Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Perusahaan milik Pontjo Sutowo, yakni PT Indobuildco, tengah menghadapi sengketa lahan Hotel Sultan yang berlokasi di Blok 15 Kawasan Gelora Bung Karno (GBK). Untuk menyelesaikan hal ini, Pontjo pun menunjuk Hamdan Zoelva dan Amir Syamsuddin sebagai kuasa hukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bahkan, mereka juga mengajukan gugatan atas sengketa lahan ini kepada Pengadilan Tinggi Urusan Negara (PTUN), meski sebelumnya telah kalah empat kali dalam Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Informasi terbaru mengenai polemik tersebut adalah pengosongan paksa Hotel Sultan oleh Pusat Pengelola Komplek Gelora Bung Karno (PPK GBK). Hal ini mengejutkan Amir Syamsuddin selaku kuasa hukum PT Indobuildco karena kegiatan tersebut disertai pemasangan spanduk yang menegaskan bahwa aset tersebut adalah milik negara.
Amir mengatakan, Pontjo Sutowo selaku pengelola Hotel Sultan sebelumnya telah bertemu Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menko Polhukam) Mahfud MD pada Senin lalu, 2 Oktober 2023. Pihaknya juga bertemu dengan kuasa hukum PPK GBK.
“Pertemuan itu kami artikan sebagai upaya dialog untuk mencari solusi terbaik bagi kedua belah pihak. Tapi yang terjadi malah sebaliknya,” kata Amir Syamsuddin melalui keterangan tertulis yang diterima Tempo, Rabu, 4 Oktober 2023. “Kami berharap supaya PPK GBK menghormati prinsip hukum bukan pemaksaan kehendak dan kekuasaan.”
Lantas, bagaimana profil Amir Syamsuddin yang menjadi kuasa hukum perusahaan Pontjo Sutowo dalam polemik Hotel Sultan? Simak rangkuman informasi selengkapnya berikut ini.
Profil Amir Syamsuddin
Amir Syamsuddin adalah seorang pengacara, advokat, dan mantan Menteri Hukum dan HAM Indonesia pada Kabinet Indonesia Bersatu II di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dia menjabat posisi tersebut pada periode 2011-2014 menggantikan Patrialis Akbar.
Pria berusia 77 tahun ini dilahirkan di Bandung, Jawa Barat pada 27 Mei 1946. Saat itu, dia dilahirkan dengan nama Freddy Tan Toan Sin. Melansir dari Antara, Amir menghabiskan masa kecilnya di Makassar hingga duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP).
Setelah itu, dia merantau ke Surabaya untuk melanjutkan pendidikannya. Amir pun mulai bekerja sejak duduk di tahun pertama sekolah menengah atas (SMA). Pekerjaannya pun beragam, dia pernah menjadi juru cetak foto dalam kabar gelap, hingga bekerja di pabrik roti.
Pada 1965, Amir kembali merantau dan saat itu kakinya sampai di Jakarta. Memiliki ketertarikan pada mesin, Amir pun bekerja di salah satu bengkel di ibukota. Setelah itu, dia pun membuka bengkelnya sendiri. Sambil menata anak tangga menuju masa depan, dia kerap mengisi waktunya dengan membaca berbagai hal. Kegemarannya ini berhasil membuatnya bercita-cita sebagai advokat.
Pada 1978, Amir pun mendaftarkan diri untuk melanjutkan pendidikannya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, sambil terus bekerja. Setelah lulus, dia kemudian kembali melanjutkan studinya di kampus yang sama dalam program S2 Hukum.
Amir Syamsuddin sendiri memulai karier kepengacaraannya di bidang hukum dengan menjadi staf magang di Kantor Pengacara O.C. Kaligis pada 1979 silam. Kemudian pada 1983, dia akhirnya mendirikan firma hukumnya sendiri yang bernama Amir Syamsuddin Law Offices and Partners. Dia juga merupakan pendiri firma ‘Acemark’ yang khusus menangani permasalahan di bidang hak kekayaan intelektual.
Selama menjadi pengacara, Amir sudah pernah menghadapi berbagai kasus besar yang melibatkan media. Seperti pada kasus TEMPO (1986), Bapindo (1993), Suara Pembaruan (1999), Zarima Akbar Tanjung (2003), Harnoko Dewantoro, Beddu Amang, KPKPN (2003), VLCC dengan Pertamina dan KPP, dan perselisihan Texmaco dan KOMPAS (2003), serta William Nessen (2003).
RADEN PUTRI | RIRI RAHAYU