Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bisakah Rasio Pajak 11 Persen 2025 Tercapai?

Rasio pajak dinilai sulit menembus level 11 persen. Reformasi pajak seperti tax amnesty belum ampuh untuk mendongkraknya.

21 Agustus 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Petugas Pajak melayani wajib pajak pada Pelayanan Pajak di dalam pusat perbelanjaan ITC Kuningan, Jakarta. TEMPO/ Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Rasio pajak dipatok di level 12,23 persen terhadap produk domestik bruto dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2025. Nilai tersebut lebih tinggi dari target rasio pajak tahun ini yang sebesar 10,12 persen.

  • Rasio pajak Indonesia dalam satu dekade terakhir stagnan di kisaran 10 persen terhadap PDB.

  • Direktorat Jenderal Pajak menyatakan akan menempuh berbagai upaya, antara lain perluasan basis perpajakan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi.

RASIO pajak dipatok di level 12,23 persen terhadap produk domestik bruto dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2025. Nilai tersebut lebih tinggi dari target rasio pajak tahun ini yang sebesar 10,12 persen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada 2023, rasio pajak turun dari tahun sebelumnya 10,39 persen menjadi 10,21 persen. Angka ini bahkan masih lebih rendah dari tax ratio di awal masa pemerintahan Joko Widodo pada 2015, yaitu 10,76 persen dari PDB.

Ekonom dan Direktur Next Policy, Yusuf Wibisono, menuturkan rasio pajak Indonesia dalam satu dekade terakhir stagnan di kisaran 10 persen terhadap PDB. Hal ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan kapasitas fiskal terendah, tidak hanya di kawasan, tapi juga di dunia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rata-rata tax ratio negara-negara di Asia Tenggara melampaui 15 persen dari PDB. Sementara itu, rata-rata rasio pajak negara maju yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) berada di atas 30 persen dari PDB. Dalam komparasi internasional, Yusuf mengimbuhkan, rasio pajak Indonesia setara dengan negara seperti Uganda, Bangladesh, dan Nigeria.

Kebocoran pajak yang berasal dari kelemahan pegawai pajak, menurut Yusuf, menjadi salah satu penyebab rendahnya rasio pajak. Karena itu, diperlukan perbaikan sumber daya manusia perpajakan yang tidak hanya terfokus pada kenaikan tunjangan, tapi juga diiringi perbaikan integritas dan akuntabilitas pegawai pajak.

Di sisi lain, Yusuf berpendapat bahwa masih banyak kelompok orang kaya yang setoran pajaknya selama ini masih minim. Next Policy mencatat kelompok orang kaya tersebut berada di sektor properti, otomotif, dan pertambangan. Sektor real estate dan otomotif sudah lama banyak dipilih untuk menyembunyikan kekayaan dengan memanipulasi transaksi, identitas, serta harga properti dan kendaraan. Sedangkan sektor pertambangan banyak menerima insentif perpajakan, seperti program penghiliran atau hilirisasi nikel. Menurut dia, banyak terjadi praktik pengalihan keuntungan serta pertambangan ilegal dan ekspor ilegal.

Peneliti Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran, Gurnadi Ridwan, menuturkan ada berbagai faktor yang membuat rasio pajak di Indonesia sulit melebihi 11 persen. Selain pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih rendah, kepatuhan wajib pajak menjadi penyebab utama rendahnya rasio pajak.

Menurut Gurnadi, rendahnya kepatuhan wajib pajak disebabkan oleh kurangnya kesadaran pajak, rendahnya penegakan hukum, dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pengelolaan pajak. Penghindaran dan penggelapan pajak masih menjadi masalah besar di Indonesia. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir, kata dia, sering terdengar kabar bahwa individu atau perusahaan Indonesia memarkir uangnya di negara-negara bebas pajak atau tax haven country.

Walaupun sudah mengeluarkan berbagai kebijakan reformasi perpajakan, seperti tax amnesty, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, kenaikan tarif pajak pertambahan nilai atau PPN, serta pengembangan core tax system, kinerja perpajakan Indonesia dinilai tidak banyak berubah.

Tax amnesty jilid I digelar pada 2016-2017. Kemudian Direktorat Jenderal Pajak melanjutkan kebijakan tax amnesty jilid II atau Program Pengungkapan Sukarela (PPS) pada 2022. Dari dua kebijakan tersebut, pajak penghasilan yang terkumpul pada jilid I sebesar Rp 32,91 triliun dan pada jilid II Rp 28,1 triliun.

Dibanding tax amnesty jilid pertama, perolehan jilid kedua tercatat lebih rendah. Gurnadi berpandangan bahwa pemerintah kurang serius memperbaiki sistem perpajakan pada jilid kedua. Imbasnya, negara justru kehilangan potensi pendapatan karena memberikan pengampunan pajak yang berlebihan. "Sehingga tax amnesty hanya berhasil dideklarasikan, tapi tidak direpatriasi," tuturnya.

Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono menilai tax amnesty dan PPS secara empiris merupakan kebijakan pajak jangka pendek. Kebijakan tersebut dianggap tak berhasil mendongkrak rasio pajak secara signifikan. Bahkan tax amnesty justru dapat berdampak pada perilaku penghindaran pajak jika penerapannya dilakukan berulang.

Prianto menjelaskan, tax amnesty dapat membuat wajib pajak yang sudah patuh berpikir ulang untuk kembali tidak patuh. Sebab, wajib pajak yang tidak patuh justru membayar pajak lebih rendah dibanding wajib pajak yang patuh. Alasannya, kebijakan pengampunan pajak tersebut memberikan diskon tarif pajak bagi para pelaku penghindaran pajak atau pengelakan pajak.

Secara umum, ekonom Center of Reform on Economic Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menilai tax amnesty jilid pertama dan kedua merupakan salah satu pekerjaan rumah yang masih harus diselesaikan otoritas terkait. Khususnya dengan mengoptimalkan pos-pos pajak potensial yang sebenarnya masih relatif kecil secara realisasi saat ini.

Yusuf Rendy berujar pemerintahan Jokowi dalam 10 tahun terakhir sudah melakukan berbagai reformasi perpajakan. Dengan demikian, pemerintah sudah menghimpun dan memiliki data yang dibutuhkan untuk meningkatkan rasio pajak.

Selain itu, ia berharap pemerintahan selanjutnya memperbaiki sistem administrasi perpajakan. Sebab, kemudahan sistem administratif juga bisa berkontribusi terhadap kepatuhan dan kesukarelaan wajib pajak.

Pemerintah juga perlu mengekstensifikasi pajak, terutama membuka peluang adanya jenis pajak baru. Misalnya, pajak untuk orang superkaya atau pajak windfall yang nantinya berguna mendongkrak rasio pajak.

Sementara itu, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Dwi Astuti mengatakan perhitungan rasio pajak yang dilakukan Indonesia berbeda dengan OECD. Besaran rasio pajak ditentukan struktur ekonomi suatu negara, kebijakan perpajakan, dan kapasitas otoritas pajak dalam mengumpulkan penerimaan.

"Hal ini menyebabkan besaran tax ratio di Indonesia tidak seperti negara-negara OECD lain karena terdapat komponen penghitungan yang berbeda," ujarnya kepada Tempo, Selasa, 20 Agustus 2024.

Menurut OECD, penerimaan pajak untuk menghitung tax ratio mencakup penerimaan pajak pusat, pajak daerah, kepabeanan dan cukai, serta penerimaan negara bukan pajak sumber daya alam terhadap PDB, ditambah kontribusi sosial. Sedangkan dalam perhitungan APBN, Dewi berujar, Indonesia menggunakan definisi dalam arti sempit, yaitu pajak pusat termasuk kepabeanan dan cukai.

Dalam rangka meningkatkan rasio pajak, Ditjen Pajak menyatakan akan menempuh berbagai upaya, antara lain memperluas basis wajib pajak melalui intensifikasi dan ekstensifikasi, meningkatkan kapasitas administrasi Ditjen Pajak, serta meningkatkan pelaksanaan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan insentif fiskal untuk akselerasi ekonomi. Misalnya insentif untuk Ibu Kota Nusantara (IKN), PPN ditanggung pemerintah untuk kendaraan listrik, pembebasan PPN untuk bahan kebutuhan pokok, serta impor dan penyerahan barang yang bersifat strategis.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Riani Sanusi Putri

Riani Sanusi Putri

Lulusan Antropologi Sosial Universitas Indonesia. Menekuni isu-isu pangan, industri, lingkungan, dan energi di desk ekonomi bisnis Tempo. Menjadi fellow Pulitzer Center Reinforest Journalism Fund Southeast Asia sejak 2023.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus