SEBUAH kemenangan yang cukup berarti dapat diraih pemerintah dalam pergulatan melawan para spekulan valuta asing baru-baru ini. Senjata yang digunakan pemerintah - menaikkan suku bunga dan pengetatan kredit - ternyata cukup ampuh untuk menghalar plhak spekulan yang kini benar-benar terjepit. Menurut Bank Indonesia (BI), modal yang mereka larikan kini mulai masuk kembali. Untuk jangka waktu tertentu, BI akan lebih banyak membeli daripada menjual valuta asing. Para spekulan telah belajar sesuatu. Tapi pelajaran yang diambil pemerintah Juga tldak kalah pahitnya: betapa banyak tenaga dan dana harus dikeluarkan untuk menghadapi sebuah persoalan jangka pendek. Sebuah persoalan yang selalu berkisar pada usaha mengamankan neraca pembayaran, yang terus-menerus harus dihadapi sejak harga minyak turun untuk pertama kalinya pada 1983. Keterlibatan pemerintah terus-menerus dengan persoalan-persoalan jangka pendek mengkhawatirkan. Karena pemerintah seharusnya sudah mulai memusatkan pikiran pada masalah-masalah jangka panjang. Repelita V toh harus dipersiapkan sebentar lagi. Biaya yang harus dibayar untuk memenangkan pergulatan dengan para spekulan ini cukup mahal. Orang lain yang tak ikut main juga menjadi korban. Dampak pengetatan kredit dirasakan oleh setiap orang, karena memang tidak bisa selektif dan pilih kasih. Siapa pun yang punya bisnis pasti terkena. Dan ini terjadi justru pada saat bisnis perlu perangsang untuk berkembang. Pengetatan moneter tampaknya memang masih diperlukan, sekalipun sulit dikatakan sampai kapan. Peristiwa pelarian modal oleh spekulan memang memprihatinkan, karena ia mendemonstrasikan sesuatu yang selama ini disinyalir: bahwa kebijaksanaan moneter dan neraca pembayaran bisa menghasilkan akibat yang bertentangan. Di satu pihak, pertumbuhan ekonomi memerlukan rangsangan dari kebijaksanaan moneter yang longgar, di lain pihak, tak ada jaminan bahwa kelonggaran ini tak akan menimbulkan tekanan-tekanan dalam neraca pembayaran. Sumber dilema yang tak mengenakkan ini tak lain adalah kredibilitas neraca pembayaran kita sendiri. Perbaikan-perbaikan yang terjadi pada neraca pembayaran kita selama ini hanya berlangsung pada neraca modal (capital account), suatu perbaikan yang biasanya mempunyai kualitas dan kelanggengan yang meragukan. Perbaikan yang sehat pada neraca pembayaran adalah perbaikan yang berlangsung pada neraca perdagangan (trade account), dan bukan semata-mata pada neraca modal. Akibatnya, selama kredibilitas neraca pembayaran kita menjadi masalah, selama itu pula kelonggaran moneter akan punya risiko yang cukup besar. Akan lebih mudah problemnya bila yang dihadapi adalah sebuah pilihan stimulasi fiskal yang berasal dari adanya perbaikan pada neraca perdagangan. Hal ini bisa dijelaskan dengan sebuah ilustrasi: seandainya harga minyak bisa bertahan pada US$ 18 per barel sampai akhir tahun anggaran 1987-1988 ini, berarti adanya tambahan ekstra sekitar US$ 1 milyar pada neraca pembayaran dan pada penerimaan dalam negeri. Ini bisa dimanfaatkan sebagai penyangga (cushion) untuk menghadapi segala kemungkinan. Dan penyangga ini memang sepatutnya ada, karena situasi internasional masih belum menentu. Cara pengelolaan yang konservatif, yang selama ini dipraktekkan pemerintah, memang mendiktekan hal-hal semacam itu. Tak tertutup kemungkinan untuk "membelanjakan" ekstra US$ 1 milyar ini untuk sekadar merangsang keglatan ekonomi, sekalipun tindakan ini akan menyrempet kestabilan neraca pembayaran. Yang penting adalah kesediaan untuk mengkaji sebuah trade-off yang diberikan oleh sebuah pilihan: memberi rangsangan fiskal pada pertumbuhan ekonomi dengan sebuah resiko pada neraca pembayaran. Dengan makin terlibatnya pemerintah pada persoalan-persoalan jangka pendek, dikhawatirkan momentum deregulasi akan terhambat. Usaha-usaha meletakkan dasar pertumbuhan ekonomi jangka panjang dengan demikian akan tertunda. Sebelum melangkah lebih jauh lagi dengan deregulasi, banyak hal yang harus dibikin jelas, karena deregulasi akan menyangkut perubahan mendasar pada peran pemerintah di bidang ekonomi di masa depan. Sekalipun yang ditangani adalah bidang ekonomi. komitmen terhadap deregulasi adalah sebuah komitmen politik, sebuah komitmen terhadap sebuah reorientasi tentang: sejauh mana pemerintah boleh melakukan campur tangan di bidang ekonomi. Maka, dari sekarang harus sudah ada pembatasan yang jelas: sektor apa yang masih perlu dan tidak perlu lagi diatur oleh pemerintah di sektor apa saja pasar diperbolehkan berperan penuh sebagai penggerak kegiatan ekonomi sejauh mana pemerintah mempunyai komitmen terhadap persaingan yang adil dan jujur. Dengan kata lain, yang masih harus ditegaskan adalah kalau swasta sudah diberi tanggung Jawab sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi di sini, semua pihak harus siap menerima konsekuensi dari sikap politik itu. Selama hal-hal ini masih kabur, selama itu pula posisi antara pemerintah dan swasta akan dibatasi oleh sebuah kesenjangan yang memuat suatu krisis kepercayaan. Selama masalah kepercayaan ini belum tuntas, selama itu pula kredibilitas Indonesia sebagai tempat penanaman modal merupakan masalah. Yang tak kalah penting ditegaskan, di samping hal-hal di atas tadi, adalah reorientasi pandangan pemerintah terhadap BUMN. Sejauh mana persepsi internal pemerintah berubah? Sejauh mana BUMN dianggap sebagai sebuah lembaga sosial? Sejauh mana pimpinan BUMN akan diberi otonomi? Apakah sebuah BUMN masih diharuskan membeli peralatan dan bahan-bahan yang diperlukan dari BUMN lain? Kalau ya, transfer pricing bagaimana yang akan digunakan ? Karena dalam praktek tersedia sebuah kesempatan untuk melakukan manipulasi data, hingga pembukuan tentang biaya dan rugi-laba sebuah BUMN tidak jelas, bahkan nyaris menjadi sebuah fiksi. Akibatnya, tidak terdapat gambaran yang jelas, sejauh mana sumber dan dana sudah dikelola dengan efisien. Harus diakui, tak mudah menggiring semua orang menerima perubahan. Ada saja golongan-golongan, karena alasan-alasan kultural, politik, dan juga ekonomi, belum siap menerima perubahan. Ini ujian sebuah tekad politik. Dan, ujian itu memang tidak mudah, karena ternyata deregulasi yang dilakukan selama ini belum mencakup hal-hal yang substansial. Dia baru menyentuh sektor-sektor pinggiran. Karena itu, deregulasi sekarang ini nyaris terkesan baru sebuah semangat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini