Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Gelombang penolakan terhadap Omnibus Law Rancangan Undang-Undang atau RUU Cipta Kerja terus bermunculan. Kali ini, giliran Serikat Pekerja di tubuh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN yang meminta DPR menghentikan pembahasan RUU ini. Pernyataan sikap ini disebarkan oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) pada Senin, 27 Juli 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejumlah pimpinan serikat pekerja ikut dalam pernyataan sikap ini. Di antaranya yaitu Ketua Umum Serikat Pekerja PLN Muhammad Abrar Ali. "Ya, SP PLN ikut (dalam pernyataan sikap)," kata Ali kepada Tempo pada Selasa, 28 Juli 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain itu ada juga, Ketua Umum Persatuan Pegawai PT Indonesia Power, PS Kuncoro. Ketua Umum Serikat Pekerja PT Pembangkit Jawa Bali (PJB), Agus Wibawa. Indonesia Power dan PJB tak lain adalah anak usaha dari PLN. Kepada Tempo, salah satu pimpinan serikat pekerja yaitu PS Kuncoro juga membenarkan pernyataan sikap ini.
Selanjutnya, Ketua Umum Serikat Pekerja Elektronik Elektrik Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (PP SPEE FSPMI) Yudi Winarno. Ketua Umum Federasi Serikat Buruh Kerakyatan (Serbuk) Indonesia, Subono. Terakhir, Communication and Project Coordinator dari Public Service International (PSI) Indah Budiarti.
Saat ini, DPR sebenarnya sudah memasuki masa reses. Namun beberapa hari lalu, Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat tetap membahas RUU ini.
Rabu pekan lalu, 22 Juli 2020, Baleg menggelar rapat Panitia Kerja (Panja) RUU Cipta Kerja dengan agenda melanjutkan pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Bab III tentang peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha.
Agenda pembahasan itu digelar secara tatap muka di ruangan Baleg DPR dan virtual mulai pukul 10.00 WIB. Meski tak tayang di kanal Facebook Baleg DPR, rapat Panja dapat disaksikan di kanal TV parlemen.
Lebih lanjut, para pimpinan serikat pekerja ini menyatakan terdapat pasal-pasal yang berpotensi menyebabkan listrik dikuasai oleh pihak swasta atau asing. Hal ini dinilai sangat bertentangan dengan konstitusi dan dapat membahayakan Indonesia.
Jika listrik tidak lagi kuasai oleh negara, maka mereka menyebut kondisi ini berpotensi menyebabkan kenaikan tarif listrik dan kemandirian energi tidak dapat dicapai.
Mereka menilai RUU Cipta Kerja justru akan membuat ekonomi masyarakat menjadi lebih terpuruk.
Tempo mengkonfirmasi hal ini kepada Head of Public Relations PLN I Made Suprateka. Namun hingga berita ini ditayangkan, Made belum memberikan respons.