Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Kebun sawit yang bersertifikat ISPO baru 35 persen.
Sertifikasi kebun sawit rakyat jauh di bawah perkebunan perusahaan besar.
Pemerintah akan mengevaluasi izin perkebunan sawit.
JAKARTA – Isu lingkungan terus menekan industri sawit Indonesia. Penasihat Forum Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan, Rusman Heriawan, menilai program percepatan sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) belum optimal. "Padahal ISPO adalah kebutuhan dan menjadi indikator kuantitatif, seberapa jauh perkebunan sawit menerapkan aspek keberlanjutan dan perlindungan lingkungan yang menjadi penilaian negara lain," kata dia, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Rusman, pada 2020, baru 682 perkebunan sawit yang mengantongi sertifikat ISPO. Lahan yang sudah bersertifikat hanya 5,78 juta hektare atau 35 persen dari total 16,38 juta hektare kebun sawit. Sertifikasi perusahaan swasta besar mencapai 62,75 persen. Namun perkebunan milik negara yang mengantongi ISPO hanya 32,53 persen. Yang menyedihkan, kata Rusman, adalah perkebunan rakyat, baik plasma maupun swadaya, yang hanya tersertifikasi 0,19 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bongkar-muat minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) di Pelabuhan Cilincing, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan
Padahal, Rusman melanjutkan, pemerintah telah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Tahun 2019-2024 (RAN-KSB), Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Sawit Berkelanjutan Indonesia, serta Peraturan Menteri Pertanian Nomor 38 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Sertifikasi Perkebunan Sawit Berkelanjutan Indonesia. Aturan itu memberi kesempatan besar untuk mensertifikasi kebun plasma dan swadaya. "Masih tidak seimbang."
Senior Advisor Yayasan Kehati, Diah Suriadiredja, mengatakan sawit Indonesia masih memiliki persoalan, salah satunya 3,4 juta hektare kebun yang berada dalam kawasan hutan. Menurut dia, persoalan ini akan terus menekan pamor produk sawit Indonesia di pasar.
Adapun ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Fadhil Hasan, menyayangkan ISPO belum diakui oleh dunia. Padahal, kata dia, ISPO sudah mengalami perbaikan, penguatan, dan perubahan signifikan sehingga seharusnya bisa menyelesaikan penilaian buruk terhadap produk sawit nasional.
Perkebunan kelapa sawit di Riau. TEMPO/Riyan Nofitra
Menanggapi persoalan ini, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Kementerian Pertanian, Dedi Junaedi, mengatakan sertifikasi perkebunan sawit terus berkembang. Saat ini, kata dia, sudah ada 15 lembaga sertifikasi ISPO, 7 lembaga pelatihan ISPO, dan 1.893 auditor ISPO. Pemerintah pun saat ini sedang mempercepat sertifikasi ISPO untuk lahan yang masih bermasalah.
Dedi mencatat masih ada 3,4 juta hektare kawasan kebun kelapa sawit yang terindikasi tumpang-tindih dengan kawasan hutan. Untuk menyelesaikan masalah ini, Kementerian Pertanian melakukan berbagai upaya, seperti evaluasi perizinan.
Direktur Industri Hasil Hutan dan Perkebunan Kementerian Perindustrian, Emil Satria, mengatakan Indonesia ditargetkan menjadi penentu harga (price setter) kelapa sawit dunia pada 2045. Ia optimistis target ini bisa tercapai, mengingat Indonesia merupakan pengekspor minyak sawit terbesar dunia.
Head of Sustainability Policy dan Compliance Sinarmas, Haskarlianus Pasang, mengatakan industri membutuhkan dukungan dari pemerintah untuk menerapkan ISPO. Untuk meningkatkan kredibilitas produk bersertifikat ISPO, Haskarlianus menilai pemerintah perlu menggagas insentif yang lebih nyata, misalnya kampanye dampak baik penerapan ISPO bagi capaian sustainable development goals (SDGs).
LARISSA HUDA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo