Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Propaganda anti-minyak sawit

Asosiasi kedelai Amerika (ASA) melakukan proteksi terhadap minyak sawit. akibat dari pasaran minyak kedelai AS terus anjlok. Malaysia membalas kampanye ASA, tapi Indonesia menggarap pasaran di eropa.

11 Maret 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MINYAK goreng eks kedelai di Amerika tampaknya semakin mendidih ditimpa minyak kelapa sawit impor dari Malaysia, Filipina, dan Indonesia. Kampanye anti-minyak sawit yang diturunkan di berbagai media AS dinilai Menteri Perindustrian Dasar Malaysia Datuk Lim Keng Yaik sudah merupakan "propaganda terorisme". Simaklah iklan satu halaman di koran New York Times edisi Rabu pekan lalu. Di situ dinyatakan minyak kelapa dan minyak sawit "tengah meracuni Amerika". Enak saja! Konon, keluarnya iklan seperti itu karena AS tak akan lagi memasang benteng proteksi untuk minyak kedelai. Usaha ke arah proteksi itu dilakukan Asosiasi Kedelai Amerika (ASA) -- dengan mengusulkan satu pasal yang mendiskreditkan minyak sawit, dalam RUU tentang Label Makanan. UU yang dirancang Senator Tom Harkin bersama Dan Glickman itu hendak dibicarakan di Kongres AS bulan ini, dan ternyata pasal yang diusulkan ASA tak ada. Sekalipun begitu, Malaysia belum akan menghentikan kegiatan kampanye minyak sawit di AS. Alasannya: RUU tentang label makanan itu bisa saja berubah lagi dalam pembahasannya, dengan mencantumkan pasal yang mendiskreditkan minyak nabati dari daerah tropis. Syahdan, perang minyak kedelai lawan minyak kelapa dan sawit itu sudah berkobar sejak Juni 1986. Waktu itu, minyak sawit dari Malaysia dan Indonesia yang masuk ke AS meraih nilai US$ 273 juta, sementara minyak kedelai telantar di pasar. Pasar minyak kedelai AS waktu itu anjlok hampir 1.000 gantang, dibanding tahun 1979. ASA lalu berkampanye bahwa minyak sayur dari daerah tropis berkadar asam lemak jenuh yang tinggi, dan bisa menyumbat pembuluh darah. "Kampanye mereka memang keterlaluan. Sampai-sampai menu yang memakai minyak sawit di pesawat terbang pun dilarang," tutur Eddy Rinaldy, General Manager PT Sayang Heulang, perusahaan penghasil minyak goreng Bimoli. "Padahal, kalori pada 30 kg minyak sawit sama dengan 1 butir telur, sedangkan orang Amerika pun banyak mengkonsumsi telur," ujarnya lagi. Kampanye ASA ternyata mempengaruhi konsumsi minyak sawit di AS. Dalam catatan Sekjen Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Bonar Simanjuntak, ekspor minyak sawit Indonesia ke AS pada 1985 sempat mencapai 10.038 ton tapi sejak 1987 anjlok sampai 2.500 ton. Namun, ekspor minyak sawit Malaysia ke AS masih hebat: tahun 1988 sekitar 155.884 ton, hanya turun 9.000 ton dibandingkan tahun sebelumnya. Toh yang paling prihatin, ya, Malaysia. Asosiasi produsen minyak sawit Malaysia (MOPGC) membalas kampanye ASA. Mereka membuat anggaran kampanye untuk tiga tahun (1986-1989) sekitar 30 juta ringgit (US$ 15 juta) per tahun, guna meredam kampanye ASA yang khabarnya juga mempunyai anggaran sekitar US$ 10 juta setahun. Menurut Menteri Pertanian Wardoyo, Indonesia ikut dalam kampanye Malaysia itu, tapi agaknya tak begitu aktif. "Wong, sejak dulu ekspor (minyak sawit Indonesia) ke AS sedikit," kata Wardoyo. "Kita memang menggarap lebih banyak di pasar Eropa," tutur Sekjen Gapki Bonar Simanjuntak, yang pernah menjabat direktur di PTP VI Pabatu, Sumatera Utara. Sejauh ini para produsen minyak nabati di Indonesia, baik PTP maupun kalangan swasta, tetap optimistis bisa memenangkan pertarungan lawan minyak kedelai. Memprouksi minyak sawit, kata Sekjen Gapki, jauh lebih efisien dibandingkan minyak kedelai. Untuk menghasilkan 10 juta ton kedelai, perlu lahan 25 juta ha. Sedangkan untuk 13 juta ton sawit, perlu lahan hanya 3,5 ha. Kedelai pun tergantung musim, sedangkan kelapa sawit bisa berproduksi sepanjang tahun. "Isu anti-minyak sawit yang dilancarkan ASA hanya karena mereka kalah bersaing dalam biaya produksi," kata Eka Tjipta Wijaya, bos Bimoli Group. Lagi pula, minyak sawit, di samping bisa dijadikan minyak sayur, juga bisa dijadikan bahan sabun dan lipstik -- ini kata Eka. Maka, ia pun tekun memelihara kebun kelapa sawitnya -- terbesar di Riau -- dan memperluas kebun kelapanya yang di Manado.Laporan Irwan E. Siregar, Effendi Saat, Bambang Aji, dan Moebanoe Moera

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum