Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Berita Tempo Plus

Membangun 'Agama Pos-Sekuler'

Hanya kaum beriman yang cerdas membaca realitas yang telah mengerti akan apa itu "religiositas".

15 Maret 2004 | 00.00 WIB

Membangun 'Agama Pos-Sekuler'
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Agama Cinta, Agama Masa Depan
Penulis: John D. Caputo
Penerjemah: Martin Lukito Sinaga
Penerbit: MIZAN
Cetakan: 1, Desember 2003
Tebal: xxviii + 185 halaman

Dalam dunia modern ini, kehidupan ditandai oleh sekat pemisahan yang teliti dan tegas mengenai batas-batas, limitasi, dan diferensiasi. Bangunan modernitas, diperkuat oleh nalar rasionalitas-instrumentalis, menyebabkan pembedaan yang tegas antara subyek dan obyek, ilmu dan agama, iman dan akal, publik dan privat, rasional dan irasional, empiris dan apriori, kognitif dan non-kognitif, fakta dan nilai, deskriptif dan normatif, sakral dan duniawi, atau religius dan sekuler. Salah satu problem yang perlu diklarifikasi kembali pemaknaannya adalah soal hubungan antara agama dan sekularisme.

John D. Caputo, guru besar filsafat dari Universitas Villanova, AS, menyodorkan pembacaan baru dan unik mengenai agama. Sosok post-modernist Heiddegerian-Derridian ini dalam paparannya banyak merujuk pada figur yang sangat dikaguminya, Santo Augustinus. Dia mengakui banyak berutang pada Jacques Derrida, seorang dekonstruksionis. Dalam buku yang versi aslinya berjudul On Religion ini, dia mencoba menggali pemahaman agama yang sangat terbuka dengan pendekatan dekonstruksi dan materi pendalaman jiwa yang diambil dari tradisi Katolik.

Buku ini sangat menarik karena pernyataan-pernyataan yang disampaikan Caputo mengenai "kebenaran" selalu dibuka dengan apa itu makna keberagamaan dan keimanan yang sesungguhnya. Baginya, "agama" adalah serangkaian pertanyaan terbuka, dan sekaligus permulaan (beginnings) untuk menangkap berbagai ketidakmungkinan masa depan yang harus menjadi mungkin pada masa kini. Beragama harus terkait dengan "kebertuhanan" yang dilandasi dengan cinta dan kasih sayang-Nya, yang selalu akan melambari manisnya hidup ini. Manifestonya: "Tuhan lebih penting daripada agama sebagaimana kasih lebih penting daripada iman."

Lalu, Caputo menyodorkan: "Agama dapat ditemukan dengan atau tanpa agama" (hlm. 3). Dia menyalahkan pemisahan agama dengan sekularisme. Kata "sekuler" tidak menggambarkan suatu lapisan yang terpisah dari "agama", tetapi mengacu pada seseorang yang bukan anggota biarawati. Jadi, persoalan sekuler bukan pada persoalan bedanya penghayatan akan iman, melainkan lebih merupakan sebuah klaim institusional dan kekuasaan.

Makna religius dalam hidup ini harus berangkat dari upaya pergulatan diri atas "ketidakpastian" yang radikal dan kehidupan yang terbuka, bergulat dengan apa yang disebut Caputo "masa depan absolut" yang memberi makna dan juga menimbulkan risiko dan banyak problem. Beragama juga berarti secara terus-menerus menghayati akan kehidupan yang selalu berubah dan dinamis. Memiliki makna religius adalah menjalani hati yang tak pernah tenang (inquietum est cornostrum) ke arah suatu realitas yang mengatasi realitas. Hanya kaum beriman yang cerdas membaca realitas yang telah mengerti akan apa itu "religiositas".

Lagi-lagi Caputo menegaskan bahwa sentuhan religius di dalam hidup ini bukanlah saat kita mengambil bagian dalam sebentuk pengakuan iman, tapi saat kita menyatakan cinta akan sesuatu di samping kita (Tuhan), saat kita "mengikat diri" (religare) kita pada yang lain, atau saat kita bersekutu bersama (re-legere) dan memusatkan persekutuan itu pada inti cintanya yang telah tertransformasi (hlm. 40). Cinta yang kemudian menggerakkan diri kita ini untuk memperjuangkan umat manusia dan seluruh aspek kehidupan moral-kemanusiaan.

Upaya membangun agama pos-sekuler harus menjadi renungan kaum agamawan agar agama tidak lagi menjadi buih yang selalu dipersalahkan karena ulah buruk para penganutnya. Memaknai kebenaran agama adalah dengan sepenuhnya berlandaskan atas sikap keterbukaan untuk menerima pluralitas pendapat dari beragam pihak. Beragama dengan spirit cinta Tuhan menjadi harapan dan kenyataan di masa depan karena sesungguhnya dunia ini bukan dunia sekuler seperti yang diperkirakan. Atau, makna religiositas itu bukan berbentuk penerapan atas formalisme agama tanpa meneguhkan substansi agama atas roh kehidupan umat manusia. Wallahualam.

Happy Susanto, peneliti The International Institute of Islamic Thought (IIIT), Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus