. Mereka tak mau bertanggung jawab kalau ada kaca yang pecah atau langit-langit bocor. Di tempat parkir, juga tak ada petugas keamanan. Santosa, pemilik toko buku Siswa, juga kecewa. Ia tertarik membuka toko di Surabaya Mall, karena Sasana Boga berjanji membuka fasilitas hiburan anak-anak dan diskotek. Rencana itu tersendat. Celakanya, Surabaya Mall, yang tadinya satu dengan Taman Remaja Surabaya (TRS), kini dipisahkan oleh tembok. Padahal, kalau keduanya digabung, pengunjung TRS bisa saja mampir ke Surabaya Mall. Santosa meneken kontrak sewa lima tahun, dengan tarif sewa US$ 13 per m2 per bulan. Baru enam bulan, ia sudah menutup tokonya karena setiap bulan merugi Rp 150.000. Kini Siswa pindah ke Tunjungan Plaza. "Tarif sewa di sini US$ 23 per m2 per bulan, tapi tak jadi masalah, omset kami di sini lima kali lipat dibandingkan di Surabaya Mall," kata Santosa. Restoran Kentucky Fried Chicken juga sudah hengkang. Beberapa toko, konon, siap-siap angkat kaki setelah Lebaran nanti. Usut punya usut, ternyata orang yang datang ke Surabaya Mall cenderung jalan-jalan, ketimbang berbelanja. "Barang di sini tak lengkap," kata Ny. Nelly, yang ditemui TEMPO sedang hilir-mudik di situ. Direktur PT Sasana Boga, Ahadin Mintarom, membantah tudingan bahwa manajemennya tidak profesional. Promosi itu, katanya, sudah dilakukan dengan memakai konsultan dari Singapura, Colliers Jardine Goh & Tan Pte. Ltd. "Wajar saja kalau semua penyewa menginginkan banyak hal yang menguntungkan dirinya," ujar Ahadin pula. PT Sasana Boga membangun THR Surabaya Mall dengan dana Rp 50 milyar. Perusahaan itu memperhitungkan modal kembali dalam 10 tahun. "Kami memperoleh hak pengelolaan 30 tahun dari Pemda Surabaya. Jadi, kalau baru setahun dikatakan bangkrut, apa itu masuk akal?" tutur Ahadin. Dari 50.000 m2 lahan untuk pertokoan dan perkantoran, baru 60% yang disewa. Hengkangnya Rizeta, menurut Ahadin, tidak akan membuat PT Sasana Boga bangkrut. Kini, katanya, ada beberapa calon penyewa baru, seperti Surya Department Store, Brama, Orchid, Daimaru, Top Koki, dan bioskop. Selain itu, Matahari Department Store dan restoran terkemuka Dynasty, dari Jakarta, sedang merintis pembukaan cabang di sini. Namun, Solihin Salam, seorang direktur dari PT Sasana Boga juga, pernah dalam suatu seminar mengeluhkan bahwa jumlah plaza di Surabaya sudah terlalu banyak. "Kebutuhan plaza di kota ini sudah jenuh. Jadi, saya meminta kepada Pemda supaya lebih selektif dalam memberikan izin plaza baru," kata Solihin waktu itu. Ronald August Soewanto, manajer perkantoran PT Semut Indah yang mengelola Indo Plaza, berpendapat sama. "Pemda perlu membatasi izin.... Paling tidak, izin lokasi baru tidak berdekatan dengan plaza lama," kata Ronald. Contohnya, Apolo Plaza, yang berlokasi dekat Tunjungan Plaza -- sampai sekarang belum juga bisa menarik luberan pengunjung plaza itu. Lain halnya Indo Plaza, yang berdekatan dengan stasiun kereta api. Seluruh lantainya kini disewa toko buku Gunung Agung, Hero Supermarket, IKI Furniture, dan sebagian lagi untuk tempat menjual makanan dan obralan pakaian. Dalam catatan AP3I (Asosiasi Pusat Pertokoan & Perkantoran Indonesia) cabang Jawa Timur, di Surabaya kini ada 17 plaza -- terbesar di antaranya adalah Delta Plaza. Sejak diresmikan Presiden tahun silam, Delta belum berhasil menarik banyak pembeli. Menurut A. Kunarto, Asisten Manajer Rimo Department Store, karena gedungnya terlalu luas. Memusingkan orang. "Pengunjung sih lumayan, tapi belum seramai di Tunjungan," katanya. Tapi tampaknya masyarakat Surabaya memang sudah jatuh senang pada Tunjungan. Tak mengherankan jika pengelola Tunjungan Plaza, PT Pakuwon Jati, yang go public tahun lalu, kini hendak membangun plaza baru berlantai 16, yang disebut BBD Tower. Menurut direkturnya, Omar Ishananto, Tunjungan Plaza kini sudah 100% tersewa. "Sekarang ini, tiap hari kami terpaksa menolak usahawan yang mencari tempat sewa stand," katanya. Biarpun ada beberapa plaza terancam bangkrut, izin pembangunan plaza baru di Surabaya ternyata belum ditutup. Menurut Ir. Soeharyono H.S., Kepala Dinas Tata Kota Pemda Surabaya, master plan Surabaya sampai tahun 2000 masih membutuhkan banyak kantor dan pusat perbelanjaan. Di sekitar Jalan Mayjen. Sungkono, misalnya. "Soal sepi penyewa, itu tergantung bagaimana investor memilih tempatnya," kata Soeharyono. Yang pasti, daya tarik mesti ada. Mesti. MW, Zed Abidien (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini