HARGA si emas hitam boleh merosot, tapi Pertamina tak boleh ogah-ogahan mencari minyak. Setelah awal tahun ini menandatangani empat kontrak bagi hasil (KBH), Senin pekan lalu Dirut Pertamina Faisal Abda'oe menandatangani tujuh KBH lainnya dengan tujuh perusahaan minyak asing dari Amerika Serikat, Prancis, dan Bermuda. Tujuh KBH itu, yang akan melibatkan lahan seluas 99 ribu kilometer persegi, tersebar di tujuh provinsi. Mulai dari lepas pantai Brantas (Jawa Timur), pesisir utara Jawa Barat, pantai barat Natuna (Riau), Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur, hingga di lepas pantai Irian Jaya. Dan ini bukanlah KBH berskala kecil-kecilan. Ketujuh kontrak tersebut, dalam masa kerja sepuluh tahun, diperkirakan akan menelan investasi 357 juta dolar AS atau sekitar Rp 642,6 milyar. Dua dari tujuh dokumen yang diteken Abda'oe merupakan perpanjangan kontrak. Contohnya, KBH dengan Atlantic Richfield Indonesia. Kontraktor minyak dari AS ini, rencananya, akan menggarap ladang minyak di pesisir utara Jawa Barat seluas 27.700 km persegi, dengan investasi 100 juta dolar. Begitupun perjanjian yang dibuat dengan Roy M. Huffington Inc., juga dari AS. Kontraktor ini akan melakukan pengeboran minyak di daratan Sanga-Sanga, Kalimantan Timur, dengan investasi 55 juta dolar AS. Dari ketujuh KBH itu, tidak sedikit dolar yang masuk ke kocek pemerintah. Dengan menjual informasi tentang lokasi keberadaan minyak, Pertamina menerima tak kurang dari 10,75 juta dolar. Selain itu, masih ada bonus produksi, yang dihitung berdasarkan volume minyak yang bisa disedot sang kontraktor. Tapi, seperti halnya harga penjualan informasi, bonus produksi ini juga ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama. Makanya, bonus produksi itu berbeda-beda. Dari kontrak yang dibuat bersama Total West Natuna (TWN), Pertamina akan memperoleh bonus satu juta dolar. Itu jika TWN mencapai produksi 50 ribu barel sehari. Dan angka bonus itu akan berlipat ganda, seandainya produksi meningkat menjadi 75 ribu barel. Sementara itu, bonus produksi yang ditetapkan bersama Huffco Kahayan Inc. (HKI), yang akan bekerja di wilayah Kahayan Kal-Sel, lebih besar lagi. Apabila KHI mampu berproduksi hingga 75 ribu barel, maka Pertamina akan memperoleh 5 juta dolar. Bonus tersebut akan menjadi hanya 3 juta dolar, jika KHI cuma bisa menyedot 35 ribu barel. Nah, kalau saja para kontraktor itu mampu berproduksi sesuai dengan butir-butir dalam perjanjian, maka dari bonus produksi saja Pertamina akan menerima tidak kurang dari 43,5 juta dolar. Namun, rezeki minyak itu tidaklah dimonopoli Pertamina terus-menerus. Dalam dua tahun terakhir, BUMN terbesar itu mulai mengajak swasta nasional untuk ikut menikmati manisnya laba minyak. Bermula dengan menswastakan pompa-pompa bensin, hingga kini meningkat ke penjualan saham Pertamina di beberapa perusahaan patungan. Dan R.I.J. Soetopo, Direktur Pembekalan Dalam Negeri Pertamina, pekan lalu membentangkan sebuah rencana baru. Pertamina akan mengalihkan distribusi BBM di dalam negeri kepada pihak swasta. Jadi, hingga akhir Pelita IV sebagian besar jaringan distribusi masih dikuasai Pertamina, tapi kelak semuanya akan dialihkan ke swasta. Caranya macam-macam. Untuk melayani daerah-daerah yang belum mungkin membangun pompa bensin umum (SBPU) direncanakan akan dibentuk PSPD-PSPD (Premium Solar Packed Dealer). Pengelolanya boleh siapa saja, perorangan, koperasi, atau PT. Kepada para pengelola itu, Pertamina akan memberikan profit margin Rp 9 dari setiap liter premium, dan Rp 4,55 untuk per liter solar. Di samping PSPD, ada APMS (Agen Premium dan Minyak Solar). Fungsi dan keuntungannya sama dengan PSPD. Tapi APMS hanya didirikan di daerah-daerah yang tidak dapat dilalui oleh mobil-mobil tanki. Nah, kini para swasta tinggal menunggu peluang untuk ikut tender. Dan anehnya, peluang itulah yang sama sekali tidak disebut-sebut. Budi Kusumah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini