Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Biarlah jadi kayu

MEE meragukan kemampuan Indonesia mengekspor gaplek ke Eropa. para eksportir tak jujur, 400.000 ton gaplek tak jelas nasibnya. petani di berbagai daerah enggan memanen singkongnya.

11 Maret 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ENTAH salah siapa, 400 ribu ton gaplek dari Indonesia masih terkatung-katung di Eropa. Ternyata, soal kuota. Kebetulan, Dirjen Perdagangan Luar Negeri, Paian Nainggolan, medio Februari lalu melawat ke Eropa. "Saya ke Brussel untuk mengadakan negosiasi masalah gaplek dengan MEE," tutur Paian. Tapi itu bukan berarti urusan 400 ribu ton gaplek bisa dibereskan segera. Perundingan dilakukan karena MEE (Masyarakat Ekonomi Eropa) meragukan kemampuan Indonesia mengekspor gaplek. Sementara itu, permohonan impor gaplek dari Indonesia, yang menumpuk di meja eksekutif MEE, ternyata sangat besar. Sekarang saja permintaan itu mencapai 48 juta ton gaplek. Apa benar? Ternyata, 48 juta ton itu cuma akal-akalan para importir di MEE, yang pasti tahu persis jumlah kuota gaplek Indonesia ke MEE. Kata Paian, dulu hampir setiap permohonan impor gaplek cuma diloloskan 10%. Jadi, kalau minta 1 juta ton gaplek, pasti cuma 10 ribu ton yang diizinkan. Dan ketika formula 10% itu diubah menjadi 2%, importir pun melipatgandakan jumlah kebutuhan gapleknya -- sampai 50 kali lipat -- dalam permohonan izin mereka. Dari situlah muncul angka 48 juta ton itu. Padahal, jatah ekspor dari Indonesia cuma 825 ribu ton -- sementara produksi singkong Indonesia mencapai 13,5 juta ton setahun. Namun, MEE tak yakin apakah gaplek Indonesia itu betul-betul dari petani Indonesia. Paian sendiri, kepada Ardian T. Gesuri dari TEMPO, mengakui tak tahu persis apa benar gaplek yang diekspor itu bukan dari singkong petani kita. Tapi dari perundingan dengan MEE, akhirnya disepakati untuk mengawasi ekspor gaplek dari Indonesia, yang harus benar-benar asli Indonesia. Ini berarti MEE masih meragukan itikad baik kita. Soalnya, menurut sumber TEMPO di Medan, memang banyak eksportir gaplek yang nakal. Misalnya, mereka beli gaplek eks Malaysia yang harganya 40 dolar AS per ton, lalu diekspor ke MEE dengan harga 100 dolar AS. Ada juga yang bilang, gaplek eks Indonesia itu asalnya dari Muangthai, negeri produsen gaplek nomor satu di dunia, yang sudah punya hubungan langsung ke MEE. Akibat ulah eksportir, banyak petani singkong yang dirugikan. Di Magetan, Jawa Timur, dalam dua bulan terakhir ini harga gaplek anjlok dari Rp 120 per kg menjadi Rp 80. Sementara itu, eksportir gaplek dari Cirebon, Jawa Barat, Indonesian Patteting Company (IPC), masih membeli -- antara lain dari Cianjur, Majalengka, Gunungkidul -- dengan harga Rp 130. Dan perusahaan itu bisa menjual sekitar Rp 165 di pelabuhan ekspor. Memang, "Untungnya sangat tipis, tapi pokoknya pabrik masih bisa jalan," ujar Karyanto dari IPC. Singkong untuk kebutuhan rumah tangga pun ikut jatuh dari Rp 55 menjadi Rp 35. Dalam kondisi begitu, Suweri, petani dari Desa Sugihwaras, Kecamatan Maospati, Magetan, tak mau memanen 4 ha kebun singkongnya. Padahal, panen mestinya dua bulan lalu. "Biarlah ubi kayu itu benar-benar jadi kayu, tak apa-apa," ujar Suweri, saking geramnya. Panusunan Siregar, yang punya kebun singkong 50 ha di Medan, juga berbuat serupa. Para tengkulak juga kecipratan getahnya. Ny. Sukiyem di Maospati, Magetan, urung menimbun gaplek -- biarpun harganya rendah -- karena sulit memasarkannya. "Sejak Desember lalu, saya tak menjual dan tak beli gaplek lagi, karena takut rugi," kata Sukiyem, yang masih punya 12 ton gaplek di gudangnya. Kini masih ada 300 ribu ton gaplek Indonesia yang belum laku. Dari Pusat KUD di Lampung saja, 3 ribu ton urung dikapalkan ke Eropa karena keterbatasan kuota. Lagi pula, 400 ribu ton yang terkatung di Eropa belum beres urusannya. Karena itulah, "Kita minta kompensasi kuota, terutama pada tahun lalu, sebesar 300 ribu ton lagi," tutur Paian. Dari kuota gaplek 825 ribu ton tahun ini, sudah terpakai 700 ribu ton. Kata Paian, Indonesia minta agar kuota 1989 dibikin berakhir sampai Desember 1989 saja. Dan untuk tahun depan, minta dinaikkan jadi 1,75 juta ton -- tapi ini pun belum disetujui.Suhardjo Hs., Ida Farida (Bandung), Zed Abidin (Surabaya), Irwan E. Siregar (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum