Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Setelah heboh kuota tambahan

Para eksportir diberi keleluasaan untuk tumbuh dan bersaing. di sektor nonmigas: kayu lapis, tekstil, karet, kopi, timah, tembaga, udang dan lain-lain. di harap bisa memasukkan devisa.

21 Maret 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ATURAN main bukan sumber rezeki. Prinsip ini kerap dikemukakan pemerintah ketika melaksanakan pelbagai penyederhanaan ketentuan. Terutama yang berkaitan dengan ekspor nonmigas. Sekali ini, prinsip itu tak tinggal sebagai slogan. Paling tidak, buat Menteri Perdagangan Rachmat Saleh. Buktinya, pekan lalu, ia kembali menindak seorang stafnya karena dinilainya melanggar aturan main. Tak main-main, staf itu, Direktur Ekspor Hasil Pertanian dan Kehutanan, dibebastugaskan mulai 9 Maret karena diduga memberikan jatah tambahan ekspor triwulanan bagi 29 eksportir kopi, tanpa persetujuan Menteri Perdagangan. Keputusan itu sebelumnya memang sudah menggelisahkan sejumlah eksportir kopi. Wajar, karena mereka merasa diperlakukan tidak adil: tak menerima jatah tambahan seperti ke-29 eksportir tadi. Ekspor kopi, seperti diketahui, memang diatur -- karena pasarnya juga ditetapkan dengan kuota per negara oleh Organisasi Kopi Internasional ICO -- dengan kesepakatan antara Departemen Perdagangan dan Asosiasl Eksportir Kopi Indonesia (AEKI), yang beranggota sekitar 300 eksportir. Pedoman pembagiannya ialah kemampuan ekspor (sebelumnya) tiap-tiap eksportir. Inilah yang berlaku sejak beberapa tahun silam, sampai Februari 1986, ketika sistem kuota ini dibekukan ICO. Ketentuan ini menyebabkan Indonesia berpeluang menambah jumlah ekspornya. Pembagian jatah ini pun -- seperti juga pembagian kuota -- harus dibagikan pada semua eksportir. Tapi, entah bagaimana caranya, tiba-tiba 29 eksportir dari pelbagai tempat mendapat tambahan jatah itu, dengan surat keputusan Dirjen Perdagangan Luar Negeri B.M. Kuntjoro Jakti. Pimpinan Departemen Perdagangan, rupanya, sebelumnya memang sudah menerima laporan tentang jatah tambahan itu. "SK memang saya yang neken. Tapi, kesimpulan kemudian berdasarkan ketentuan bahwa setiap pejabat itu ada takaran tanggungjawabnya: Menteri berkesimpulan, pertanggungjawaban paling besar dalam masalah ini ada pada direktur," kata Dirjen Kuntjoro Jakti. Direktur Ekspor Hasil Pertanian dan Kehutanan, Taufik Abbas, dianggap bertanggung jawab. Karena dialah yang mengusulkan eksportir yang mendapat jatah tambahan itu. Benar begitu? Bekas atase perdagangan Indonesia di Belanda, yang belum setahun sebagai direktur itu, belum mau menjawab TEMPO. Dan kini, ia terpaksa menempati pos baru sebagai staf Sekjen setelah dibebastugaskan. "Pembebastugasan itu dimaksudkan untuk melancarkan pemeriksaaan," kata Humas Departemen Perdagangan. Dalam selang waktu dua pekan, ini yang kedua kalinya Menteri Rachmat Saleh membebastugaskan anak buahnya. Sebelumnya, para pejabat yang mengurus soal ekspor, termasuk Kepala Kantor Wilayah Departemen Perdagangan DKI, kena tindak lebih dulu. Mereka diduga terlibat dalam manipulasi dokumen ekspor tekstil (SCI). Bersama mereka juga ditindak -- dengan pencabutan izin ekspor -- enam perusahaan tekstil (TEMPO, 21 Februari). Rentetan tindakan keras ini agaknya bisa dipahami. Sebab, Departemen Perdagangan memang merupakan ujung tombak penentu berhasil tidaknya pemasukan devisa dari ekspor nonmigas. Ekspor ini, seperti pernah disebutkan Presiden Soeharto, merupakan pos penting pengumpul devisa 1987-88, setelah harga minyak rontok. Sasarannya untuk tahun anggaran mendatang ditetapkan US$ 7,6 milyar -- naik sekitar US$ 1 milyar di atas sasaran tahun anggaran berjalan. Untuk mencapai target itu, secara bertahap pemerintah terus membenahi pelbagai titik lemah yang membuat ekspor nonmigas Indonesia kalah bersaing di luar negeri. Misalnya dengan melaksanakan langkah deregulasi dan debirokratisasi seperti yang paling akhir dilakukan dengan mengeluarkan paket kebijaksanaan 15 Januari. Tak kurang dari 300 jenis bahan baku dan penolong impor sektor industri (tekstil baja, mesin dan mesin listrik serta kendaraan bermotor) diturunkan bea masuknya atau dibebaskan tata niaganya melalui peket kebijaksanaan itu. Tapi, dengan tak menaikkan gaji pegawai negeri -- ini tahun ketiga para anggota Korpri tak menerima kenaikan gaji -- hati sejumlah ekonom terasa kebat-kebit. Mereka agak ragu kebijaksanaan baru itu bisa berjalan efektif. Apalagi, kalau dihitung-hitung, begitu berat beban yang harus dihadapi seorang aparat atau pejabat: dengan penghasilan tetap harus melayani para eksportir yang bisa mereka hitung keuntungannya sekali mengekspor. Toh, pemerintah jalan terus. Sekarang, memang saatnya pengusaha swasta, terutama eksportir, diberi keleluasaan untuk tumbuh dan bersaing. Di sektor nonmigas, harapan pemerintah bertumpu pada perolehan dari ekspor hasil industri (kayu lapis, tekstil), hasil pertanian dan kehutanan (karet, kopi), bahan tambang (timah, tembaga), dan hasil hewan (udang dan lain lain). Besarnya pemasukan devisa pelbagai komoditi itu tak sama, tentu. Tapi, melihat hasilnya sejak 1983, bisa disebut empat komoditi penghasil devisa terbesar dipegang oleh kayu lapis, tekstil dan produk-produknya, kopi, dan karet. Keempat komoditi ini boleh disebut penyumbang sekitar 60% dari seluruh penghasilan devisa nonmigas. Kayu lapis, misalnya, yang terbesar. Bisa menghasilkan pemasukan devisa lebih US$ 1,2 milyar pada 1985, komoditi yang menghasilkan US$ 1,01 milyar pada 1986 (sampai Oktober), dan pada 1987 ini diharapkan bisa memasukkan devisa lebih besar lagi. Dengan prospek harga yang terus membaik belakangan ini, peluang untuk itu, menurut para pengamat akan bisa dicapai. Karet, yang terus turun perolehan devisanya dari sekitar US$ 958 juta (1984), lalu US$ 720 juta (1985), dan cuma US $ 560 juta (sampai Oktober) memang tak begitu diharap bakal bisa mencapai kenaikan fantastis. Tapi, tekstil dan kopi? Pemerintah tampaknya cukup berharap. Dalam deregulasi 15 Januari lalu, contohnya, komoditi untuk tekstil inilah yang paling banyak menerima keringanan (mencapai 200 macam bahan baku). Grafik sumbangan devisa tekstil ini memang terus meningkat dalam berapa tahun terakhir ini. Dari cuma sekitar US$ 292,6 juta (1983), misalnya, ekspor tekstil meloncat dua kali lipat mencapai US$ 511 juta (1984). Angka ini naik terus tahun-tahun berikutnya. Malah, acara fantastis ada yang memperkirakan pada 1986 komoditi industri ini bisa menyetor US$ 1 milyar lebih. Potensi untuk mencapai jumlah itu memang tak tertutup. Tapi, data dari Januari sampai Oktober 1986, menurut laporan mingguan Bank Indonesia akhir Februari, sampai Oktober lalu sandang baru mencatat devisa US$ 673 juta. Masih di bawah perolehan kopi, yang sudah mengumpulkan lebih US$ 712 juta. Buat kopi, ini loncatan kenaikan yang cukup besar. Sebab, periode yang sama tahun lalu, komoditi ini hanya menyumbangkan sekitar US$ 420 juta. Namun potensi keduanya dalam memasukkan devisa tak syak lagi, cukup besar. Maka, bisa dimengerti jika Menteri Rachmat Saleh jadi kelihatan begitu gemas pada anak buahnya yang mencoba "main-main" dalam mengatur ekspor kedua komoditi itu. Sebab tantangan yang harus dihadapi komoditi ini di pasaran internasional -- misalnya sama-sama harus menghadapi kuota -- sudah cukup berat. Belum lagi hadangan lain persaingan soal mutu, harga, dan proteksionisme. Untuk tekstil, misalnya, adalah Menteri Perdagangan Rachmat Saleh sendiri yang terpaksa menghadapi tekanan proteksionisme. Dan ia akhirnya terpaksa mau menandatangani code on subsidies and countervailing duties dua tahun lalu untuk memberi jalan tekstil Indonesia masuk ke Amerika. Ada akibat sampingan setelah itu: Indonesia harus menghapus subsidi yang selama ini diberikan lewat sertifikat ekspor dan kredit ekspor. Sertifikat sudah dicabut. Dan subsidi bunga kredit ekspor juga dikurangi mulai April depan. Tapi itu semua dihadapi pemerintah dengan tawakal. Untuk meringankan biaya produksi eksportir, pemerintah lalu membebaskan bea masuk dan segala pajak atas bahan baku yang mereka pakai. Dan semua itu memang bisa sia-sia jika staf pelaksana di lapangan selingkuh. Atau tak tahan menghadapi godaan dari oknum pengusaha, yang harus diakui banyak juga yang nakal. Sudah bukan rahasia ada sejumlah eksportir yang siap mengeluarkan duit buat mendapatkan jatah kuota. Seorang pengusaha, misalnya, menyebut jumlah sebesar US$ 4,5 untuk bisa mendapatkan jatah kuota pakaian jadi per lusin. Dan untuk kopi sekitar Rp 25 per kg. "Apalagi untuk jatah tambahan. Saya kira lebih mahal," kata pengusaha itu. Cerita ini dibantah Dirjen Kuntjoro Jakti. "Dari mana sumbernya, itu cerita ngawur," tukasnya, agak kesal. Tak pelak lagi, ini membuat soal penetapan kuota jadi masalah baru buat Departemen Perdagangan. Seperti juga ditanyakan beberapa pengusaha kepada Menteri Perdagangan Rachmat Saleh ketika bertemu dalam Dialog Pertekstilan Nasional, koran Suara Karya dan Pasaraya Sarinah Jaya, pekan lalu. Bahkan setelah menampung sejumlah usul dan saran, tak kurang Menteri Perdagangan sendiri yang mengisyaratkan kemungkinan perlunya para pengusaha bersiap-siap menghadapi kemungkinan pengubahan sistem kuota internasional. "Sebab, AS, pasar utama tekstil Indonesia, akan menerapkan sistem kuota impor lobal," ujar Rachmat Saleh. Artinya, dengan sistem baru ini jatah kuota itu sepenuhnya akan diserahkan pada importir AS. Bukan lagi Departemen Perdagangan seperti selama ini. Pengimporan, karenanya, boleh dilakukan dari mana saja sesuai dengan selera importir. Ini, menurut Menteri, bisa menyulitkan produsen tekstil Indonesia, terutama yang belum punya hubungan baik dengan importir AS. "Karena itu, saya kira perlu segera dipikirkan pendirian organisasi pemasaran tekstil Indonesia, yang bila perlu bisa berupa usaha patungan dengan importir Amerika," kata Rachmat Saleh. Banyak hal memang yang masih harus dibenahi di sektor ekspor ini, dari soal kuota yang dikeluhkan kurang terbuka sampai ke upaya mencari pilihan pasar baru di luar kuota. Misalnya, dengan membuat produk yang tak kena kuota, yang syukur, bisa diperoleh nilai tambah lebih besar. "Kami sebenarnya punya rencana, misalnya, membuat kopi goreng," kata Dharyono Kertosastro, Ketua Umum AEKI. Kopi goreng ini mudah diolah dan digunakan di negeri konsumen sebagai campuran. "Tapi, kami mendapat kesulitan teknis dalam membuat kopi goreng yang bisa sesuai betul dengan aroma, warna, dan kadar keringnya dengan selera konsumen, seperti Jepang misalnya," tambah Dharyono. Keluhan seperti ini juga dikemukakan para pengusaha tekstil. Sebab, memang perlu dana yang cukup besar kalau mereka mau membuat tekstil (pakaian jadi, misalnya) yang bermutu. Dengan kondisi sekarang, ekspor tekstil Indonesia memang masih tingkat kodian. "Cuma buat dipakai oleh penduduk daerah kumuh di Harlem, New York," kata Abdul Latief, Dirut Sarinah Jaya. Walhasil, pelajaran membuat produk yang bernilai tambah lebih besar, karena itu, mungkin sudah perlu. Setidaknya sebagai pengganti subsidi yang selama ini diberikan pemerintah. Siapa tahu, itu bisa jadi juru selamat atau setidaknya jurus bantu bagi eksportir dalam menangguk lebih banyak devisa. Marah Sakti, Laporan Budi Kusumah & A. Luqman (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus