Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Saatnya memetik laba

Dirut garuda indonesia, m. soeparno, memperkirakan tahun 1988 garuda bisa meraih laba minimal rp 29 milyar. ia membenahi bagian keuangan, karena menjadi salah satu penyebab kerugian garuda.

16 April 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEBAGAIMANA biasa, musim haji tahun ini adalah musim rezeki bagi Garuda Indonesia. Tidak percaya? Pada ulang tahunnya yang ke-39, dua pekan lalu, Garuda sudah bisa merasa-rasakan rezeki mengangkut calon haji, yang jumlahnya diduga akan mencapai 50 ribu penumpang tu. Untuk mengangkut jemaah yang terbagi dalam 132 kloter (kelompok terbang) tersebut, seperti biasanya, kali ini pun Garuda terpaksa mengontrak pesawat milik penerbangan asing. M. Soeparno, Dirut Garuda Indonesia, berkata, "Kami akan berusaha menggunakan pesawat sendiri. Kalaupun harus menyewa penerbangan asing, paling banter kami sewa dua pesawat saja." Jadi, persis seperti yang dilakukan tahun lalu, ketika Garuda mengontrak dua pesawat dari Singapore Airlines dan perusahaan penerbangan Yordania, khusus untuk menambal kekurangan pesawat karena musim haji. Hanya saja, bagi Garuda, musim haji bukanlah panen raya. "Biasa-biasa saja sebab kebetulan saat naik haji kali ini bersamaan dengan datangnya musim panas, artinya di saat jalur penerbangan sedang ramai-ramainya," ujar Soeparno. Itu tidak berarti Dirut Garuda ini punya target "biasa-biasa" juga. Ia memperkirakan, tahun ini Garuda bisa meraih laba minimal Rp 29 milyar. Itu laba bersih, sudah dipotong pajak dan cicilan utang - kini tinggal Rp 700 milyar. Tentu, ini sebuah target yang mengundang "rasa tidak pcrcaya", memang. Maklum, selama ini BUMN yang menguasai bisnis udara di Indonesia itu selalu didera kerugian. Yang namanya Garuda Indonesia baru dinyatakan melaba pada periode tahun 1987. Ketika itu yang menjadi Dirut R.A.J. Lumenta, dengan iaba Rp 299 juta. Lantas dari mana Soeparno menghitung laba bersih Rp 29 milyar? Pendapatan tahun ini diperkirakannya akan mencapai Rp 1,4 trilyun, yang setelah dipotong oleh biaya secara total tercatat sisa sekitar Rp 152 milyar. Dan akhirnya, setelah dipotongpotong berbagai pajak, muncullah perkiraan laba bersih Rp 29 milyar. "Saya tidak tahu, kenapa tahun-tahun sebelumnya merugi, dan hanya melaba Rp 299 juta pada tahun lalu," tutur Soeparno. Tapi bicara tahun 1988, optimisme tampak mengambang di wajahnya Kata Soeparno, Jumlah penumpang tahun mi akan meningkat sekitar 17% - dari lima juta penumpang tahun lalu, menjadi sekitar enam juta lebih tahun ini. Di samping itu, volume barang yang diekspor pun naik mencolok. Contohnya produk ekspor yang diangkut Garuda dari Bali. Tahun-tahun sebelumnya tercatat hanya 10-15 ton per bulan. Tapi tahun lalu naik ratusan persen, menjadi tidak kurang dari 800 ton. Salah satu sebabnya, menurut Parno adalah adanya kebijaksanaan deregulasi yang bertubi-tubi diturunkan pemerintah, sehingga jenis barang yang diekspor pun menjadi semakin banyak. Misalnya mebel sayur, dan durian. "Sebelumnya, paraeksportir itu tidak yakin barangnya bis bersaing kalau diangkut pesawat terbang," ujar Parno. Selain peningkatan volume barang, ia juga membicarakan kebijaksanaannya dalam hal pembenahan keuangan Garuda. "Saya tidak punya pretensi apa-apa, tapi begitu diangkat, yang pertama kali saya benahi adalah sektor keuangannya," kata Parno gamblang. Tanpa menyebut pihak-pihak yang bersalah, Parno menganggap bagian keuanganlah yang menjadi salah satu penyebab kerugian Garuda. Tanpa menunu lama, Parno secara melikuidkan keuangan Garuda. Caranya terutama dengan menempatkan bebanbeban secara proporsional. Kerugian yang tiba-tiba muncul akibat devaluasi 1986, yang mencapai Rp 300 milyar, misalnya. Biasanya ini dihapuskan secara bertahap pada tahun-tahun buku berikutnya. Tapi dengan peraturan akuntansi yang baru, beban itu mau tidak mau harus diperhitungkan pada tahun ketika terjadi. "Hasilnya, Garuda oleh para bankir sudah dianggap sebagai perusahaan yang solid," kata Parno, tanpa menyembunyikan rasa bangganya. Upaya lain yang dilakukannya adalah meningkatkan daya angkut setiap pesawat. Pada penerbangan lokal, umpamanya, tidak semua jalur menguntungkan. Jalur Bandung, Lampung, dan Palangkaraya sampai saat ini termasuk rugi, karena termasuk jalur sepi. Kenyataan itu mengharuskan manajemen Garuda berhitung dengan cermat: berapa biaya dan penghasilan yang diperoleh dari setiap pesawatnya yang kini berjumlah 58 unit itu. Maka, pesawat jenis Boeing 747, yang biaya operasinya mencapai hampir 11 ribu US dolar per jam, hanya dioperasikan pada jalur-jalur ramai. Sedangkan jalur-jalur sepi cukup dilayani Fokker 28, yang hanya memakan biaya operasi antara 1.400 dan 1.800 dolar per jam. Yang jadi pertanyaan kini, mengapa tidak dari dulu manajemen dan kalkulasi Garuda dilakukan seperti itu. Budi Kusumah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus