Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBELAS kapal milik PT Arabikatama Khatulistiwa Fishing Industry (Akfi) Cabang Ambon tertambat di dermaga Kompleks AURI di Negeri Laha, Kecamatan Teluk Ambon, Kota Ambon, Maluku, Sabtu dua pekan lalu. Sudah setahun lebih dua kapal jenis pengangkut, tiga kapal lampu, dan enam kapal penarik jaring itu mangkrak di dermaga. Minimnya pasokan bahan baku membuat pabrik unit pengolahan ikan, yang berada 100 meter dari tepi dermaga, ikut mati.
Menurut Deki dan Poli, dua anggota satuan pengamanan Akfi, perusahaan berhenti beroperasi setelah Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menerbitkan larangan alih muatan ikan di tengah laut (transshipment). Akibat Peraturan Menteri Nomor 57 Tahun 2014 itu, penangkapan ikan menjadi tidak efisien. Sistem kerja perusahaan yang sudah terintegrasi jadi berantakan. Integrasi itu dari penangkapan, gudang pendingin, pengolahan, serta transportasi dilengkapi pendingin di darat dan laut, sampai sarana pendukung pabrik es dan galangan kapal.
Larangan transshipment memotong rantai produksi Akfi yang paling vital. Perusahaan yang memiliki kantor pusat di Gedong Panjang, Jakarta Barat, itu tak bisa mengangkut ikan cakalang dan tongkol hasil tangkapan di Laut Aru. Akibatnya, sembilan kapal jaring jenis pukat cincin (purse seine) milik mereka tidak beroperasi. Sembilan kapal itu kini diparkir di Benoa, Bali.
Bukan hanya Akfi, hampir semua unit pengolahan ikan di Kota Ambon mati. Kepala Pelabuhan Perikanan Nusantara Kota Ambon, Abdoel Cholieq Syahid, mengatakan, dari sepuluh perusahaan pengolah ikan di Pelabuhan Perikanan Ambon, hanya satu yang masih beroperasi, yakni PT Harta Samudra. Wakil Presiden Jusuf Kalla sempat menyambangi perusahaan ini ketika berkunjung ke Maluku dan Sulawesi Utara pada 16-18 Maret lalu.
Made Malihatadana, Manajer Operasi PT Harta Samudra, mengatakan perusahaannya bertahan karena pandai menjaga rantai produksi dari nelayan, pemasok, hingga ke perusahaan. Ketika perusahaan lain gulung tikar, ekspor tuna Harta Samudra ke Vietnam terus meningkat. "Kami bekerja sama dengan masyarakat nelayan dengan sistem kemitraan," kata Mali.
Sistem kemitraan ini bisa menjadi contoh ideal untuk pengolahan ikan lain. Cara yang sama sebenarnya sudah lazim dilakukan unit pengolahan ikan di Bitung. Namun, menurut Basmi Said, Ketua Asosiasi Pengolahan Ikan Kota Bitung, kapasitas produksi nelayan tradisional masih terlalu kecil untuk memenuhi kebutuhan industri. Di Bitung, 53 unit pengolahan butuh 1.400 ton ikan setiap hari. "Mustahil dipenuhi nelayan tradisional," ujarnya Kamis pekan lalu.
Di Pelabuhan Perikanan Samudra Bitung, volume ikan berlimpah, tapi kebanyakan bukan jenis ikan yang diserap unit pengolahan ikan. Tangkapan nelayan tradisional hanya mampu menyumbang 5-10 persen rata-rata produksi pabrik. "Hasil tangkap nelayan kecil sekali. Nyaris tidak terasa," kata Basmi, yang juga Plant Manager PT Delta Pasific Indotuna. Untuk meningkatkan utilisasi pabrik, sejumlah unit pengolahan ikan, termasuk PT Delta, harus mengimpor ikan tuna.
Ketua Asosiasi Kapal Perikanan Sulawesi Utara Rudy Walukow mengatakan, sejak diberlakukan moratorium, ratusan kapal di Bitung mangkrak. Sebelum moratorium, ada 193 kapal eks asing milik 34 perusahaan di Bitung. Di antara kapal itu, 102 kapal sudah kabur ke negara asalnya. Sisanya nganggur di sepanjang di dermaga dan perairan Teluk Lembeh, Bitung.
