Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK terelakkan lagi, pemerintah harus segera merevisi anggaran 2016. Memang, baru satu kuartal yang lewat, tapi semakin jelas gelagatnya betapa realisasi bujet kian jauh dari patokan. Jika sinyal buruk ini terus berlarut-larut, kredibilitas pemerintah di mata pasar keuangan bisa "hanyut ke laut".
Tengoklah penerimaan pajak kuartal I 2016 yang malah turun Rp 4 triliun ketimbang periode yang sama tahun lalu, menjadi Rp 194 triliun. Penurunan ini terasa menohok karena salah satu musababnya adalah berkurangnya pemasukan pajak pertambahan nilai (PPN). Ini adalah sinyal yang sangat jelas bahwa kegiatan ekonomi tengah merosot.
Maka target pajak 2016 sebesar Rp 1.547 triliun terasa semakin tidak realistis. Pada 2015, total pemasukan pajak negara hanya Rp 1.236 triliun. Nyaris mustahil pemerintah tahun ini akan mampu menarik tambahan pajak Rp 311 triliun.
Tak mengherankan jika kini pemerintah agresif memburu pajak. Misalnya dengan menelisik data transaksi kartu kredit. Aparat pajak berupaya mengendus wajib pajak yang lancung melalui perbandingan laporanpendapatannya dengan belanjanya. Tentu yang menjadi sasaran di sini adalah nasabah kakap yang belanjanya besar-besar.
Sektor perbankan akan terpukul kebijakan ini. Nasabahnya semakin berhati-hati memakai kartu kredit dan otomatis pendapatan perbankan dari komisi ataupun bunga kartu kredit akan merosot.
Sebagai penyeimbang, pemerintah bermurah hati menaikkan batas pendapatan tidak kena pajak menjadi Rp 4,5 juta per bulan. Kebijakan ini berlaku surut sejak Januari 2016. Karyawan yang punya gaji tetap, misalnya, bakal membawa pulang uang lebih banyak karena potongan pajaknya turun.
"Potongan pajak" itu membuat pemerintah kehilangan Rp 18 triliun. Namun di sisi masyarakat, terutama yang masih tergolong menengah ke bawah, potongan pajak itu bagaikan tambahan uang saku yang mendorong belanja lebih besar dan menggairahkan ekonomi. Sedikitnya, sektor retail dan barang-barang konsumsi dapat menikmati dorongan positif ini.
Satu langkah andalan lain pemerintah adalah pengampunan pajak atautax amnesty. Pemerintah mengincar dana milik warga Indonesia yang (entah bagaimana menghitungnya) kabarnya senilai lebih dari Rp 4.000 triliun dantersembunyi di luar negeri. Hitungan sementaranya, ada potensi tambahan pajak sekitar Rp 70 triliun dari sini.
Masalahnya, selain banyak orang masih ragu akan efektivitastax amnesty, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat masih jauh dari sepakat mengenai undang-undang yang akan menaunginya. Hingga pekan lalu, fraksi-fraksi di DPR masih bersikap hangat-hangat tahi ayam, tak antusias memulai pembahasan.
Kesimpulannya, waktu terus berjalan dan tidak berpihak kepada pemerintah. DPR dan pemerintah harus segera menyepakati perubahan penerimaan ataupun pemangkasan belanja agar defisit anggaran tak melejit di atas 3 persen produk domestik bruto. Jika masih sulit bersepakat, ada baiknya pemerintah memulaipenghematan besar-besaran sejak sekarang, agar kemungkinan jebolnya anggaran berkurang.
Revisi anggaran seharusnya menjadi prioritas kesepakatan politik di antara partai-partai dan Presiden, alih-alih urusan kocok ulang kabinet. Sayangnya, politikus memang lebih suka berebut kursi menteri ketimbang menyelamatkan kredibilitas anggaran negara. l
Yopie Hidayat (kontributor Tempo)
KURS
Rp per US$ Pekan sebelumnya 13.269
13.197 Penutupan 7 April 2016
IHSG
Pekan sebelumnya 4.845
4.867 Penutupan 7 April 2016
INFLASI
Bulan sebelumnya 4,42%
4,45% Maret 2016 YoY
BI RATE
Sebelumnya 7,00%
6,75% 17 Maret 2016
CADANGAN DEVISA
29 Februari 2016 US$ 104,544 miliar
US$ miliar 107,543 31 Maret 2016
Pertumbuhan PDB
2015 4,73%
5,3% Target 2015
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo