Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Institute for Development of Economic and Finance atau Indef menemukan berbagai dampak negatif dari rencana pemindahan ibu kota negara ke Pulau Kalimantan. Temuan ini berasal dari riset simulasi yang dilakukan oleh Indef menggunakan model ekonomi keseimbangan umum atau Model CGE (Computable General Equilibrium).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Pemindahan tersebut tidak memberikan dampak apa-apa terhadap pertumbuhan PDB riil dan GNE (Gross National Expenditure) riilnya,” kata peneliti Indef, Rizal Taufikurahman, dalam paparannya di ITS Tower, Jakarta Selatan, Jumat, 23 Agustus 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan demikian, pemindahan ibu kota ini tidak cukup kuat untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Adapun dalam riset ini, Indef menjadikan Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur sebagai simulasi dua daerah calon ibu kota baru. Selama ini, dua daerah inilah yang digadang-gadang menjadi ibu kota baru pilihan Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
Dalam skenario pertama yaitu Kalimantan Tengah. Riset Indef menemukan pemindahan ibu kota ke provinsi ini berdampak 1,77 persen terhadap PDRB atau Pendapatan Domestik Regional Bruto di Kalimantan Tengah. Namun, kontribusinya pada PDB nasional hanya 0,0001 persen. Sebaliknya, pemindahan ibu kota ini berkontribusi negatif pada PDRB provinsi lain hingga 0,04 persen.
Sementara itu dalam skenario kedua, Kalimantan Timur. Jika dipindahkan ke daerah ini, dampaknya pada PDB nasional sama sekali tak ada alias 0 persen. Sementara, dampak pada PDRB Kalimantan Timur meningkat hingga 0,24 persen. Lalu, dampak negatif dirasakan pada provinsi lain, kecuali Kalimantan Utara, Kalimantan Selatan, dan Papua dari sisi PDRB.
Selain itu, kata Rizal, pemindahan ibu kota juga menstimulus turunnya jumlah output di hampir semua sektor tradable-goods yang berbasis sumber daya alam. Sebaliknya, sektor yang meningkat justru ada pada non-tradable goods yang terhitung bukan sektor produktif. Di antaranya yaitu administrasi, pertahanan, pendidikan dan kesehatan, hingga kertas dan publikasi.
Malahan, kata Rizal, pemindahan ibu kota ke Kalimantan Tengah ataupun Kalimantan Timur akan mengerek harga barang di kedua daerah tersebut, Sebab, akan ada tambahan sekitar 2 juta lebih penduduk dan membuat permintaan terhadap barang meningkat. Jika suplainya terbatas, maka harga pun akan otomatis naik. “Kalau terjadi secara bersamaan, maka akan terjadi inflasi,” kata dia.
Meski demikian, Rizal mengakui model ini hanyalah jangka pendek ketika pemindahan ibu kota telah direalisasikan, bukan jangka panjang, Adapun Model CGE dari sebuah perekonomian nasional, kata Rizal, merupakan sistem persamaan yang mencerminkan perilaku semua pelaku ekonomi, yaitu perilaku konsumen dan produsen serta kondisi kliring pasar (Market Clearing Condition).
Sementara itu, dalam Dialog Pemindahan Ibu Kota Negara pada 16 Mei 2019, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro menyebut pemindahan ibu kota ke luar Jawa justru akan memperkuat fungsi Pusat Kawasan Nasional (PKN) dan Pusat Kawasan Wilayah (PKW), terutama di kawasan Indonesia Timur. “Sehingga bisa membantu mengurangi kesenjangan antara Indonesia Timur dan Barat,” kata dia.