Sebanyak 69 kapal pengangkut lokal juga tidak beroperasi akibat larangan transshipment. Kapal-kapal berukuran 30-150 gross tonnage itu dimiliki enam perusahaan. Akibatnya, ratusan kapal penangkap ikut terdampak. Itu sebabnya Rudy berharap transshipment dihidupkan kembali agar kapal tangkap juga bisa beroperasi. Rudy, bersama Basmi Said, tergabung dalam Tim 15 Gerakan Nasional Masyarakat Perikanan Indonesia, yang berunjuk rasa ke Istana Negara pada Rabu pekan lalu.
Menteri Susi mulai melunak. Atas desakan Jusuf Kalla, ia mempercepat penyusunan skema Sistem Logistik Ikan Nasional (SLIN). "Bitung jadi prioritas pilot project," kata Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan Narmoko Prasmadji, Kamis pekan lalu.
Menurut Kepala Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim Suhana, sistem logistik itu merupakan amanat Undang-Undang Perikanan. Aturan itu mewajibkan pemerintah membentuk badan penyangga ikan. Tugasnya menjamin konsumsi ikan nasional. Karena itu, sistem logisitik harus segera dibenahi untuk memastikan daerah yang kelebihan pasokan ikan bisa mengisi daerah yang kekurangan. "Undang-undang menyebutkan ikan baru boleh diekspor setelah kebutuhan dalam negeri terpenuhi," kata Suhana.
Narmoko akan mendampingi Susi terbang ke Bitung untuk meluncurkan program kapal penyangga penangkapan ikan, pekan depan. Kapal penyangga akan bertugas mengambil ikan dari kapal penangkap untuk diumpankan ke unit pengolahan di darat. "Transshipment tetap dilarang. Kami hanya membolehkan kapal penjemput beroperasi," ujar Narmoko.
Pemerintah, kata Narmoko, akan menggandeng Perum Perikanan Indonesia dan PT Perikanan Nusantara sebagai pelaksana sistem logistik ikan nasional. Dua BUMN ini sebenarnya sudah lama ada. Namun kehadirannya kurang diperhitungkan karena kalah efisien dibanding kapal asing dan swasta.
Kehadiran Perindo dan Prinus mengundang kecurigaan pelaku usaha. Mereka khawatir pengangkutan ikan akan dimonopoli sehingga ongkos produksi semakin mahal. "Negara tidak usah ikut-ikutan kalau swasta sudah bisa," kata Ketua Asosiasi Tuna Indonesia Muhammad Billahmar.
Hein Kojongian, Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Kota Bitung, mengatakan para pemilik kapal di Bitung resah. Sebab, saat kondisi nelayan terpuruk karena larangan transshipment, perwakilan Perindo bergerilya hendak memborong kapal nelayan.
Tidak hanya di Bitung, menurut sumber di BUMN, Perindo dan Prinus ditugasi pemerintah mengawal SLIN di seluruh Indonesia. Mereka menyiapkan anggaran cukup besar untuk membeli puluhan kapal angkut dan kapal tangkap ikan. Untuk melengkapi armada, Perindo dan Prinus sejak beberapa bulan lalu aktif menawar kapal-kapal nelayan. Direktur Utama Perindo Syahril Japarin menolak berkomentar. "Mohon waktu. Saya ingin kerja dulu," ujarnya saat dimintai konfirmasi, Jumat pekan lalu.
Narmoko membantah tudingan bahwa BUMN akan memonopoli. Menurut dia, swasta juga bisa mengoperasikan kapal penyangga, tapi dengan syarat yang sangat ketat. Mereka harus memastikan kapalnya berbendera Merah Putih, diproduksi di dalam negeri, seluruh anak buah kapal dari dalam negeri, serta dilengkapi kamera pengawas dan sistem pemantau kapal (VMS). "Uang dan modalnya juga harus 100 persen dalam negeri," kata Narmoko. Pelaku usaha juga diwajibkan meneken pakta integritas.
Rudy menyambut baik rencana pemerintah. Kalau 69 kapal pengangkut di Bitung diaktifkan semua, ia yakin bisa menambah 500-600 ton pasokan ikan per hari. Ditambah kapal-kapal nelayan kecil di bawah 30 GT, Rudy yakin kebutuhan utilisasi minimal unit pengolahan ikan di Bitung terpenuhi. "Semoga benar-benar terealisasi. Kami dari asosiasi kurang percaya kalau hanya janji-janji," katanya.
Agus Supriyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo