Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani sempat menyebut figur berinisial SB dan DY terkait transaksi mencurigakan Rp 189,27 triliun. Siapa mereka?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo menjawab hal ini. Menurutnya, SB dan DY bukan pegawai Kemenkeu atau Kementerian Keuangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Itu semua eksternal, wajib pajak," ujar Prastowo melalui keterangan tertulis pada Tempo, Selasa 21 Maret 2023.
Lebih lanjut, dia menuturkan transaksi mencurigakan senilai Rp 189 triliun tersebut sudah dilakukan pemeriksaan oleh Direktorat Jenderal Pajak atau Dirjen Pajak.
Ditanya soal hasil pemeriksaan, Prastowo menjawab "Ada pajak yang masih harus dibayar juga dari pemeriksaan tersebut," ujarnya.
Sebelumnya, Sri Mulyani mengungkap figur berinisial SB dan DY dalam konferensi pers bersama Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD, serta Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana pada Senin, 20 Maret lalu.
Dalam pernyataannya, Sri Mulyani menyebut laporan PPATK pada 2020 silam yang menyatakan ada transaksi mencurigakan Rp 189,27 triliun dari 15 entitas, yang dilakukan dari 2017 hingga 2019.
"Mereka adalah yang melakukan ekspor impor emas batangan dan emas perhiasan, kegiatan money changer, dan kegiatan lainnya," tutur Sri Mulyani, Senin.
Lebih lanjut, dia menjelaskan impor emas batangan Rp 326 miliar pada 2017, lalu menjadi Rp 5,6 triliun pada 2018, dan Rp 8 triliun pada 2019. Sementara ekspornya adalah Rp 4,7 triliun pada 2017, Rp 3,5 triliun pada 2018, dan Rp 3,6 triliun pada 2019.
Selanjutnya: Ketika diperiksa Direktorat Jenderal Bea Cukai ...
Ketika diperiksa Direktorat Jenderal Bea Cukai, tidak ditemukan adanya pelanggaran. PPATK lantas mengirim surat tembusan pada Direktorat Jenderal Pajak.
"Direktorat Jenderal Pajak mendapatkan surat tembusan tadi juga, yaitu nomor 205 dan pada saat yang sama PPATK mengirim surat kepada pajak nomor 595. Di dalam surat 595 ini transaksinya lebih besar lagi, yaitu Rp 205 triliun kepada Direktorat Jenderal Pajak. Dan jumlah entitasnya dari 15 menjadi 17," papar Sri Mulyani.
Ini berarti jumlah transaksinya bertambah menjadi Rp 205 triliun dengan 17 entitas. Direktorat Jenderal Pajak kemudian melakukan penelitian.
Salah satu figurnya, kata Sri Mulyani, berinisial SB yang di dalam data PPATK disebutkan omzetnya mencapai Rp 8,24 triliun.
"Data dari SPT pajak adalah Rp 9,68 triliun, lebih besar di pajak daripada PPATK. Itu pun kita tetap menggunakan data PPATK karena orang ini memiliki saham dan perusahaan PT (berinisial) BSI, kita meneliti PT BSI yang ada di surat dari PPATK juga," tuturnya.
Dalam data PPATK, PT BSI telah membayar pajak badan senilai Rp 11,77 triliun dari 2017 hingga 2019. Namun, data SPT pajak PT BSI di Kemenkeu adalah Rp 11,56 miliar.
"Jadi perbedaannya Rp 212 miliar itu pun dapat dikejar. Dan kalau memang buktinya nyata maka si perusahaan itu harus membayar plus denda 100 persen," ungkap Sri Mulyani.
Hal tersebut juga ditemukan pada perusahaan berinisial PT IKS. Dalam data PT IKS pada 2018 hingga 2019 di PPATK menunjukkan Rp 4,8 triliun. Namun dalam SPT-nya PT IKS hanya mencatatkan Rp 3,5 triliun.
"Kemudian ada seseorang yang namanya DY. SPT-nya hanya Rp 38 miliar, tapi PPATK menunjukkan transaksinya mencapai Rp 8 triliun, perbedaan data ini yang kemudian dipakai oleh Direktorat Jenderal Pajak memanggil kepada yang bersangkutan," tuturnya.
Pilihan Editor: Pemotongan Upah Buruh 25 Persen, Anggota DPR: Masyarakat Menderita saat Ramadhan dan Lebaran
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.