Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Satu Batam, Dua Kehendak

Empat pulau di Batam jadi kawasan perdagangan bebas. Pemerintah khawatir penyelundupan akan makin menjadi-jadi.

20 September 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIDANG paripurna Dewan Perwakilan Rakyat, Selasa malam pekan lalu, menemui jalan buntu. Walaupun semua fraksi di DPR telah menyetujui Rancangan Undang-Undang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, alias free trade zone (FTZ) Batam, disahkan jadi undang-undang, pemerintah justru berpendapat sebaliknya. Upaya mencari kesepakatan selama tiga setengah jam gagal.

Presiden Megawati Soekarnoputri, melalui Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra, yang memimpin delegasi pemerintah, tetap menolak mengesahkan RUU itu. Pada pukul 21.00 rapat paripurna ditutup, dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tetap mengesahkan undang-undang itu tanpa persetujuan pemerintah.

Cuma satu pasal yang menjadi perdebatan malam itu, yakni Pasal 2, yang menyatakan dalam tahap pertama kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas hanya berlaku di empat pulau di Kota Madya Batam. Usul DPR itu bertolak belakang dengan keinginan pemerintah yang hendak menerapkan FTZ hanya pada tujuh kantong (enclave), yakni Ampar, Batam Center, Kabil, Muka Kuning, Sagulung, Tanjung Uncang, dan Sekupang.

Luas kawasan itu sekitar 5.226 hektare dan semuanya ada di satu pulau, yakni Pulau Batam. Sedangkan empat pulau yang diminta DPR, yaitu Pulau Batam, Rempang, Galang, dan Galang Baru, luasnya 69.285 hektare atau sekitar 1,2 kali luas Singapura.

Kendati pemerintah menolak, sejumlah anggota DPR berpendapat itu tidak akan mempengaruhi penerapan undang-undang tersebut. Undang-undang itu otomatis berlaku 30 hari setelah disetujui DPR, dengan atau tanpa persetujuan pemerintah. Karena itulah, Ketua Sub-Komisi V Bidang BUMN dan Investasi DPR, Azwir Dainy Tara, marah ketika Menteri Yusril mengatakan keputusan itu tidak mengikat pemerintah. ?Lalu, apa artinya semua rapat dengan DPR?? katanya. Ketua Komisi V DPR, Suryadharma Ali, lebih kalem menanggapi sikap pemerintah. ?Ketidaksetujuan pemerintah bisa ditambahkan sebagai catatan dalam undang-undang itu,? katanya.

Azwir mengungkapkan, penetapan kawasan bebas untuk seluruh Batam akan mempermudah investor karena tak perlu merelokasi pabriknya ke dalam zona seperti yang diinginkan pemerintah. Apalagi, dari 611 perusahaan penanaman modal asing (PMA) yang ada di Batam, hanya 198 yang benar-benar berada di kawasan industri yang dimaksudkan pemerintah.

Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Rini Soewandi, tak sependapat. Bila kawasan perdagangan bebas berlaku secara menyeluruh, menurut perkiraan pemerintah semua penduduk Batam akan menikmati keistimewaan yang tak semestinya, seperti pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penjualan barang mewah (PPn-BM), dan pembebasan bea masuk terutama untuk barang modal.

Kemudahan-kemudahan tersebut hanya boleh dinikmati oleh industri yang berada dalam kawasan perdagangan bebas, bukan semua penduduk Batam. ?Bila semua pulau di Batam meminta kemudahan, kan repot,? kata Rini. Batam memang memiliki 234 pulau, yang kelak harus dimasukkan dalam FTZ bila pemerintah menyetujui rancangan undang-undang itu.

Pemerintah juga khawatir pulau itu akan berubah menjadi pintu barang selundupan yang akan masuk Indonesia. Menurut Rini, saat ini sebagian besar perdagangan di Pulau Batam didominasi barang-barang retail yang masuk dari berbagai negara seperti Singapura atau Cina. Dengan mudah, barang seperti produk elektronik, bahkan mobil, akan diselundupkan ke Sumatera dan Jawa.

Sebaliknya, menurut Azwir, tujuh kantong yang diusulkan pemerintah justru mempersulit investor karena penduduk ketujuh kantong itu harus dipindahkan ke luar zona lantaran, sesuai dengan Konvensi Tokyo, tidak boleh ada penduduk di dalam FTZ. Lalu-lintas barang antarzona dalam Kota Batam juga akan dikenai pajak sehingga menimbulkan disinsentif bagi pengusaha.

Azwir dan koleganya di Komisi Perindustrian dan Perdagangan juga menepis dugaan penyelundupan akan makin marak. Setiap barang yang keluar-masuk zona bebas itu, kata mereka, tetap akan dikenai pajak dengan nilai yang sama seperti di tempat lain.

Pulau Batam memang istimewa karena lokasinya di Selat Malaka, salah satu perairan tersibuk di dunia dan paling dekat dengan Singapura. Sejak 1970, pemerintah ingin menjadikan pulau itu pendukung industrialisasi Singapura dengan cara memberikan kemudahan fiskal dan insentif bagi investasi asing. Dengan insentif itu, sebagian besar industri di Singapura diharapkan merelokasi kantor dan pabriknya ke Batam, yang cuma setengah jam perjalanan dengan perahu motor.

Untuk menyiapkan pulau itu, selama 30 tahun terakhir Batam menelan investasi US$ 9,19 miliar, US$ 2,15 miliar di antaranya dari pemerintah pusat. Hingga 2002, tercatat 611 perusahaan penanaman modal asing yang masuk ke Batam dengan investasi US$ 3,7 miliar. Dalam lima tahun terakhir pemerintah menikmati pajak Rp 4,3 triliun. Kawasan itu juga dikelola secara khusus oleh Badan Otorita Batam. Tetapi sebagian besar industri di tempat itu, terutama elektronik, tak lebih dari industri perakitan yang mendatangkan hampir semua komponennya dari luar negeri seperti Jepang, Jerman, dan Amerika.

Menurut Abidin, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Aspindo) Batam, penerapan enclave akan membuat pulau itu mati dalam beberapa tahun karena tak ada investor yang tertarik. Buktinya, selama empat tahun terakhir sudah 20-an perusahaan tutup dan 125 perusahaan asing belum merealisasi investasinya pada tahun ini. Manajer Kawasan Industri Batamindo, Andi Mapisangka, membenarkan penutupan industri itu sebagian karena alasan ketidakjelasan sikap pemerintah terhadap status Batam. Padahal ekspor Batam selama ini lumayan besar, US$ 5 miliar-US$ 6 miliar per tahun, atau 12-15 persen ekspor nonmigas nasional. Angka ekspor ini bisa turun jika Batam gagal memperoleh fasilitas perdagangan bebas.

Satu siang akhir pekan lalu, di Kota Batam yang semrawut itu, Murni, pekerja di kawasan Batamindo, keluar dari kawasan berikat dengan wajah murung. Gadis Minang 26 tahun itu dan beberapa temannya mendengar pabriknya akan melakukan pengurangan buruh demi efisiensi. Ketakutan menjadi pengangguran membayang di matanya. Tapi, kegalauan Murni mungkin akan segera berakhir. Jika dalam tempo sebulan setelah disetujui DPR presiden tidak juga meneken persetujuannya, Undang-Undang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam toh tetap akan berlaku.

I G.G. Maha Adi, S.S. Kurniawan, Rumbadi Dalle (Batam)


7 Keppres Mengatur Batam

Keppres 65 Tahun 1970
Proyek pengembangan Pulau Batam.

Keppres 74 Tahun 1971
Sebagian wilayah Batam menjadi daerah industri.

Keppres 41 Tahun 1973
Seluruh wilayah Pulau Batam menjadi daerah industri.

Keppres 33 Tahun 1974
Sebagian wilayah Pulau Batam menjadi bonded warehouse, termasuk bagian timur Pulau Batam, Daerah Batu Ampar, dan Daerah Sekupang.

Keppres 41 Tahun 1978
Seluruh Batam menjadi bonded warehouse.

Keppres 56 Tahun 1984
Seluruh wilayah Pulau Batam menjadi bonded warehouse, termasuk Pulau Janda Berhias, Tanjung Sauh, Ngenang, Kasem, dan Moimoi.

Keppres 28 Tahun 1992
Seluruh wilayah Pulau Batam menjadi bonded zone (kawasan berikat), termasuk Rempang dan Galang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus