"BUS kota sudah miring ke kiri...," lengking Franky & Jane, penyanyi country dari Surabaya. Tapi, yang miring bukan bus kota dari Surabaya, melainkan Perum PPD, yang beroperasi di Jakarta. Pelusahaan angkutan di bawah Departemen Perhubungan ini, selama empat tahun terakhir, digerogoti rugi terus-menerus. Dan sesuai dengan saran-saran yang masuk dari Bank Dunia serta Lembaga Manajemen FE-UI belakangan PPD mulai melakukan efisiensi dengan PHK. Berdasarkan hasil penelitian kedua lembaga tersebut -- yang diadakan pada tahun 1986 dan 1988 -- PPD yang sekarang bekerja dengan 14.500 karyawan, disarankan untuk menciutkan jumlah pegawainya sebanyak 3.000-5.527 orang. Itulah sebabnya, pekan lalu, Dirut PPD Soedaryono mengumumkan akan mengalihprofesikan sekitar 2.000 karyawannya. Entah akan dipindahkan ke mana. Berjubelnya karyawan -- yang tidak sesuai dengan jumlah bus yang hanya 1.746 unit -- memang bukan semata-mata kesalahan manajemen PPD. Soalnya, di tahun 1984, Perum ini masih mampu meraih laba sebesar Rp 1,35 milyar. Tapi setelah ada instruksi dari pemerintah, untuk mengambil alih 12 perusahaan bus kota yang dililit utang, maka mulailah era merugi itu. Bayangkan, kalau sebelumnya karyawan PPD hanya 8.367 orang, setelah penggabungan melonjak jadi 16.634 orang. Memang pembengkakan itu disertai dengan bertambahnya armada, dari 920 menjadi 1.778 unit, "Tapi bus dari swasta itu, banyak yang sudah berusia di atas 10 tahun," kata Soedaryono. Jadi tidak aneh, begitu fusi terjadi, PPD terus didera rugi. Setelah keuntungan terakhir di tahun 1984 itu, tahun 1985 langsung rugi Rp 8,79 milyar. Kemudian kerugian terus membuntuti, masing-masing Rp 7,29 milyar (1986), Rp 4,37 milyar (1987), dan Rp 1,7 milyar (1988). Akhirnya, PPD mesti realistis. Jumlah karyawan mesti dikurangi. Bos PPD sendiri bisa melihat betapa besar biaya operasi yang dikeluarkan khusus untuk gaji pegawai saja. Kalau sebelum penggabungan, biaya gaji hanya Rp 7,9 milyar, pada 1985 membengkak menjadi Rp 21 milyar. Untuk seterusnya, tahun 1986: Rp 20,7 milyar, tahun 1987: Rp 21,8 milyar, tahun 1988: Rp 21,6 milyar. Dari angka-angka itu jelas, "Kerugian PPD terjadi karena adanya penugasan dari pemerintah yang harus kami selesaikan," kata Soedaryono. Sebab terbukti, tanpa adanya penugasan yang mengharuskan PPD merangkul bus swasta -- untuk menjaga kestabilan angkutan dalam kota -- toh Perum ini bisa meraih laba. Dewasa ini, manajemen PPD mulai menyeleksi karyawan-karyawannya yang layak "mundur", maupun yang akan tetap dipertahankan. Awal tahun ini saja sudah 619 karyawan yang di-PHK. Tapi kabar-kabarnya, bukan cuma kebanyakan karyawan yang membuat PPD rugi. Konon terjadi kebocoran di sana sini. Ada yang menduga bahwa PPD memiliki pembukuan ganda, sehingga pendapatan yang masuk tidak tercatat seluruhnya. Benarkah? "Sebetulnya bukan kebocoran, tapi kelemahan yang perlu diperbaiki," tangkis Soedaryono. Nah, perbaikan itu memang perlu. Seperti yang pernah dilakukan Perum Djawatan Angkutan Motor RI, alias Damri. Bedanya, Damri merugi karena banyak armadanya yang perlu diremajakan. Tapi setelah peremajaan usai, 1987 perusahaan ini mulai melaba Rp 1,3 milyar. Dan tahun lalu, untungnya diduga mencapai Rp 1,4 milyar. Padahal, seperti halnya PPD, Damri juga mengemban misi pemerintah, yang secara bisnis, ya, merugi. Contoh: angkutan ke Bandara Soekarno Hatta. Kondisi 'miring', kini juga sedang dialami PT Mayasari Bhakti (MB), perusahaan bus kota swasta. Tapi bukan karena kebanyakan karyawan. Menurut Mahpud, Dirut MB, tahun lalu perusahaannya menambah 200 armada baru -- sehingga jumlah totalnya menjadi 800 unit. Jadi, untuk sementara, "Kami baru bisa menutup biaya operasi perusahaan," kata Mahpud, tanpa mau menyebutkan untung ataupun rugi.Budi Kusumah, Sri Pudyastuti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini